Ilustrasi Jepang. Foto: Unsplash.
Jakarta: Jepang mencatat Bilangan kebangkrutan bisnis tertinggi dalam 11 tahun terakhir pada tahun fiskal 2024. Menurut laporan Tokyo Shoko Research, jumlah perusahaan yang bangkrut melampaui 10 ribu kasus Kepada pertama kalinya sejak 2013, dengan total 10.144 kebangkrutan naik 12,1 persen dari tahun sebelumnya.
Melansir laman Xinhua, Rabu, 9 April 2025, kenaikan Bilangan kebangkrutan ini dipicu oleh beberapa Unsur, termasuk:
1. Kekurangan tenaga kerja: Perusahaan kecil dan menengah (UKM), yang menyumbang 89,4 persen dari total kebangkrutan, kesulitan mempertahankan operasional akibat kurangnya pekerja.
2. Kenaikan harga bahan baku: Biaya produksi yang melonjak menyebabkan 700 perusahaan gulung tikar, meningkat 2,0 persen dari tahun sebelumnya.
3. Berakhirnya Insentif pandemi: Berkurangnya dukungan pemerintah, seperti penangguhan pajak selama covid-19, Membangun banyak UKM Enggak Pandai bertahan.
Sektor paling terdampak
- Sektor jasa menjadi sektor dengan kebangkrutan tertinggi (3.398 kasus), meningkat 12,2 persen atau Bilangan tertinggi sejak 1989.
- Bangunan dengan kebangkrutan naik 9,3 persen menjadi 1.943 kasus, dipicu oleh melemahnya yen yang memperburuk biaya impor material.
- Manufaktur yang melonjak 17,1 persen dengan 1.179 kasus kebangkrutan.
(Ilustrasi perusahaan. Foto: Dok istimewa)
Tren positif di sektor transportasi
Melansir dari laman Japan Times, sektor transportasi mencatat penurunan kebangkrutan sebesar 3,8 persen (424 kasus) Kepada pertama kalinya dalam empat tahun, berhasil mengalihkan kenaikan biaya kepada pelanggan.
Total kewajiban menurun
Meski jumlah kebangkrutan meningkat, total liabilitas perusahaan yang bangkrut turun 3,6 persen menjadi 2,37 triliun yen Jepang. Tetapi, Bilangan ini tetap di atas 2 triliun yen Jepang Kepada ketiga tahun berturut-turut.
Analis memprediksi kebangkrutan akan Lalu meningkat secara moderat, terutama dengan adanya ketidakpastian kebijakan Mendunia, seperti tarif tinggi dari pemerintahan AS. (Avifa Aulya Utami Dinata)