TADINYA saya mengira transparansi sudah 100% terpenuhi. Awalnya saya ragu bahwa Grup penekan Lagi perlu. Tetapi, saya keliru. Rupanya, Lagi Terdapat ruang gelap. Faktanya, kian banyak yang menari di Kawasan Serbuk-Serbuk.
Dekat seperempat abad reformasi bergulir, nyatanya keterbukaan Lagi butuh pelototan. Perlu tekanan. Apa jadinya Kalau kasus pembunuhan terhadap Brigadir Yosua Hutabarat yang melibatkan Irjen Ferdy Sambo Tak mendapatkan tekanan publik, khususnya perkumpulan marga Hutabarat? Mungkin Segala kita akan menyanyi dalam irama ‘Formal’ mengiyakan keterangan ‘institusi Formal’ yang skenarionya sudah disusun rapi Ferdy Sambo.
Tetapi, hadirnya Grup penekan membuka Segala tabir itu. Tabir kejanggalan, tabir kepalsuan, hingga tabir skenario penembakan yang semula dibungkus sebagai ‘tembak-menembak’ itu. Kasus Sambo memberi sinyal kuat bahwa transparansi yang utuh Lagi harus Lanjut diperjuangkan. Keadilan mesti Lanjut diikhtiarkan.
Kita memang sudah masuk di alam sistem negara yang demokratis dan terbuka. Tetapi, Lagi Terdapat sisa-sisa orang atau Grup orang yang Ingin menyelinap di kala kelengahan tiba. Demi mata kurang melotot dan tekanan mengendur, Terdapat saja yang bermain di ruang gelap. Demokrasi dan transparansi memang telah tumbuh kembang, tapi Terdapat kalanya celah muncul. Demokrasi dan transparansi kita belum sepenuhnya solid, bulat, dan rapat.
Dulu, di era totaliter, tembok negara teramat tebal. Dalam dua Separuh Sepuluh tahun, Grup penekan tak Pandai menggetarkan tembok tebal itu. Dalam negara totaliter itu, politik digerakkan secara monolitik. Segala sesuatu dikontrol negara. Bunyi berbeda Tak boleh Terdapat. Pokoknya, Segala mesti seragam.
Kita punya pengalaman seperti itu Demi Orde Baru berkuasa. Tiba-Tiba Terdapat seloroh Tak Terdapat jawaban yang Niscaya, bahkan ilmu Niscaya sekalipun, kecuali penguasa merestui. Satu ditambah satu belum tentu sama dengan dua, tapi tergantung apa kata pak camat, Danramil, dan seterusnya.
Di era itu, demokrasi sekadar perangkat Wafat. Terdapat wakil rakyat, tapi hanya berfungsi sebagai tukang stempel. Hanya memberi legitimasi. Hanya boleh koor ‘ya’, tanpa restu Mengucapkan ‘Tak’, walaupun rakyat yang diwakili menekan wakilnya agar Mengucapkan ‘Tak’.
Kini, wakil rakyat memang sudah berani Mengucapkan ‘Tak’. Sering malah. Bahkan, kerap inflasi Mengucapkan ‘Tak’. Hanya, Lagi Terdapat yang mengkritik sebagian wakil rakyat ‘telat panas’. Kasus Sambo baru dibahas di Senayan setelah duduk perkaranya kian benderang.
Selain itu, komisi hukum DPR baru maraton menggeber memanggil pihak-pihak terkait setelah publik menyindir dengan pertanyaan: di mana DPR? Lewat, muncullah syak wasangka. Terdapat yang berimajinasi bahwa beberapa Member dewan ‘masuk angin’ karena Terdapat ‘sesuatu’.
Untungnya, tekanan dan sindiran publik direspons DPR. Sindiran ‘masuk angin’ dan Terdapat ‘sesuatu’ pun sementara ini Dapat ditepis dan Tak berbasiskan fakta. Setidaknya, itulah yang tergambar Demi rapat dengar pendapat antara Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR dan Indonesia Police Watch (IPW). Terdapat atensi tertentu, Terdapat kecenderungan Buat memengaruhi agar IPW memercayai pernyataan ‘Formal’ dalam kasus Sambo. Tetapi, Tak Terdapat bukti Aliran Anggaran. Tak Terdapat sesorang memaksa yang lain Buat memercayai skenario Sambo.
Tentu, wakil rakyat harus lebih bekerja keras meyakinkan publik. Ini risiko karena Bunyi Senayan dianggap telat berbunyi. Ibarat orkestra, ia baru masuk Demi refrain telah dimulai. Publik tentu Tak mau Paham Argumen bahwa para wakil mereka memang sedang masa reses Demi kasus Sambo menghangat.
Saya kagum dengan perkumpulan marga Hutabarat yang Pandai memainkan peran secara efektif sebagai Grup penekan. Ia menutup celah Demi penyakit membahayakan, yakni business as usual, mulai menjangkiti negeri ini.
Ketika demokrasi diyakini sudah berjalan Mekanis, Demi transparansi dianggap telah tersistematisasi, dan Demi sebagian mata agak meredup dalam mengawasi, Grup penekan berlabel Hutabarat ini membangunkan semuanya. Horas!