Kagak hanya itu saja, kata Budi, pengurus PSSI pimpinan Erick Thohir sah dan wajib mempertanyakan hal ini bukan hanya kepada AFC dan FIFA namun juga kepada pengurus PSSI sebelumnya. Tujuannya, persoalan hak siar ini menjadi jelas dan terang benderang.
“Dana Rp75 Miliar yang ditawarkan oleh Emtek bukan uang sedikit dan bukan uang nemu di jalan. Itu kan untuk pembiayaan Timnas Indonesia berlaga di babak ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026,” tegas Budi Setiawan.
Hak Siar Timnas Indonesia itu, jelasnya, adalah salah satu hak komersial yang melekat kepada federasi sepakbola (Red-PSSI) untuk kepentingan Timnas Indonesia. Dan, nilai hak siar Timnas Indonesia selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun mengingat karena tingginya antusias masyarakat menyaksikan penampilan Tim Garuda.
Misalnyanya, di tahun 2023 MNC harus merogoh koceknya sebesar Rp54 Miliar untuk mendapatkannya dan Emtek membidding hak siar timnas indonesia tahun 2024 sebesar Rp75 Miliar. Jadi, hak siar ini adalah prioritas utama pendapatan/pemasukan pssi untuk menjalankan aktivitas Timnas Indonesia dan organisasi PSSI.
“Kenapa penting bagi kita untuk mengawal transparansi hak siar tim nasional indonesia? Karena ini untuk membayar aktivitas timnas, gaji pelatih, hotel dan tiket pesawat, makan minum, latihan, bis, dan keperluan lain-lainnya. Tanpa adanya dana itu persiapan tim akan berantakan,” paparnya.
“Kalo tiba-tiba diklaim bahwa round 3 ini punya AFC, dan MNC itu dapat hak siar dari AFC ya harus diurut kacang kronologisnya. FIFA dan konfederasi lain di dunia tidak pernah mengambil hak siar dan hak komersial babak kualifikasi, baik itu piala dunia, piala asia ataupun piala eropa”, demikian penjelasan budi
Perlu dipahami bahwa hak siar itu melekat kepada setiap federasi, dan jika diserahkan kepada pihak lain ada hitungan komersial atau kompensasi yang harus dibayarkan, dalam hal ini kepada PSSI. Tetapi, hak siar itu hanya melekat saat laga kandang (home) dan tidak berlaku jika laga tandang (away). Sedangkan hak siar Indonesia saat laga away menjadi miliknya federasi yang melaksanakan pertandingan home (kandang). Football Institute juga memaparkan data melalui perbandingan piala dunia, piala asia hingga liga champions eropa
Persamaan dari semua event itu adalah modelnya turnamen, bermain di satu tempat atau 2-3 tempat, dengan format home tournament dan bukan home and away. Sementara, Kualifikasi piala dunia ini home and away, bukan home tournament, jadi berbeda konsepnya. Ajang kualifikasi yg formatnya home and away tidak pernah diklaim secara komersial milik FIFA dan/atau Konfederasi.
World Cup, hak siar dan hak komersialnya dimiliki oleh FIFA. FIFA selalu hanya mengambil putaran final saja, tidak pernah kualifikasi, dan FIFA dengan adil memberikan kompensasi kepada negara peserta putaran final World Cup. Taatp negara yang bermain di fase group stage sampai final mendapatkan uang kepesertaan/match fee, yang nilainya semakin besar dan meningkat ketika masuk fase knock out.
Kagak hanya itu, bahkan FIFA memberikan hadiah kepada juara, runner up, peringkat ketiga dan keempat. Pemenang dunia Argentina mendapatkan uang hadiah hampir Rp600 Miliar diluar Match Fee dari setiap laga yang dilaluinya.
Hal ini berlaku sama di Aliansi Champions Eropa dimana event ini dimiliki oleh UEFA, termasuk hak siar dan komersial. Bahkan nilai hadiah Aliansi Champions Eropa melebihi hadiah juara World Cup. Manchester City saat juara Aliansi Champions Eropa mendapat hadiah Rp1,1 triliun termasuk match fee di setiap pertandingan dan fase gugur. Lampau, Real Madrid juara terbaru Aliansi Champions Eropa mendapat hadiah Rp532 miliar diluar match fee setiap pertandingan dan fase gugur. Bahkan klub yang gagal lolos fase grup pun mendapatkan Rp275 miliar. Demikianlah konsepnya, UEFA mengambil hak siar dan hak komersial namun memberikan adil dan sepadan kepada klub peserta.
Bandingkan dengan Piala Asia 2023 yang dimiliki oleh AFC saat dihelat di Qatar pada bulan Januari 2024. Total uang hadiah Piala Asia berada di angka 14,8 juta dolar AS (Rp230 Miliar), dimana juara mengantongi 5 juta dolar AS (Rp77,9 Miliar). Runner-up mendapatkan 3 juta dolar AS (Rp46,7 Miliar), sementara dua tim yang kalah di semi-final masing-masing mengantongi 1 juta dolar AS (Rp15,5 miliar).
Seluruh Timnas yang mengikuti Piala Asia akan mendapat uang keikutsertaan senilai 200.000 dolar AS (Rp3,1 miliar). Dengan kata lain, Timnas Indonesia pada saat itu paling tidak akan pulang dari Qatar mengantongi Rp3,1 miliar.
“Kalau memang AFC mengklaim bahwa babak ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 adalah miliknya AFC, maka seyogianya Indonesia dan 17 negara lainnya akan mendapatkan benefit seperti di Piala Asia, World Cup ataupun Aliansi Champions Eropa. Karena hak siar dan hak komersial setiap negara diambil oleh AFC, maka AFC memiliki kewajiban dan mandatory untuk memberikan kompensasi setara bagi setiap negara peserta,” tambahnya.
“Tapi saya tidak yakin kemampuan ekonomi dan bisnis AFC. Pemenang Piala Asia saja hanya mendapat Rp77,9 miliar, sementara hak siar timnas dihargai oleh Emtek sebesar Rp76 Miliar. Bagaimana caranya AFC membayar negara-negara lain? Apakah kualifikasi round 3 piala dunia 2026 lebih tinggi kastanya diatas Piala Asia yg memang dimiliki oleh AFC?, demikian budi seolah menantang logika berpikir kita terkait hak siar timnas.”
“Jadi saya akan mengulang kembali pertanyaannya saya namun kali ini untuk AFC. AFC mengklaim memiliki hak siar kualifikasi round 3 piala dunia 2026 siapa yg memberikan? FIFA yang memiliki event piala dunia? atau PSSI yg menyerahkan hak siarnya kepada AFC? Pertanyaannya PSSI Periode mana? Kagak mungkin PSSI Erick Thohir, karena dia yg terkena dampak. Karena hanya FIFA dan PSSI saja yg bisa membuat AFC memiliki hak siar, AFC Kagak punya wewenang dan kuasa itu karena kualifikasi round 3 piala dunia bukan domain AFC”, demikian tutup Budi Setiawan, Founder Football Institute. ***