Tawuran Kontestasi Identitas dan Upaya Menyalurkan Hasrat

Tawuran: Kontestasi Identitas dan Upaya Menyalurkan Hasrat
Ilustrasi MI(MI/Seno)

PENEMUAN tujuh mayat di Kali Bekasi, Jatiasih, Kota Bekasi, membuka puncak gunung es fenomena tawur yang marak di berbagai daerah. Seluruh korban ialah anak muda berusia belasan tahun yang meloncat ke Kali Bekasi untuk menghindari Tim Patroli Perintis Presisi Polres Metro Bekasi Kota yang tengah melakukan razia. Celaka, tujuh pemuda itu ternyata tidak pandai berenang sehingga akhirnya mereka tewas tenggelam. Sebanyak 15 orang telah ditetapkan menjadi tersangka terkait dengan peristiwa tewasnya tujuh anak muda di Kali Bekasi tersebut.

Kasus yang menggegerkan itu membuka mata masyarakat, bahwa ada sesuatu yang salah dari kelakuan anak muda kita. Dapat dibayangkan, siapa yang tak prihatin membaca laporan sejumlah anak muda nongkrong di jalanan pada dini hari pukul 03.00 WIB untuk tawur. Tak hanya bergerombol, anak-anak muda pelaku tawur diketahui sering berbekal senjata tajam dengan ukuran yang tidak lazim. Di tangan mereka biasanya tergenggam celurit berukuran besar, sangat mengerikan, seolah siap dipakai untuk melukai dan membunuh lawan.

Kenapa anak-anak muda yang seharusnya lebih banyak menghabisi waktu untuk belajar atau melakukan aktivitas pleasure ternyata bertindak layaknya preman sanggar yang siap membunuh siapa pun yang berani menganggu mereka? Apa sebetulnya yang membuat anak-anak muda kita kehilangan nalar dan berkelakuan layaknya orang yang tidak mengenal norma, nilai, dan agama?

Baca juga : Polisi Bekuk 43 Gangster di Kota Semarang selama September

 

Elemen penyebab

Kasus anak muda yang melakukan aksi tawur tidak hanya terjadi di Kota Bekasi atau di kota besar. Di sejumlah daerah, tak sekali dua kali dilaporkan terjadinya kasus tawur yang melibatkan penggunaan senjata tajam. Awal Mei lalu, misalnya, di Sukabumi, Jawa Barat, tawur juga terjadi dan melibatkan sejumlah pelajar SMP. Seorang pelajar SMP berinisial MPY, 13, mengalami luka di kepala hingga akhirnya kehabisan darah dan meninggal dunia. Polisi menetapkan 10 orang anak sebagai tersangka.

Cek Artikel:  Meneladani Ibu Nyai dan Ning Roda Penggerak Pondok Pesantren

Baca juga : Ridwan Kamil akan Hadirkan “Car Free Night” untuk Cegah Tawuran Kaum

Tindak tawur dilaporkan juga terjadi di Kota Semarang, Jawa Tengah. Dalam sebulan terakhir, terjadi setidaknya lima tawur yang menimbulkan dua korban jiwa dan dua korban luka-luka. Di Kecamatan Semarang Utara, Agustus lalu, sekitar pukul 04.00 WIB, ada dua kelompok remaja yang saling menantang untuk berkelahi melalui media sosial. Mereka kemudian bertemu untuk berkelahi menggunakan senjata tajam di lokasi yang telah dijanjikan. Dalam tawur itu, NTO, 26, dilaporkan tewas karena pendarahan hebat yang terjadi akibat sabetan senjata tajam pada punggung, kening, lengan kiri, pinggang kiri, dan perut kirinya.

Daftar kasus tawur yang terjadi di Tanah Air dapat terus diperpanjang. Di banyak daerah, baik di kota kecil, menengah, maupun kota besar, meski telah dilakukan berbagai razia dan sanksi telah dijatuhkan kepada para pelaku, kasus tawur terus terjadi dari waktu ke waktu. Tak disangkal ada banyak korban telah jatuh dalam berbagai kasus tawur.

Kepada mencegah agar fenomena tawur tidak makin meluas dan korban dalam kasus tawur dapat dihilangkan, yang perlu diperhatikan tentu ialah bagaimana kita memahami akar masalah di balik merebaknya fenomena tawur anak muda di berbagai daerah.

Baca juga : Kasus 7 Jasad, Kadiv Propam Komit Proses Personel Kalau Melanggar

Secara garis besar, paling tidak ada tiga akar masalah yang perlu diperhatikan dalam upaya perumusan dan pelaksanaan program pencegahan kasus tawur. Pertama, berkaitan dengan kebutuhan anak muda untuk memperlihatkan identitas mereka yang salah. Dari berbagai kasus tawur yang terjadi, sudah bukan rahasia lagi kalau anak-anak muda yang terlibat tawur memiliki kebutuhan untuk unjuk identitas sosial mereka. Alih-alih malu atau takut terlibat, mereka justru merasa bangga karena terlibat dalam aksi tawur.

Cek Artikel:  MKMK Mustahil Batalkan Putusan Mahkamah Konstitusi

Dalam berbagai kasus tawur, sering terjadi pemicu awal bermula dari tantangan yang diunggah di media sosial sehingga tiap-tiap pihak menjadi terprovokasi. Titik tawur biasanya ditentukan dan disepakati di media sosial. Tak hanya itu, mereka juga bangga melakukan aksi tawur dan menyiarkan aksi yang mereka lakukan secara live di Instagram. Anak-anak muda yang melakukan aksi tawur sering kali justru bangga ketika mereka berkelahi ramai-ramai dengan membawa senjata tajam yang mengerikan.

Kedua, berkaitan dengan faktor psikologis, yakni anak-anak muda yang cenderung merasa rendah diri, frustasi pada diri dan kehidupan keluarga mereka, serta acap kali mengalami konflik batin karena ketidakjelasan mereka menempatkan diri di masyarakat. Anak-anak marginal yang merasa dikucilkan dan dijauhi masyarakat, mereka berpotensi bergabung dalam kelompok geng yang ekslusif.

Baca juga : Tim Patroli Perintis Polda Metro Gagalkan 111 Kasus Tawur

Dalam berbagai kasus, anak-anak marginal itu sering tidak mampu mengontrol emosi mereka. Mereka umumnya mengembangkan sikap yang berlawanan dengan aparat penegak hukum dan mengembangkan perilaku yang resistan. Akibat didera rasa putus asa dan tertindas, anak-anak marginal itu justru menyalurkan rasa sakit hati mereka dengan perbuatan yang melanggar batas-batas moralitas dan etika. Dengan berkelahi, tawur, dan melukai pihak lawan, mereka merasa eksis dan dihormati. Itulah cara anak muda marginal memperlihatkan siapa mereka di hadapan kelompok dan lingkungan sosial mereka.

Ketiga, berkaitan dengan latar belakang keluarga, khususnya perilaku orangtua yang penuh dengan tindak dan budaya kekerasan. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang mendidik anak dengan tindak kekerasan biasanya mereka akan mewarisi dan meneruskan subkultur kekerasan.

Cek Artikel:  Partisipasi Pemuda dalam Kebijakan Ekonomi

Pola asuh orangtua yang otoriter yang mana sikap orangtua cenderung tidak mau mendengar suara anak-anak mereka biasanya memiliki pola komunikasi yang buruk di rumah. Mereka dididik lebih banyak mengandalkan ancaman dan tindak kekerasan sehingga anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang ketakutan dan cenderung menghindari interaksi dengan orangtua mereka.

Pada titik yang mana mereka merasa sudah tidak betah lagi tinggal di rumah, anak-anak seperti itu akan lebih memilih tinggal dan menghabiskan waktu di luar rumah. Ikut tawur bersama teman ialah bentuk pelarian anak-anak muda dari situasi rumah yang tidak nyaman dan mengancam.

 

Menyalurkan

Di kalangan anak muda marginal, mencegah agar mereka tidak terlibat dalam tindakan tawur harus diakui bukan hal yang mudah. Alih-alih menghilangkan perilaku menyimpang anak muda marginal yang melawan norma sosial, yang realistis ialah bagaimana menyalurkan hasrat mereka untuk berkelahi, minum minuman keras, dan terlibat perilaku menyimpang lainnya dalam aksi yang bisa ditoleransi alias tidak berbahaya.

Anak muda yang suka tawur bisa saja diberi ruang untuk adu kejantanan di ring tinju dengan wasit yang bertanggung jawab. Anak-anak yang suka balap liar, misalnya, ada baiknya jika disalurkan dalam perlombaan balapan di sirkuit yang memang pada tempatnya untuk beradu kecepatan. Daripada menghapus kelakuan mereka yang ingin mencari dan unjuk identitas mereka, sesungguhnya lebih realistis kalau menyalurkan hasrat mereka pada ruang-ruang yang terjaga dan tidak keluar dari koridor keamanan dan keselamatan mereka. Semoga.

 

 

Mungkin Anda Menyukai