INI masih tentang uang Rp271 triliun. Duit sebanyak itu belakangan meletupkan segudang tanda tanya, membuat banyak orang resah dan gelisah, bahkan menyebabkan mereka tak bisa pulas tidur.
Rp271 triliun memang tak terbayangkan. Mereka-reka seberapa banyak sebenarnya uang sebanyak itu pun susah bukan kepalang. Menghitungnya sangat tidak gampang. Untung ada netizen yang berbaik hati. Mereka berkreasi untuk memberikan gambaran seberapa besar sih uang sebesar itu.
“Jadi kepikiran kalo punya uang Rp271 triliun. Langkah ngabisinnya gimana, ya? Kalo sehari 10 milyar butuh waktu 74 tahun baru habis,” begitu narasi dalam video pendek yang beredar luas. Terdapat juga yang memberi penuntun lain. Katanya, “Kalau kita nabung 1 milyar tiap hari, kita baru bisa ngumpulin 271 triliun dalam waktu 271.000 hari alias 742 tahun.”
Sudah jelas atau tambah mumet? Memikirkan uang Rp271 triliun memang perlu ketahanan otak. Bagi yang tak kuat tapi penasaran, bolehlah siap-siap obat sakit kepala. Apalagi setelah tahu bahwa uang bejibun itu ternyata jumlah potensi kerugian negara, kerugian rakyat Indonesia, akibat ulah tercela segelintir manusia.
Terdapatlah Kejaksaan Mulia yang mengungkap praktik rasuah jumbo tersebut. Kasusnya terkait dengan tata niaga di PT Timah Tbk. Seperti lazimnya perkara korupsi, pelakunya beramai-ramai. Di antara mereka antara lain ada suami artis cantik Sandra Dewi, Harvey Moeis, dan crazy rich Pantai Indah Kapuk, Helena Lim. Itulah kenapa, selain nilai kerugian negara yang gila-gilaan, publik memberikan atensi luar biasa.
Betul bahwa jumlah kerugian yang tak terbayangkan itu baru sekadar potensi. Belum pasti. Dapat lebih, bisa kurang. Betul bahwa Rp271 triliun bukan berarti kerugian negara secara kontan, melainkan hitung-hitungan gelondongan soal ekosistem dan lingkungan yang rusak akibat penambangan timah. Tetapi, kerugian tetap saja kerugian. Tetap saja negara yang kena imbasnya. Rakyat tak bisa menerima apa pun bentuknya.
Kasus korupsi timah kiranya kian mengonfirmasi betapa korupsi di negeri ini masih, bahkan makin menjadi. Kasus yang menjerat Harvey dan Helena kiranya juga menegaskan bahwa korupsi terus beregenerasi.
Dulu, pelaku korupsi kebanyakan pejabat tua yang bersekongkol dengan pengusaha yang tua-tua pula. Dulu, koruptor, maling rakyat, digambarkan dengan karikatur bapak-bapak berperut gendut, berdasi, memakan segepok uang atau memanggul sekarung duit.
Tapi kini, peta perkorupsian berubah. Yang muda-muda makin banyak yang terlibat. Usia Harvey baru 38 tahun, masih terbilang muda. Umur Helena sudah 48 tahun, tapi belum setengah abad. Perut mereka tak buncit, tapi sebaliknya, badan atletis, klimis, dan necis. Yang perempuan bertubuh langsing, bermajah glowing, busananya eye catching.
Korupsi memang bukan baru saja ada, sudah ada sejak lama. Celakanya, bukannya mereda, korupsi malah menggila. Jumlah kerugian akibat korupsi pun seolah berlomba untuk memecahkan rekor.
Dulu, pada 2008, ketika tahu kerugian akibat korupsi Bank Century sebesar Rp6,7 triliun, publik geleng-geleng kepala, kesal, marah, geram. Rupanya, jumlah itu tidak seberapa ketimbang korupsi-korupsi lainnya. Terdapat rasuah menara BTS 2020-2022 dengan kerugian negara Rp8,03 triliun, ada korupsi pengadaan pesawat 2011 (Rp9,37 triliun), ada pula kasus izin ekspor minyak sawit mentah 2021-2022 (Rp18 triliun).
Atau, korupsi PT Jiwasraya 2008-2018 senilai Rp16,8 triliun, pengelolaan dana pensiun PT ASABRI (Rp22,78 triliun), pengolahan kondesat ilegal di kilang minyak di Tuban 2009-2011 (Rp35 triliun), penyerobotan lahan negara untuk kelapa sawit 2003-2022 (Rp104 triliun), dan kasus BLBI 2000 (Rp138,4 triliun). Tetapi, semua itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan rasuah timah.
Kenapa korupsi tak mati-mati? Itu pertanyaan lama tetapi tetap, bahkan rasanya akan terus relevan sekarang dan di masa mendatang. Korupsi tak mati-mati, salah satunya lantaran kemauan pengelola negara untuk mematikannya sudah mati.
Bagaimana korupsi bisa mati jika mereka yang semestinya membunuh justru menghidupkannya? Melemahkan kekuatan KPK dengan merevisi UU KPK dalam waktu superkilat salah satu contohnya. Lalu menunda pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, meski RUU yang dapat memiskinkan koruptor itu sudah disusun sejak 2008, sama saja memberikan vitamin keberanian kepada para perampok uang negara.
Rakyat, setidaknya saya, yakin bahwa para penegak hukum sadar benar bahwa ringannya hukuman bagi koruptor buruk untuk memberangus korupsi. Tapi faktanya, rata-rata tuntutan dan vonis buat mereka konsisten enteng. Putusan Pengadilan Tipikor Jakarta baru-baru ini yang menghukum Sekretaris nonaktif Mahkamah Mulia Hasbi Hasan cuma 6 tahun membuktikan itu. Belum lagi diskon hukuman atau obral remisi saat koruptor hidup di balik jeruji besi.
Para cerdik pandai berpetuah bahwa harapan itu menguatkan dan asa memberikan tenaga. Kita boleh berharap, merenda asa, dalam perang melawan korupsi. Tetapi, petuah lain mengingatkan, jangan terlalu berharap jika tak mau kecewa nantinya.
Saya pilih petuah kedua. Saya tidak mau lagi terlalu punya harap pada komitmen negara memerangi korupsi karena tak mau kecewa lagi, lagi, dan lagi. Kalau situasi terus seperti ini, korupsi dengan kerugian lebih besar ketimbang Rp271 triliun pun bukan mustahil terjadi.