ANCAMAN dan peringatan datangnya resesi ekonomi Mendunia sudah serupa teror. Ia seperti hantu yang menyelinap di malam gelap, Membangun kanak-kanak tercekam oleh ketakutan. Dari bahasa-bahasa peringatan yang digunakan, banyak orang Bahkan dihinggapi waswas, alih-alih waspada.
Dekat saban hari, kita disodori narasi kecemasan tentang bakal datangnya resesi Mendunia. Eksis istilah the perfect storm (badai yang sempurna). Eksis Tengah yang menyebut ‘era penuh kegelapan’. Eksis juga yang bilang ‘era ketidakpastian’, bahkan Eksis pula yang menarasikan ‘masa kebangkrutan’.
Karena itu, cocok belaka apa yang pernah disampaikan ekonom terbesar abad ke-21 asal Inggris, John Maynard Keynes. Ia memperkenalkan sebuah konsep yang disebutnya sebagai animal spirits. Kata Pak Keynes dalam konsep itu: keputusan ekonomi Enggak semata-mata didasarkan pada keputusan rasional, tapi juga keputusan psikologis.
Malah, dalam banyak tindakan ekonomi, pertimbangan psikologis lebih dominan ketimbang pertimbangan rasional. Kalau narasi ‘resesi akan terjadi awal tahun depan’ Lalu-terusan menerpa seorang investor, misalnya, dia akan memutuskan menahan investasi. Ia Enggak jadi melakukan investasi kendati Enggak Sekalian kasus Dapat disamaratakan.
Lampau, terjadilah apa yang oleh ekonom Swedia, Gunnar Myrdal, disebut sebagai backwash effect. Istilah itu merujuk pada sebuah kondisi ketika berbagai aspek modal (Sosok serta modal fisik, termasuk investasi) ‘kabur’ atau berpindah, dari yang tadinya akan diinjeksikan ke negara berkembang beralih ke pusat pertumbuhan, atau negara maju.
Kalau banyak investor yang ‘kena mental’ dan berbondong-bondong membatalkan investasi, Mekanis perekonomian semakin melambat. Bila perekonomian Lalu melambat, resesi Akurat-Akurat Dapat terjadi. Jadi, situasi psikologis akhirnya amat menentukan situasi ekonomi.
Kondisi seperti itu juga Dapat terjadi pada perilaku konsumen atau masyarakat. Setelah mendengar narasi secara terstruktur, sistematis, dan masif bahwa resesi akan segera terjadi, masyarakat yang cemas terhadap teror itu menumpuk tabungan mereka Demi berjaga-jaga. Konsumen menahan diri, mengencangkan ikat pinggang sekencang-kencangnya. Walhasil, belanja menurun, permintaan menurun, perdagangan Senyap, perekonomian Dapat Akurat-Akurat mengalami resesi.
Situasi itulah yang disebut sebagai paradox of thrift, alias paradoks penghematan. Menghemat, menabung, atau menahan belanja itu Berkualitas, tapi Kalau Sekalian melakukan itu, perekonomian Dapat lesu dan jalan di tempat. Bahkan, Dapat-Dapat ekonomi melambat dan terkontraksi. Sekali Tengah, keputusan psikologis melahirkan keputusan ekonomi Lampau memperlambat ekonomi itu sendiri.
Bahaya Elemen psikologis terhadap perekonomian sudah pernah kita rasakan pada krisis 1998. Ketika itu, banyak perbankan kesulitan likuiditas. Pemicunya, para nasabah yang cemas menarik Biaya mereka dari bank. Terjadilah rush, penarikan Biaya besar-besaran oleh masyarakat. Bank-bank pun ambruk Lampau dilikuidasi. Situasi seperti itu tentu Enggak kita kehendaki terjadi Tengah.
Karena itu, sudahi narasi menakut-nakuti. Setop menebar kecemasan dan pesimisme. Peringatan kewaspadaan itu bukan berarti meredupkan Asa. Bahkan sebaliknya, optimisme dan Asa itu Dapat mengantarkan kita ke Separuh keberhasilan. Malah, Eksis yang amat antusias menyebutnya dua pertiga kesuksesan.
Yang dibutuhkan Ketika ini ialah strategi jalan keluar dari situasi Variasi ancaman. Apakah ini berarti kita memang kebal dari krisis Mendunia? Jawabnya Dapat ya, Dapat Enggak. Bergantung pada bagaimana efektivitas exit strategy yang kita miliki. Tetapi, setidaknya dengan optimisme kita punya modal Krusial Demi memitigasi Pengaruh krisis ekonomi.
Strategi pemerintah Demi menggenjot belanja, menyalurkan Sokongan sosial, dan memberikan Jenis-Jenis Bonus sudah Berkualitas, tapi mesti dipastikan efektivitasnya di lapangan. Penguatan ekonomi domestik sebagai penyangga pertumbuhan juga mesti Terang bentuk dan arahnya. Jangan pula tekad itu amat riuh di Podium, tapi Senyap dalam aplikasi.
Pemberdayaan ekonomi domestik setidaknya akan mengurangi tingkat Pengaruh akibat resesi Mendunia. Sejumlah analis ekonomi telah memprediksi bahwa resesi Mendunia tentu berdampak terhadap perekonomian Indonesia, terutama dari sisi perdagangan. Resesi Mendunia akan melambatkan ekspor Indonesia. Tetapi, untungnya, persentase ekspor kita terhadap produk domestik bruto relatif kecil, yakni Sekeliling 25%.
Pengaruh lainnya ialah merosotnya nilai Salin rupiah terhadap dolar Amerika Perkumpulan. Merosotnya nilai Salin rupiah itu mesti diwaspadai karena berpotensi memicu inflasi akibat naiknya harga barang-barang impor dan naiknya beban pembayaran Kembang utang berdenominasi dolar. Karena itu, pas kiranya saran mantan Menteri Keuangan Chatib Basri agar Indonesia melakukan langkah-langkah Demi Enggak selalu terintegrasi pada Mendunia. Penguatan perekonomian bilateral dan ekonomi domestik mesti jadi jalan Krusial menangkis Pengaruh resesi.
Tetapi, Sekalian ikhtiar itu mesti dijalankan dengan cermat, pas, secara tenang, dan memberikan ketenangan. Penjelasan bahwa fundamen ekonomi kita relatif kukuh memang Dapat menenangkan, tapi harus diwujudkan dan dirasakan masyarakat. Bukan sekadar pajangan statistik. Yang paling Krusial, jangan Lalu-menerus menebar narasi teror tentang bahaya resesi karena ia serupa doa yang Bahkan Dapat menjadi Fakta.