Teladan Defisit Rasuah Melejit

KEGELISAHAN anak bangsa tentang kondisi mutakhir negeri ini semakin menjadi-jadi. Setelah sivitas akademika dari berbagai perguruan tinggi yang dimotori guru besar, kini sejumlah mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2003-2019 pun turun gunung menyerukan kegelisahan serupa.

Dalam seruan di Gedung KPK lama di Jakarta Selatan, Senin (5/2), mereka menyoroti penyelenggaraan negara yang semakin menjauh dari etika dan hukum. Selain itu, para mantan punggawa antirasuah tersebut meminta pemimpin negara menghindari segala benturan kepentingan, conflict of interest, karena benturan kepentingan adalah akar dan langkah awal untuk menuju praktik korupsi.

Mereka juga mendesak pemimpin negara memperkuat agenda pencegahan dan pemberantasan korupsi, sekaligus menjadi role model dalam menjalankan sikap dan perilaku antikorupsi. Terkait bantuan sosial, mereka berpendapat tata kelolanya harus tidak mengabaikan prinsip good governance, termasuk tata kelola penyalurannya yang dilakukan menjelang pesta demokrasi.

Cek Artikel:  Manajemen Gagap di Pelabuhan Merak

Apa yang menjadi kegelisahan para sivitas akademika dan para mantan pimpinan lembaga antirasuah adalah kegelisahan bangsa ini. Ketika pengelolaan negara menanggalkan etika dan hukum, maka di situlah berbagai masalah mencuat, termasuk dalam penyelenggaraan pemilu.

Begitu pun kegelisahan tentang praktik korupsi yang tidak kunjung henti. Ketika KPK menggencarkan operasi tangkap tangan, nyatanya para pencoleng uang negara bukannya semakin berkurang, malah kian garang melakukan korupsi dengan rupa-rupa modus operandi. Regenerasi koruptor seolah terus terjadi.

Kondisi pemberantasan korupsi kian suram ketika KPK yang semula diandalkan publik berdiri di garis depan pemberantasan korupsi, justru ikut menjadi sarang korupsi. Itu terlihat ketika Ketua nonaktif KPK Firli Bahuri menjadi tersangka pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Tak hanya itu, rumah tahanan KPK pun menjadi episentrum pungutan liar yang diduga melibatkan 93 pegawai lembaga tersebut.

Cek Artikel:  Langkah Gagap Konsistenkan Harga Beras

Pemerintahan Jokowi jilid kedua babak belur memerangi penjarah uang negara. Padahal, korupsi adalah kejahatan luar biasa. Akan tetapi, perang melawan korupsi dilakukan secara biasa-biasa saja, bahkan mengalami pelemahan.

Kemunduran pemberantasan korupsi terlihat dari laporan Transparency International Indonesia (TII) yang mencatat indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia sebesar 34 poin pada 2023. Safiri itu terpantau stagnan dari tahun sebelumnya yang juga sebesar 34 poin. Skor tersebut menunjukkan kembalinya nilai indeks saat awal-awal KPK berdiri sekaligus menempatkan Indonesia di urutan ke-115 dari 180 negara.

Kita sempat punya harapan ketika IPK Indonesia pernah mencapai skor 40 (dari 0-100) pada 2019. Tetapi, harapan itu padam setelah dalam empat tahun terakhir, angka tersebut tidak naik, bahkan jeblok.

Cek Artikel:  Berharap Satgas Judi Tancap Gas

Pemberantasan korupsi mestinya tidak sekadar dengan penegakan hukum yang sekeras-kerasnya, tapi juga lewat jalan terbentuknya ekosistem yang sehat untuk mencegah perilaku korup. Basis dari tumbuhnya ekosistem yang sehat itu ialah tersemainya etika di kalangan penyelenggara negara. Etika yang kuat akan menjaga penyelenggara negara dari perilaku tidak pantas dan merasa malu jika mengambil sesuatu yang bukan haknya.

Indonesia mengalami darurat korupsi. Presiden Jokowi harus menjadi panglima pemberantasan korupsi di sisa akhir kekuasaannya yang tinggal delapan bulan lagi. Langkahnya, Jokowi harus menjadi sumber teladan yang menjaga etika dengan kukuh. Dengan cara itulah Jokowi akan dikenang sebagai negarawan, bukan sebagai petugas bansos yang membagi-bagikan langsung bantuan yang mestinya dilakukan aparaturnya.

Mungkin Anda Menyukai