Jakarta: Presiden Amerika Perkumpulan, Donald Trump, baru-baru ini mengumumkan tarif impor baru yang berdampak signifikan terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia. Kebijakan ini, yang diumumkan dalam segmen “At Large” di Metro Siang, menetapkan tarif dasar impor 10% Demi Sekalian negara Kawan dagang AS, Tetapi dengan Bilangan yang bervariasi Demi setiap negara dan komoditas. Tarif ini bersifat resiprokal, berarti besaran tarif yang dikenakan AS akan bergantung pada tarif yang dikenakan negara lain terhadap produk AS.
Trump beralasan kebijakan ini merupakan bentuk proteksionisme Demi melindungi industri domestik AS, sejalan dengan Ungkapan “America First”. Ia menilai Indonesia, yang Mempunyai surplus perdagangan terhadap AS, melakukan praktik perdagangan yang Enggak adil. Tuduhan ini didasarkan pada perbedaan tarif yang signifikan antara AS dan Indonesia, dengan AS membayar tarif yang jauh lebih tinggi. Selain itu, AS juga menuduh Indonesia melakukan praktik dumping, menjual produk, seperti udang beku, dengan harga yang jauh lebih murah dari harga pasar.
Kebijakan ini juga diinterpretasikan sebagai strategi negosiasi. Negara-negara seperti Tiongkok telah merespon dengan menerapkan tarif balasan, misalnya dengan Meningkatkan tarif hingga 34% Demi beberapa produk dari AS. Indonesia juga telah mengadakan rapat kabinet Demi membahas respons terhadap kebijakan ini.
Data yang disajikan menunjukkan disparitas tarif yang signifikan antara AS dan beberapa negara. Tiongkok, misalnya, mengenakan tarif hingga 67% Demi beberapa produk AS, sementara Uni Eropa mengenakan tarif Sekeliling 38-39%. Vietnam bahkan mengenakan tarif hingga 90%, sementara India mengenakan tarif tertinggi hingga 52%. Indonesia sendiri, yang mengenakan tarif hingga 64% Demi beberapa komoditas AS, kini akan menghadapi tarif balasan sebesar 32%.
Para ekonom memberikan peringatan akan Akibat negatif kebijakan ini terhadap Indonesia. Sesmin Ko, seorang ekonom, mengatakan kebijakan ini akan berdampak signifikan terhadap daya saing ekspor Indonesia ke AS, yang meliputi produk elektronik, tekstil, alas kaki, kopi, minyak sawit, dan karet. Ekonom Indef, Elsa, memprediksi penurunan ekspor, peningkatan biaya bagi pelaku ekspor, perlambatan produksi, dan potensi pemutusan Interaksi kerja (PHK).
Bima Yudhistira, Direktur Eksekutif Celios, bahkan memperingatkan potensi resesi ekonomi Indonesia di kuartal keempat 2025 Apabila pertumbuhan ekonomi negatif selama dua kuartal berturut-turut. Selain itu, kelemahan rupiah terhadap dolar AS juga diprediksi akan semakin memburuk. Sumber: Redaksi MetroTV