Trial and Error

POLUSI di Jakarta dan sekitarnya belum berhenti menjadi perbincangan publik. Lagi ramai. Sama ramainya dengan jumlah pasukan polutan jahat yang juga belum berhenti menyerang udara di Jabodetabek sampai membuat kadar kekotoran udara di Ibu Kota buruk seburuk-buruknya. Polusi itu, konon, sampai membuat kepala negara terbatuk-batuk. Tamat membuat ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan warga Jabodetabek terkena infeksi saluran pernapasan akut alias ISPA.

Tiba-tiba, pemerintah ramai pula mendiskusikannya. Tiba-tiba istana dan kantor gubernur rajin merapatkannya. Seluruh ramai, tapi serba-grasa-grusu, seolah-olah polusi datang secara tiba-tiba. Padahal, sejatinya polusi di Jakarta ialah persoalan lama, persoalan yang sejak dulu sudah ada dan terus diingatkan. Polusi udara bukan sesuatu yang ujug-ujug datang 1-2 bulan belakangan ini.

Polusi udara muncul sejak pemerintah tak mampu membendung asap operasional industri dan pabrik. Polusi bertambah banyak sejak negara tak bisa menyetop udara buangan kotor pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dan semakin pekat ketika pertumbuhan kendaraan bermotor pribadi tak bisa dihambat dan dikendalikan. Sejak saat itulah polusi udara menjadi problem serius di Jakarta dan sekitarnya, dan mungkin kota-kota besar lainnya.

Cek Artikel:  Musuh Besar Ruang Publik

Memang, sebelum ini polusi tak selalu ramai dibincangkan meskipun sebetulnya terus ada memayungi udara Jakarta. Kenapa? Karena hujan kerap menutup jejaknya dengan cepat. Curahan air dari langit itu yang membersihkan udara kotor. Kalaupun tidak terjadi hujan alami, bisa pula dengan teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk membuat hujan artifisial. Hujan alami ataupun buatan sama-sama efektif mengikat kotoran yang berdiam di udara sekaligus membuangnya.

Karena terbiasa begitu, pemerintah sepertinya lupa cara menangani polusi dari hulunya. Mau yang praktis-praktis aja, mengandalkan hujan untuk menghapus polusi. Bereskan sisi hilirnya, persoalan hulu belakangan, toh yang penting polusi berkurang, udara kembali bersih, publik pun tak banyak protes karena dampaknya tak terlalu terasa.

Lampau, datanglah El Nino. Di saat El Nino datang, musim kemarau kering tiba, menunggu hujan ibarat menunggu Godot. Repotnya, mau melakukan TMC dengan metode cloud feeding untuk membuat hujan buatan, awan yang bakal disemai menjadi hujan juga tak muncul.

Cek Artikel:  Tragedi Kali Bekasi

Itulah yang terjadi pada 24-27 Agustus lalu ketika tim gabungan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Badan Riset dan Hasil karya Nasional (BRIN), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan TNI-AU membuat hujan buatan. Selama empat hari itu, sebanyak 4.800 kilogram garam (NaCl) dan 800 kilogram kapur tohor disemai di langit Jabodetabek dengan harapan hujan bakal mengguyur dengan deras.

Tetapi, apa mau dikata, awan ‘gemuk’ untuk bisa menyemai hujan tak banyak. Hasilnya, hujan lumayan deras hanya terjadi di pinggiran Jakarta, seperti Depok dan Tangerang. Itu pun tidak lama. Sementara, hujan di Jakarta relatif kecil, jauh dari kata cukup untuk membersihkan udara yang sudah terlampau pekat dengan polusi.

Padahal, Jakarta sedang dikejar waktu. KTT ASEAN sebentar lagi akan digelar, tepatnya pada 5-7 September mendatang. Biar enggak malu-maluin, pemerintah ingin setidaknya pada hari-hari penyelenggaraan itu langit dan udara Jakarta bisa bersih dari polusi. Karena itu, belakangan, langkah alternatif ditempuh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yaitu dengan melakukan TMC berskala mikro.

Cek Artikel:  Amburadul Sirekap

Metode pertama dengan menyiram jalanan Ibu Kota dan cara kedua, penyemprotan dari atas gedung menggunakan metode water mist system atau sistem kabut. Entahlah, seberapa efektif langkah-langkah itu untuk membersihkan udara dan mencerahkan langit Jakarta. Saya tidak yakin. Barangkali pemerintah juga tidak yakin, tetapi ketimbang tidak melakukan apa-apa, ya siapa tahu berhasil. Kalau gagal, coba cara lain.

Begitulah, dari cerita polusi tadi, kita bisa lihat bagaimana potret negeri ini dalam menangani persoalan. Mungkin tak hanya terhadap polusi, tapi juga persoalan di bidang lain. Kerap melupakan hulu masalah, lalu terkaget-kaget ketika masalahnya makin serius dan kompleks. Apa yang bisa dihasilkan dari kekagetan? Kebijakan yang reaksioner dan sangat mungkin trial and error.

Mungkin Anda Menyukai