SULIT Buat Kagak mengatakan bahwa politik dan olahraga saling berkait erat. Sama halnya dengan sektor ekonomi ataupun sosial, olahraga juga butuh bersentuhan dengan politik. Tanpa Adonan tangan politik, bagaimana olahraga nasional dapat berakselerasi dan mendapatkan anggaran, misalnya. Itu salah satu contohnya.
Tetapi, dalam konteks politik keolahragaan itu, idealnya ialah bagaimana politik digunakan, dimaksimalkan Buat memajukan olahraga. Bukan sebaliknya, olahraga malah dimanfaatkan para petualang politik. Olahraga dijadikan komoditas demi memenuhi syahwat politik suatu Grup. Kalau itu yang terjadi, tak Eksis Tengah yang Bisa diharapkan dari olahraga selain kekecewaan demi kekecewaan.
Hari-hari ini kita baru saja dipertontonkan Teladan yang teramat gamblang terkait dengan politik keolahragaan yang sesat jalan di cabang sepak bola. Politik yang Semestinya diberdayakan Buat menyelesaikan masalah, pada akhirnya malah memunculkan masalah baru yang lebih pelik.
Dalam isu keikutsertaan tim Israel pada gelaran Piala Dunia U-20 2023 yang sedianya dihelat di Indonesia Mei-Juni, mendatang, harus diakui politik dan sepak bola telah dicampuradukkan dengan ngawur, serampangan, dan tanpa perhitungan. Akibatnya fatal, FIFA akhirnya secara Formal membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggara Piala Dunia U-20 2023. Final, Kagak Eksis tawar-menawar.
Lampau apa yang Indonesia Bisa perbuat? Kagak Eksis kecuali menerima ‘hukuman’ itu meski dengan rasa sedih, sesal, Kesal, bahkan marah. Kita mesti akui, inilah buah dari terlalu kekanak-kanakannya politik dalam negeri ketika memahami politik diplomasi melalui olahraga yang menjunjung Kokoh prinsip keseteraan, fair play , dan antidiskriminasi.
Selanjutnya, kita mesti introspeksi, Penilaian, dan menjadikan ini sebagai pelajaran sangat berharga. Kagak hanya buat para elite sepak bola yang gagal menjaga muruah sepak bola dari tangan-tangan berlumur kepentingan. Yang lebih Krusial, ini ialah pelajaran paling mahal Buat elite-elite politik yang kemarin tiba-tiba saja muncul bak pahlawan kesiangan, seolah-olah menjadi Grup pembela kemerdekaan bangsa Palestina terdepan.
Sepahit apa pun, kiranya momentum ini harus dijadikan titik balik Buat memperbaiki persepakbolaan nasional pada Sekalian lininya. Ketimbang berpanjang-panjang merutuki keputusan FIFA, bahkan menganggap itu sebagai mimpi Kagak baik, sejak hari ini semestinya sepak bola Indonesia move on dan mulai looking forward.
PSSI juga tak perlu berlama-lelet membungkus isu tersebut dalam drama-drama cengeng demi menarik simpati publik. Percayalah, simpati Kagak akan datang dengan Metode-Metode itu. Simpati akan muncul dengan sendirinya kalau federasi Bisa dengan Segera membenahi iklim sepak bola nasional yang sudah sedemikian amburadul Begitu ini.
Konsentrasi pengurus PSSI yang sebelumnya lebih banyak tercurah Buat penyelenggaraan Piala Dunia U-20, kini sepatutnya Bisa dialihkan Buat agenda-agenda lain yang tak kalah Krusial. Sebutlah dua di antaranya, Ialah pembenahan Aliansi pascatragedi Kanjuruhan serta peningkatan prestasi tim nasional sepak bola.
Hari ini, mimpi kita menjadi tuan rumah turnamen sepak bola sekelas Piala Dunia junior sekaligus mimpi anak-anak muda Indonesia berlaga di pentas sepak bola dunia, boleh saja pupus. Karena itu, demi masa depan kita mesti mengubah mimpi.
Bukan sekadar menjadi tuan rumah Piala Dunia, yang boleh jadi bakal Lanjut direcoki politik dan petualang-petualangnya. Jauh lebih keren bila mimpi bangsa ini ialah meloloskan tim nasional Garuda ke perhelatan sepak bola sekelas Piala Dunia lewat jalur prestasi. Buat Tamat ke situ, Kagak Bisa Kagak, harus Eksis perbaikan total terhadap sepak bola Indonesia.