Teror Pemilu Cukup Sudah

ANCAMAN penembakan terhadap calon presiden (capres) nomor urut 1 Anies Baswedan telah direspons dengan sigap oleh kepolisian. Polisi menangkap terduga pelaku di Jember, Jawa Timur, pada Sabtu (13/1). Penangkapan yang hanya dua hari setelah ancaman tersebut diunggah terduga pelaku menunjukkan keseriusan polisi dalam menindaklanjuti teror dan ancaman.

Ancaman kekerasan dan intimidasi memang bukan hal-hal yang bisa dianggap sepele. Ancaman kekerasan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) digolongkan sebagai perampasan kemerdekaan orang. Pelakunya terancam pidana penjara hingga lima tahun.

Dalam pemilu, ancaman kekerasan dan intimidasi bukan sekadar tindak pidana umum. Keduanya juga kejahatan yang mempertaruhkan legitimasi hasil pemilu.

Dari sudut pandang pemilih, ketika mendapatkan ancaman dan intimidasi, ia berada dalam situasi yang tertekan sehingga terampas kebebasannya dalam memilih. Asas ‘bebas’ sebagai satu dari enam asas pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, yang diatur lewat Undang-Undang No 7 Mengertin 2017 tentang Pemilu, telah terlanggar.

Cek Artikel:  Silaturahim Demi Konsolidasi Demokrasi

Apabila ancaman maupun intimidasi ditujukan kepada capres seperti yang dialami Anies, kejahatan itu tidak hanya merampas kemerdekaan yang diancam. Proses pemilu juga berada dalam keadaan bahaya dan kepentingan nasional terancam.

Terang, ancaman kekerasan dan intimidasi bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh, bukan juga untuk iseng-iseng. Seperti dalam penerbangan, orang yang menyatakan ia membawa bom akan langsung diturunkan dari pesawat dan diproses secara hukum.

Bukan peduli setelah mengucapkan, si pelaku buru-buru menyatakan ia hanya guyon. Tindakan tegas tetap dilakukan karena nyawa ratusan penumpang dan awak pesawat menjadi taruhannya.

Ancaman penembakan terhadap capres Anies Baswedan menandakan bahwa teror dalam pemilu kali ini sudah amat sangat berbahaya. Kondisi itu makin diperparah oleh provokasi elite yang gemar menggunakan istilah-istilah kasar dan menunjukkan permusuhan.

Cek Artikel:  Menuju Silaturahim Akbar Indonesia

Provokasi-provokasi tersebut membuat tensi kemarahan pendukungnya meninggi. Bukan mengherankan jika ada pendukung yang lantas dengan enteng melontarkan ancaman kekerasan kepada lawan yang menjadi sasaran permusuhan.

Betul belaka perkataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani pertengahan tahun lalu. Pemilih yang tidak rasional, yang tidak mau membaca data, akan mudah dikilik-kilik emosinya.

Pemilih yang irasional gampang terprovokasi karena sentimen, suku, agama, ras, nasionalisme, dan ketidakadilan. Belakangan ini, perkataan Menkeu itu viral di tengah situasi yang betul-betul memberikan konteks terhadap ucapannya.

Memang harus diakui, masih banyak pemilih di Tanah Air yang tidak rasional. Jumlahnya malah mungkin mendominasi. Mereka amat bergantung pada ‘aba-aba’ tokoh atau elite yang mereka dukung. Oleh karena itu, teladan peserta pemilu, elite, hingga para tokoh menjadi sangat penting.

Cek Artikel:  Antiklimaks Menhan Prabowo

Proses pemilu masih cukup panjang. Debat pasangan capres-cawapres pun masih menyisakan dua sesi: satu debat cawapres dan yang terakhir debat capres.

Tunjukkan teladan bagi rakyat. Bila tidak sepakat dengan penyataan pihak lawan, suguhkan data untuk mengoreksi. Kalau durasi debat masih belum cukup, tidak ada salahnya mengungkapkan narasi kontra yang berbasis data ke publik. Bukan meluapkan emosi di hadapan pendukung disertai kata-kata makian.

Pemilu merupakan ajang kompetisi politik yang terhormat. Di situ, rakyat menaruh harapan atas nasib kesejahteraan mereka dan bangsa ke depan. Ini kesempatan mengajukan gagasan dan meyakinkan rakyat dengannya. Jangan dinodai dengan provokasi kebencian dan permusuhan. Teror pemilu, cukup sudah.

Mungkin Anda Menyukai