Transportasi Publik yang Tetap Problematik

Transportasi Publik yang Masih Problematik
Septian Bayu Kristanto(Dok pribadi)

POLUSI udara di wilayah Jabodetabek menjadi topik pembicaraan yang hangat dalam beberapa bulan terakhir. Sebagian besar masyarakat menduga sumber polusi utama berasal dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

Tetapi, dugaan tersebut ternyata tidak tepat. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) dalam Energy Corner di CNBC Indonesia, menemukan bahwa 70% polutan berasal dari sektor transportasi. Polutan ini berupa sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOX), karbon monoksida (CO), partikulat kasar (PM10), dan partikulat halus (PM2.5).

Fakta yang mengejutkan adalah polutan PM2.5 menjadi faktor utama penyebab penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Hasil investigasi serupa juga diungkapkan para peneliti dari Badan Riset dan Penemuan Nasional (BRIN) terkait dampak kemarau dan kebakaran hutan dari fenomena El Nino.

Respons cepat dari Pemerintah pun langsung terjadi dari hasil investigasi ini. Presiden Joko Widodo mengarahkan pekerja untuk melakukan working from home (WFH) selama dua bulan untuk menekan polusi, sambil Pemerintah melakukan modifikasi cuaca untuk mengatasi polusi udara. Tetapi, apakah ini merupakan solusi yang tepat untuk mengatasi masalah di sektor transportasi?

Realitas transportasi
 
Demi ini, Pemerintah memiliki program yang berupaya memindahkan mobilitas warga Jabodetabek, yang semula banyak menggunakan kendaraan pribadi, beralih menggunakan transportasi publik. Tetapi demikian, program ini dirasa belum berhasil. Sebuah program untuk perubahan secara massal memerlukan waktu yang relatif lama, karena budaya ini tidak bisa dibentuk secara instan.

Cek Artikel:  Polda Metro Jaya Kerahkan 2.366 Personel Gabungan Kondusifkan Debat Capres

Selain itu, menurut data Badan Pusat Tetaptik (BPS), sepanjang 2022 data jumlah kendaraan pribadi juga tidak mengalami penurunan. Buat wilayah Jabodetabek mobilitas transportasi masyarakat 83% didominasi mobil pribadi, 6% motor pribadi, dan 0,1% bus. Selebihnya adalah LRT, MRT, dan taksi.

Data tersebut menunjukkan kondisi yang tidak ideal. Selain karena jumlah transportasi publik yang tidak berimbang, masalah inefisiensi waktu di jalan juga menjadi kendala, khususnya Jabodetabek yang sangat terkenal tingkat kemacetannya.

Di sisi lain, pemindahan mobilitas warga ke tranportasi publik juga tidak direspons dengan cukup baik oleh pemerintah daerah (Pemda) setempat. Fakta menunjukkan bahwa kepemilikan transportasi pribadi memberikan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) Pemda melalui pajak kendaraan bermotor. Dengan perubahan mobilitas ke transportasi publik, PAD Pemda diduga akan berkurang cukup signifikan.

Dalam statistik komuter yang dikeluarkan BPS untuk wilayah Jabodetabek, 91% warga memilih kereta karena efisiensi waktu. Transportasi publik ini yang menjadi pilihan banyak warga Jabodetabek. Tetapi, kebutuhan lahan parkir yang terus bertambah di area stasiun juga menjadi perhatian mengingat jumlah kendaraan pribadi warga terus meningkat.

Cek Artikel:  Pemilu, Perlawanan Demokrasi Rakyat

Apabila ditarik kembali ke akar permasalahannya, masalah dimulai dari pembiayaan kendaraan pribadi. Demi ini mekanisme pembiayaan kepemilikan kendaraan pribadi dipermudah. Sebagai contoh, mobil dengan kategori multi purposive vehicle (MPV) berkapasitas di bawah 1.500cc pun dibebaskan dari pajak penjualan barang mewah (PPnBM) oleh Menteri Keuangan. Oleh karena itu, sangatlah wajar jika jumlah kendaraan pribadi di Jabodetabek terus bertambah.

Upaya Pemerintah belum efektif

Pemerintah sudah berusaha menyajikan solusi untuk mengatasi masalah transportasi, namun upaya ini dirasa masih belum efektif. Dua alternatif upaya yang cukup baik sebagai solusi jangka pendek adalah pemanfaatan ojek online dan bus pengumpan.

Dua mode transportasi ini secara relatif terbukti mengurangi penggunaan kendaraan pribadi untuk warga Jabodetabek yang tempat tinggalnya jauh dari akses jalan utama. Penggunaan bus pengumpan juga sudah terbukti efisien dalam berbagai kajian para akademisi.

Sementara itu, Kementerian Perhubungan menyatakan ojek online juga bisa menjadi solusi penekanan polusi jangka panjang, namun dengan syarat perbaikan tarif untuk pengendara. Seluruh alternatif ini akan perlahan-lahan mendorong perubahan mobilitas dari penggunaan kendaraan pribadi ke transportasi publik.

Pemerintah juga berupaya menghadirkan solusi lain yang cukup menarik. Dalam kerja sama antara Kementerian Perhubungan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ‘Program Langit Biru’ menjadi upaya mendukung pengendalian polusi udara di Jabodetabek. Program ini mengajak warga untuk menggunakan moda transportasi publik di JakLingko, Trans Jakarta, mini trans (BRT), mass rapid transit (MRT), dan lintas raya terpadu (LRT).

Cek Artikel:  Anak Korban Tindak Kekerasan Orangtua

Terlepas dari solusi yang efektif, masih terdapat kendala solusi lain yang dianggap belum tepat. Sebagai contoh, kebijakan kendaraan listrik, ganjil-genap, dan 4in1 belum tersosialisasi dengan baik di masyarakat. Kebijakan-kebijakan tersebut perlu dikaji lebih jauh lagi agar tidak menjadi public issue di kemudian hari.

Dari pihak Kereta Api Indonesia (KAI), juga merasa bahwa tata kelola commuterline perlu dibenahi. Upaya ini akan membuat pengelolaan transportasi publik menjadi lebih baik dan digemari masyarakat. Secara spesifik, bagaimanapun caranya, rel warisan peninggalan Belanda perlu direnovasi untuk mendukung mobilitas yang lebih baik di bidang perkeretaapian.

Sebagai warga Jabodetabek, mari kita berupaya menggunakan transportasi publik dan mendukung upaya pemerintah. Budaya baru nantinya akan tercipta dan terkristalisasi dengan baik. Selain memperbaiki problem transportasi, dalam jangka panjang kita juga dapat menangani polusi, agar di masa depan kita dapat menghirup udara sehat kembali. Mari kita menjaga keberlanjutan hidup, kota, dan anak cucu.

Mungkin Anda Menyukai