
“I do see a long-term ownership position and I see it bringing great stability to that part of the Middle East (Gaza)…. Everybody I’ve spoken to loves the idea of the US owning that piece of land and developing and creating thousands of jobs with something that will be magnificent…”
Itulah kalimat yang diucapkan oleh presiden baru Amerika, Donald Trump. Hal tersebut ia ucapkan dalam sebuah pidato di samping Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang tengah berkunjung ke Gedung Putih, Rabu (5/2).
Sudah Bisa diprediksi, ucapan Trump yang berencana Demi mengakuisisi Gaza menimbulkan polemik yang sangat luas di dunia Global. Tetapi, bagi sebagian orang, ucapan sang presiden tentu Enggak mengagetkan karena dua hal. Pertama, Amerika selalu menjadi pelindung Primer Israel dalam memporak-porandakan Palestina. Kedua, Trump dikenal sering melontarkan pernyataan–sekaligus kebijakan—kontroversial.
Selain itu, kalimat Trump juga Enggak mengagetkan karena itu hanya keberlanjutan dari proyek kolonialisme yang sudah direncakan oleh Theodor Herzl, pendiri gerakan Zionis, lebih dari seabad silam. Di era Herzl, kata “kolonialisme” sama sekali bukan merupakan kata yang tabu seperti Ketika ini. Sehingga, ketika meminta tanah Palestina kepada Inggris, ia menulis “it was something colonial.” Sementara itu, di tahun 2011, ketika Netanyahu memberikan pidato di hadapan Kongres Amerika, ia mengatakan, “we are not the British in India.”
Netanyahu Pas. Menurut Yousef Munayyer, analis politik Palestina, Israel memang bukan Inggris bagi India. Karena Inggris hanya mengeksploitasi sumber daya alam India. Sementara Israel Enggak hanya Ingin menguasai sumber daya alam Palestina, tapi juga menguasai seluruh tanah Palestina dan mengganti penduduknya, dari Arab menjadi Yahudi.
Lewat bagaimana kolonialisme ini Bisa berjalan sedemikian Macam-macam, dari awal abad ke-20 hingga Ketika ini? Munayyer, dalam sebuah esai yang disusun di Naskah berjudul The One State Reality: What is Israel/Palestine? menawarkan sudut pandang settler colonialism (kolonialisme pemukim) Demi Menonton fenomena ini secara lebih mendalam. Menurut perspektif ini, Israel setidaknya menggunakan tiga model penjajahan, Merukapan penjajahan terhadap ruang, kewarganegaraan, dan wacana. Penjajahan terhadap ruang (baca: tanah).
Penjajahan Ruang
Pada tahun 1922, ketika Inggris secara Formal menguasai Palestina melalui Mandat Perserikatan Bangsa-Bangsa, jumlah orang Yahudi di tanah tersebut Sekeliling 84 ribu jiwa. Jumlah itu meningkat dua kali lipat, menjadi 174 ribu sepuluh tahun kemudian. Selama periode mandat, 1922-1948, jumlah orang Arab di Palestina meningkat dua kali lipat, sedangkan orang Yahudi meningkat enam kali lipat. Peningkatan orang Yahudi ini bukan karena tingkat Natalis tinggi, melainkan karena migrasi besar-besaran dari Eropa dan sebagian kecil dari negara Arab selain Palestina.
Populasi Yahudi berhasil mengalahkan Arab setelah terjadi perang 1948, pasca Israel mendeklarasikan kemerdekaan. Peristiwa yang dikenal dengan nakhba tersebut Membangun Sekeliling 800 ribu Arab Palestina mengungsi, 500 desa dikosongkan, 200 di antaranya hancur. Ketika itu, komposisi Yahudi dan Arab di Distrik Israel (Enggak termasuk Gaza dan Tepi Barat) adalah 5:1. Tetap Terdapat sebagian kecil Arab yang tinggal di Distrik yang kini masuk Israel, di mana mereka tetap secara Absah Mempunyai tanah yang ditinggali.
Tak kehabisan Pikiran, Demi merebut tanah-tanah tersebut, pemerintah Israel yang baru lahir bermanuver menggunakan hukum negara Demi merebut “ruang hidup”. Hanya dua tahun setelah merdeka, pemerintah mengeluarkan Absentee Property Law yang menyatakan bahwa pengungsi Palestina yang meninggalkan Distrik tersebut sebagai absentees (orang yang Enggak hadir). Sebagai konsekuensinya, properti mereka ditempatkan di Dasar kendali seorang custodian (penanggung jawab) yang ditugaskan Demi mengelola properti tersebut dalam ketiadaan pemilik aslinya, yang nantinya custodian akan menjual tanah tersebut ke otoritas pembangunan Israel. Ditambah beberapa paket hukum lain, seperti State Land Law 1951, Land Acquisition Law 1953, dan Israel Lands Law 1960, negara beserta mayoritas penduduk Yahudi berhasil menguasai 93% tanah Israel, menyisakan 7% Demi minoritas Arab.
Penjajahan Kepemilikan Kewarganegaraan
Penjajahan kedua dijalankan dalam bentuk penjajahan kewarganegaraan. Israel menggunakan kewarganegaraan sebagai category of exclusion, alat Demi mengeksklusi Kaum negara. Melalui berbagai kebijakan, Israel memberikan hak istimewa kepada migran Yahudi sekaligus mempersulit kewarganegaraan bagi Arab. The Law of Return yang disahkan pada tahun 1950 memberikan hak imigrasi orang Yahudi di seluruh dunia ke Israel dan memberikan kewarganegaraan. Pada Ketika yang sama, negara baru tersebut mencabut kewarganegaraan ratusan ribu Palestina yang berada di pengungsian luar negeri melalui hukum kewarganegaraan baru yang disahkan tahun 1952.
Jadi, menurut undang-undang tersebut, orang Yahudi di manapun berada Bisa secara bebas menjadi Kaum negara Israel. Sementara bagi orang Arab, kewarganegaraan hanya diberikan kepada mereka yang tinggal di Israel dengan syarat (1) tercatat sebagai Kaum negara Palestina di periode mandat Inggris, (2) tinggal di Distrik tersebut ketika eksodus besar-besaran tahun 1948 Tiba 1952, dan (3) Enggak pernah meninggalkan Distrik Israel selama periode tersebut. Hingga kini, Terdapat Sekeliling dua juta orang Arab yang menjadi Kaum negara Israel. Mereka diperlakukan sebagai Kaum negara kelas dua, menanggung berbagai Macam-macam beban diskriminasi.
Penjajahan Wacana: Geografi, Pendidikan, Media, dan Darurat Militer
Penjajahan ketiga dijalankan dalam bentuk penjajahan wacana, melalui geografi, pendidikan, media, dan darurat militer. Secara geografis, Israel menghancurkan kota dan desa-desa Palestina, Lewat membangun kawasan-kawasan baru yang sebelumnya Hampa. Mereka juga mengubah nama-nama daerah dengan nama-nama Ibrani, misalnya Bayt Dajan diubah menjadi Beit Dagon; Hittin—tempat bersejarah kemenangan Shalahuddin Al Ayyubi dalam Perang Salib—diubah menjadi Kfar Hittim. Hal ini bertujuan Demi menghapus dan mengubah sejarah Palestina, sekaligus Membangun Rekanan baru antara Israel modern dengan sejarah alkitabiah yang mereka yakini.
Dalam hal pendidikan, meskipun minoritas Arab mendapatkan hak pendidikan berbahasa Arab, kurikulumnya mengajarkan narasi nasionalisme Yahudi dan sejarah pendirian Israel. Sementara identitas nasional Arab Palestina Enggak boleh diajarkan. Represi juga dilakukan dalam hal media. Setelah pendirian negara, Enggak Terdapat surat Berita Arab Palestina yang diizinkan Demi terbit. Terdapat beberapa media berbahasa Arab, Tetapi berada di Dasar pengawasan ketat negara serta dijalankan oleh imigran Yahudi dari negara-negara berbahasa Arab.
Proyek settler colonialism ini Bisa dinilai berhasil sekaligus gagal. Berhasil karena bangunan negara Israel telah berdiri kokoh sehingga mustahil Demi dihancurkan. Tetapi ia gagal karena—berkaca dari proyek settler colonialism di Amerika, Kanada, Australia, dan Selandia Baru—Israel gagal mereduksi penduduk Asli dan menggantinya dengan pendatang. Di keempat negara tersebut, penduduk Asli dimusnahkan hingga mencapai kurang dari 5% dari jumlah pendatang. Sementara di dalam negara Israel sendiri Tetap Terdapat Sekeliling 2 juta orang Arab Palestina, ditambah Sekeliling 5 juta penduduk Tepi Barat dan Gaza, serta Tetap banyak Kembali yang tersebar sebagai ekspat dan pengungsi di berbagai negara.
Meminjam kalimat Yasser Arafat, ketua PLO, di tahun 2004, “90 tahun setelah Perjanjian Sykes-Picot, Israel gagal memusnahkan kami. Sekarang kami di sini, di Palestina, menghadapi mereka.”
Kini, kita Menonton, Israel—dan sekutu utamanya, Amerika—Enggak menyerah. Mereka Maju berusaha Demi, sebagaimana yang terjadi di Amerika dulu, memusnahkan penduduk Asli yang mengganggu tidur nyenyak mereka. Tak heran, Trump Ingin menguasai Gaza dan mengusir penduduk di dalamnya. Mereka hanya Ingin menuntaskan proyek yang telah dimulai lebih dari seabad silam. (H-3)

