SEBUAH Siaran menarik terpampang di laman kemnaker.go.id. Judulnya ialah ‘Menaker: Pencairan JHT Dikembalikan ke Permenaker 19/2015′. Siaran itu diposting pada Rabu (2/3). Setelah membaca judulnya, muncul pertanyaan di benak saya bagaimana nasib Permenaker 2/2022?
Permenaker 2/2022 tentang Tata Langkah dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Sepuh. Pasal 14 Permenaker 2/2022 menyebutkan bahwa pada Ketika peraturan menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2015 tentang Tata Langkah dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Sepuh (Siaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1230) dicabut dan dinyatakan Bukan berlaku.
Mulai berlaku Permenaker 2/2022, menurut ketentuan Pasal 15, ialah 3 bulan terhitung sejak Copot diundangkan. Permenaker itu diteken Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah pada 2 Februari 2022 dan diundangkan pada 4 Februari 2022 (Siaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 143).
Dengan demikian, sesungguhnya Permenaker 2/2022 itu efektif berlaku pada April 2022. Karena itu, hingga berlakunya Permenaker 2/2022 pada April nanti, Permenaker 19/2015 Lagi tetap berlaku. Pernyataan pencairan JHT dikembalikan ke Permenaker 19/2015 dalam judul itu seakan-akan Permenaker 19/2015 sempat Bukan berlaku sebelumnya.
Permenaker 2/2022 mengatur, antara lain, Biaya Jaminan Hari Sepuh (JHT) hanya Pandai dicairkan Ketika peserta berusia 56 tahun. Padahal, berdasarkan Permenaker 19/2015, Biaya JHT dapat dicairkan kepada peserta yang berhenti bekerja dan dibayarkan Kontan setelah masa tunggu satu bulan.
Regulasi yang sejatinya Bagus itu Malah diprotes kalangan pekerja. Karena itulah, Presiden Joko Widodo memerintahkan Kemenaker Buat merevisi Permenaker 2/2022 dan mempermudah tata Langkah pencairan JHT bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan.
Dalam menindaklanjuti perintah Presiden Jokowi, Menaker Ida Fauziyah kembali menegaskan, kementeriannya sedang memproses revisi Permenaker 2/2022. Pada prinsipnya, ketentuan tentang klaim JHT sesuai dengan aturan Lamban, bahkan dipermudah. Ketika ini Kemenaker aktif melakukan serap aspirasi Serempak Perkumpulan pekerja/Perkumpulan buruh. Kemenaker juga secara intens berkoordinasi dan berkomunikasi dengan kementerian/lembaga terkait.
Penyerapan aspirasi masyarakat mestinya dilakukan sebelum Permenaker 2/2022 diundangkan sesuai ketentuan Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Disebutkan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Tujuan penyerapan aspirasi masyarakat agar peraturan yang dikeluarkan itu memenuhi asas dapat dilaksanakan serta kedayagunaan dan kehasilgunaan (lihat Pasal 5 UU 12/2011).
Asas itu sejalan dengan pemikiran penulis Kitab Public Policy, Riant Nugroho. Terdapat tiga syarat Esensial pengambilan kebijakan, Ialah bersifat cerdas, bijaksana, dan memberi Cita-cita. Kata Riant, apabila salah satu dari tiga syarat itu Bukan terpenuhi maka kebijakan tersebut belum Pandai memuaskan masyarakat.
Pada umumnya, kebijakan yang tanpa didahului proses uji publik gagal diimplementasikan. Hasilnya Bukan sesuai dengan apa yang diharapkan pembuat kebijakan.
Benar adanya bahwa Permenaker 2/2022 sudah melewati pembahasan lintas kementerian/lembaga. Bahkan, sudah mendapatkan persetujuan Presiden Jokowi sesuai surat yang dikeluarkan Sekretaris Kabinet Pramono Anung pada 31 Januari 2022. Tetapi, Terdapat syarat yang mesti dilaksanakan dalam surat Pramono itu. “Kiranya Menteri segera melakukan sosialisasi secara luas kepada masyarakat mengenai peraturan Menteri yang telah ditetapkan dimaksud, Buat efektivitas pelaksanaannya.”
Permintaan sosialisasi setelah ditetapkan memang dilakukan. Hasil yang dituai ialah protes luas kalangan pekerja. Mengapa permintaan itu Bukan dilakukan sebelum peraturan ditetapkan?
Eloknya, pembuatan peraturan perundang-undangan mematuhi perintah UU 12/2011 khususnya menyangkut partisipasi masyarakat. Tidaklah mengherankan apabila kualitas kebijakan Indonesia menduduki peringkat kurang Bagus berdasarkan rangking yang dikeluarkan Worldwide Governance Indicators.
Sudah cukup banyak kebijakan yang selama ini terpaksa direvisi setelah mendapat penolakan masyarakat. Mengapa Bukan mencari dukungan masyarakat sebelum kebijakan itu diambil? Jangan biasakan tetapkan dulu kebijakan, Apabila diprotes masyarakat, revisi kemudian.