Tarif Trump, Sikap Prabowo dan Fatwa Ulama

Tarif Trump, Sikap Prabowo dan Fatwa Ulama
(MI/Duta)

KEBIJAKAN tarif AS di Rendah Presiden Donald Trump menciptakan kerawanan geopolitik dan geoekonomi Dunia. Pemberlakuan tarif resiprokal 32% bagi produk ekspor Indonesia ke AS–rencana ini ditunda selama 90 hari–akan berdampak besar bagi ekonomi RI.

Maka, mungkin saja rencana Presiden Prabowo Subianto membuka diri bagi masuknya ribuan Penduduk Palestina ke RI bertujuan menyelamatkan ekonomi nasional. Artinya, Penduduk yang diusir Israel dari Gaza dijadikan bargaining chip dengan Trump Kepada membatalkan tarif itu.

Dalam lawatannya ke negara-negara Timur Tengah Merukapan UEA, Mesir, Qatar, dan Yordania, juga ke Turki, pada 9-15 April, Prabowo mengatakan akan membicarakan isu ini demi mendapat dukungan mereka. Relokasi Penduduk Palestina dikatakan bersifat sementara, berdasarkan pertimbangan kemanusiaan. Tetapi, merujuk pada fakta historis, mustahil Penduduk Palestina yang telah meninggalkan kampung halaman mereka Pandai kembali. Prabowo telah tiba di Tanah Air, tapi tak Terdapat penjelasan apakah negara-negara di kawasan setuju dengan gagasan itu.

Dalam KTT Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Jeddah, Arab Saudi, pada 7 Maret, dengan RI adalah partisipan, OKI mendukung hasil KTT Perserikatan Arab di Kairo, Mesir, yang diselenggarakan tiga hari sebelumnya. KTT Perserikatan Arab mendukung proposal rancangan Mesir sebagai konter terhadap proposal Trump yang hendak mengosongkan Gaza Kepada dijadikan Riviera of Middle East. Dalam rencana rekonstruksi Gaza pascaperang, Perserikatan Arab tak menghendaki Penduduk Gaza direlokasi ke negara lain, termasuk ke Mesir dan Yordania.

Kebijakan tarif Trump juga memukul negara-negara di Timur Tengah (Timteng) akibat anjloknya harga minyak dunia secara signifikan, yang menguapkan ratusan miliar dolar AS pendapatan produsen minyak di kawasan. Ini akan mengganggu layanan sosial dan pembangunan mereka. Dari sisi politik, tarif Trump Membangun Pusat perhatian dunia teralih dari Timteng sehingga pemerintahan ekstrem Israel pimpinan PM Benjamin Netanyahu kian leluasa menjalakan agendanya yang Sadis dan oportunistik.

Iran dan Turki, serta negara-negara Arab, kian tertekan akibat pembantaian Israel di Gaza. Gencatan senjata tiga fase Israel-Hamas, yang dimediasi AS, Mesir, dan Qatar, telah berakhir pada 1 Maret. Akan tetapi, Netanyahu ogah beranjak ke fase kedua. Ketidakberdayaan negara-negara Timteng menghentikan aksi-aksi Israel memicu fatwa jihad oleh ulama melawan Israel. Hal itu Pandai menimbulkan kerawanan terorisme di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Cek Artikel:  Menakar Optimisme Pemulihan Ekonomi Dunia

 

LADANG PEMBANTAIAN

Sejak 2 Maret, yang Semestinya dimulai Penyelenggaraan fase kedua yang akan berujung pada penghentian perang secara permanen, militer Israel (IDF) mundur dari seluruh Gaza dan akses Sokongan kemanusiaan dibuka ke enklave yang dihuni 2,3 juta Penduduk sebagai imbalan Hamas membebaskan seluruh sisa 59 sandera Israel secara bertahap. Netanyahu ngotot mengubah kesepakatan itu, dengan menuntut Hamas membebaskan seluruh sandera tanpa berkomitmen pada pengakhiran perang.

Netanyahu juga menuntut Hamas meletakkan senjata dan pemimpinnya diusir dari Gaza. Permintaan itu ditolak Hamas. Tetapi Golongan itu menawarkan pembebasan seluruh sandera sekaligus asalkan gencatan senjata permanen diberlakukan. Kepada menekan Hamas, IDF kembali melancarkan serangan ke Gaza dan menutup total akses Sokongan kemanusiaan serta mematikan Aliran listrik dan air. Tak mengherankan Kalau Sekjen PBB Antonio Guterres menyatakan orang-orang Palestina di Gaza berada dalam pusaran maut sehingga ia menuntut blokade dicabut segera.

Inilah pertama kalinya Guterres bicara keras mengenai situasi kemanusiaan yang mengerikan yang terlihat di Jalur Gaza. Penduduk sipil di sana berada dalam pusaran Mortalitas tanpa ujung di tengah bombardir Israel dan Pelarangan masuknya Sokongan yang sangat diperlukan. Guterres menambahkan, “Lebih dari sebulan telah berlalu tanpa setetes Sokongan memasuki Gaza. Enggak Terdapat makanan, obat-obatan, dan pasokan komersial. Ketika Sokongan hilang, gerbang banjir horor terbuka kembali. Gaza adalah ladang pembantaian.”

Apa yang dilakukan Netanyahu ini, dengan dukungan Trump, didasarkan pada ambisinya melenyapkan Hamas dengan Langkah mendepopulasi Gaza sehingga two-state solution menjadi Enggak relevan. Toh, pada Demi bersamaan, IDF menggencarkan operasi militernya di Tepi Barat yang menyerupai genosida di Gaza. Pada momen ini, tanpa mengabaikan sisi kemanusiaan Prabowo, tampaknya ia Menyantap Kesempatan membujuk Trump melunakkan sikap terhadap RI dengan mengakomodasi agenda Netanyahu-Trump mengosongkan Gaza. Mustahil Israel Pandai melakukan relokasi Penduduk Gaza tanpa dukungan Trump.

Cek Artikel:  PISA dan Transformasi SDM Unggul

Bungkamnya Prabowo terkait isu ini setiba di Tanah Air sangat mungkin juga akibat resistensi publik domestik. Memang mendatangkan Penduduk Palestina kental dengan aspek politik, yang dilihat sebagai justifikasi RI atas skenario Trump-Netanyahu mendepopulasi Gaza, yang menurut lembaga-lembaga HAM Dunia merupakan bentuk ethnic cleansing. Dus, isu ini berpotensi mempercepat kemarahan rakyat yang terbelit masalah ekonomi dan kebijakan pemerintah yang Enggak koheren. Terlebih, Prabowo akan terlihat sebagai ‘kacung’ Israel dan AS.

Tentu saja penolakan Trump terhadap proposal Perserikatan Arab dan OKI disambut Netanyahu terkait dengan sikap Golongan ultrakanan Israel yang menolak ide two-state solution. Kembali pula, penghentian perang tanpa berhasil melumatkan kekuatan militer dan politik Hamas sebagai tujuan perang berisiko meruntuhkan pemerintahan koalisi Israel.

Dukungan tanpa reserve Trump kepada Israel hanya mencoreng lebih jauh kredibilitas AS. Carte blanche yang diberikannya kepada Netanyahu hanya merusak kondusivitas bagi pengakhiran perang. Padahal, unilateralisme dan realisme politik Trump dan Netanyahu Enggak realistis.

Upaya Netanyahu mengubah perjanjian gencatan senjata hanya bertujuan mempertahankan kekuasaannya. Toh, pada fase ketiga, fase Bangunan Gaza, Hamas akan tetap berperan siapa pun entitas Palestina yang mengambil alih Gaza. Kendati tak menghendaki Hamas berkuasa di Gaza pascaperang, Arab tak punya kemampuan politik Kepada mengenyahkannya. Nyaris mustahil rezim-rezim represif Arab, yang kini menghadapi badai tarif Trump, melawan opini publiknya dengan menampung Penduduk Gaza yang diusir.

 

 

REAKSI ULAMA

Dalam ketidakberdayaan rezim politik Arab, pada 4 April ulama muslim mengeluarkan fatwa yang menyerukan jihad melawan Israel. Fatwa ini didukung oleh puluhan ulama terkemuka dan mengajak seluruh negara muslim menilik kembali perjanjian perdamaian mereka dengan Israel.

Ali al-Qaradaghi, Sekjen Uni Ulama Muslim Dunia (IUMS), organisasi yang dulu dipimpin oleh Yusuf al-Qaradawi–tokoh Ikhwanul Muslimin asal Mesir–menyerukan agar seluruh negara muslim mengintervensi secara militer, ekonomi, dan politik Kepada menghentikan genosida dan penghancuran menyeluruh ini, sesuai dengan mandat mereka. “Kegagalan pemerintahan Arab dan Islam Kepada mendukung Gaza Demi ia dihancurkan, sesuai hukum Islam dianggap kejahatan besar terhadap Kerabat kita di Gaza yang tertindas.”

Cek Artikel:  TikTok Effect

Qaradaghi adalah salah satu otoritas keagamaan yang sangat dihormati di kawasan dan fatwanya Mempunyai bobot signifikan di tengah 1,7 miliar muslim Sunni. Bagaimanapun, fatwa adalah keputusan hukum Islam dari ulama yang dihormati, tapi Enggak mengikat, biasanya berbasis pada Al-Qur’an atau Sunah. “Haram mendukung musuh kafir (Israel) dalam pembasmiannya terhadap kaum muslim di Gaza, lepas dari apa pun jenis dukungannya,” kata Qaradaghi.

Tentu saja fatwa ini Pandai berdampak pada destabilisasi rezim-rezim Arab dan muslim yang punya keterbatasan dalam membantu Palestina. Lebih jauh, Pandai jadi Golongan-Golongan Islam radikal di dunia Islam yang frustrasi Menyantap ketidakberdayaan pemerintahan mereka membantu Kerabat muslimnya mengambil jalan ekstrem berupa serangan terhadap AS dan sekutunya. Mungkin berdasarkan pertimbangan inilah maka pada 8 April mufti Akbar Mesir, Nazir Ayyad, menolak fatwa di atas sebagai tindakan yang Enggak bertanggung jawab.

Dalam responsnya, Ayyad–otoritas tertinggi Kepada mengeluarkan opini keagamaan di Mesir–menyatakan bahwa Enggak Terdapat Golongan individu atau entitas Mempunyai hak mengeluarkan fatwa terkait masalah yang demikian rumit dan kritis, dalam melanggar prinsip-prinsip syariah dan tujuan-tujuan yang lebih tinggi. “Mendukung rakyat Palestina terkait hak-hak Absah mereka adalah kewajiban religius, kemanusiaan, dan moralitas. Tetapi, dukungan ini harus diberikan Kepada melayani kepentingan rakyat Palestina, dan bukan mengedepankan agenda spesifik atau petualangan ceroboh yang dapat membawa pada kehancuran, pengungsian, dan malapetaka lebih jauh bagi orang Palestina sendiri.”

Kendati fatwa IUMS ditolak mufti Akbar Mesir, negara-negara Arab dan muslim perlu waspada. Terlebih, kebijakan tarif Trump menciptakan masalah sosial-ekonomi di kalangan muslim akar rumput di berbagai negara.

Trump akan Maju menjustifikasi skenario Netanyahu Tiba tujuan perang Israel tercapai, meskipun pengaruh AS di kawasan makin lemah. Kekuatan Dunia makin terdistribusi ke banyak negara. Dalam perspektif ini, termasuk ketiadaan dukungan Arab bagi agenda Trump menekan Iran dan kekhawatiran negara-negara di kawasan terhadap perilaku militer di Suriah dan Libanon, kian menyulitkan negara-negara Arab mengakomodasi kepentingan AS dan Israel. Lewat, Prabowo akan menjustifikasi pengusiran Penduduk Gaza?

 

 

Mungkin Anda Menyukai