Tak Terdapat Sisa Hati Nurani

KATA kuncinya ialah hati nurani. Ketika setiap proses berpolitik dan bernegara dilandasi dengan hati nurani, semua akan baik-baik saja, akan lurus-lurus saja. Politik yang bakal dikedepankan ialah politik demi kepentingan rakyat dan bangsa. Yang akan menonjol ialah high politics, bukan low politics alias politik dangkal.

Tetapi, ketika hati nurani absen dalam proses-proses tersebut, yang terjadi pasti jauh dari ideal. Kedangkalan politik mendominasi. Syahwat kekuasaan menjadi-jadi. Kepentingan golongan nomor satu, kepentingan rakyat tak dapat nomor. Demi semua itu, tidak masalah aturan ditabrak, tak soal norma dilanggar, masa bodoh etika dikebiri.

Sungguh miris, kondisi yang menjadi lawan dari ideal itu kini tengah dialami Indonesia, negeri yang digadang-gadang bakal mencapai emas kejayaan 21 tahun dari sekarang. Entahlah, bagaimana caranya nanti menggapai mimpi Indonesia emas itu kalau hati nurani kelamaan absen pada diri para pengejar mimpi tersebut.

Baca juga : Jadi Mantan Presiden, Nikmat?

Sudah separah itukah situasi di Republik ini? Bukan perlu jawaban verbal untuk pertanyaan itu. Lihat saja kondisi politik dan demokrasi belakangan ini, kalau Anda masih bisa mengatakan baik-baik saja, barangkali kondisi Anda yang sedang tidak baik-baik saja.

Cek Artikel:  Ormas Tambang

Terlalu banyak anomali di dunia politik kita yang saking seringnya dilakukan membuat ketidaknormalan itu terasa lazim. Sama seperti dalam teori kebohongan, ketika kebohongan terus menerus disuarakan dan diresonansi, pada akhirnya kebohongan itu boleh jadi akan dianggap sebagai kebenaran.

Akrobat-akrobat politik yang sesungguhnya tidak elok, tidak etis, kadang tidak logis, bahkan melenceng dari aturan, tetap saja bisa dilakukan, selama itu untuk kepentingan ambisi rezim. Panjang-kelamaan, yang tidak elok dan tidak etis itu pun dianggap wajar. Yang melakukan hal benar dan etis malah terlihat aneh.

Baca juga : Sean Gelael Optimistis Raih Podium di Sao Paolo

Ya, sudah sampai level seperti itu tingkat kerusakan kehidupan bernegara kita. Hati nurani betul-betul tidak mendapat tempat, akal sehat semakin terjepit, tersodok oleh nafsu akan harta dan kuasa yang begitu menggebu-gebu. Tergeser oleh keserakahan yang sedemikian solid mendekati paripurna.

Apa yang dipertontonkan para anggota DPR, kemarin, dengan melawan putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan syarat pencalonan pilkada, hanya mempertegas bahwa hati nurani wakil rakyat sudah betul-betul mendekati punah. Demi ambisi kekuasaan, DPR sampai menegasikan Putusan MK No 60/PUU-XXII/2024 dan No 70/PUU-XXII/2024 yang sebelumnya direspons sangat positif oleh publik karena dianggap telah menyelamatkan demokrasi dari praktik kartel politik, setidaknya dalam konteks pilkada.

Cek Artikel:  Mantapan Persatuan

Putusan MK No 60 dan No 70 itu, kalau meminjam istilah pengajar sekaligus pakar kepemiluan Titi Anggraini, ibarat oase di tengah kemarau demokrasi. Bagaikan sekepal air yang diteteskan di tanah yang gersang. Menyejukkan. Menyegarkan. Menumbuhkan harapan baru untuk kelangsungan tanaman demokrasi yang sedang terancam layu.

Baca juga : SDN 085 Ciumbuleuit dan SDN 043 Cimuncang Raih Podium Teratas

Sejujurnya kita memang butuh oase itu setelah dalam setahun terakhir digempur tanpa ampun dengan fakta-fakta pahit yang menandai kian lumpuhnya demokrasi. Negeri ini memerlukan kesegaran baru untuk memulihkan sistem politik dan ketatanegaraan yang belakangan makin terkoyak lantaran kerap dimanipulasi untuk kepentingan segelintir golongan.

Tetapi, rupanya harapan dari putusan MK itu cuma berumur sebentar. DPR yang biasanya lambat membahas RUU, terutama RUU yang tidak berkait kuat dengan kepentingan elite seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), tiba-tiba punya energi lebih untuk merespons putusan MK itu dengan rencana superkilat.

Cek Artikel:  Iran yang Tabah

Badan Legislatif (Baleg) DPR langsung menggelar rapat pembahasan revisi UU Pilkada, sehari setelah MK mengeluarkan putusan itu. Proses pembahasannya pun begitu cepat. Paham-tahu mereka sudah bersepakat, meski tidak bulat, untuk membawa hasil pembahasan itu ke rapat paripurna DPR, hari ini.

Pada intinya mereka ngebut membahas revisi UU Pilkada tersebut demi mengonter putusan MK yang mungkin dianggap sudah mengusik kenyamanan dan kepentingan mereka. Bukan peduli bahwa putusan MK itu final dan mengikat, selama mereka menemukan celah untuk menganulir putusan MK, mereka akan memperjuangkan itu sekalipun harus menggunakan logika yang sesat.

Apakah ada hati nurani yang terpakai untuk niat dan perilaku seperti itu? Tentu saja tidak. Tersisa sedikit pun sepertinya tidak. Kali ini hati nurani tak lagi sekadar absen, tapi nihil. Bagaimana dengan akal sehat? Sama saja, ia tidak lagi dianggap penting. Kalah pamor ketimbang akal sesat.

 

Mungkin Anda Menyukai