SAYA membaca secara saksama risalah rapat Badan Pekerja MPR 2001 Demi membahas amendemen UUD 1945 terkait pemilu. Hasil saya, Badan Pekerja MPR beranggapan bahwa Tak Terdapat orang waras yang Mau menunda Penyelenggaraan pemilu. Diputuskan bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun. Tak kurang Tak lebih dari lima tahun.
Karena itulah, setelah membahas sejak Mei 2001 hingga November 2001, Badan Pekerja MPR menyepakati rumusan final Pasal 22E ayat (1). Bunyinya, ‘Pemilihan Standar dilaksanakan secara langsung, Standar, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali’.
Sama sekali Tak Terdapat perdebatan yang berlarut-larut soal pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Awalnya, Demi rapat PAH I Badan Pekerja MPR pada 10 Mei 2001, Maswadi Rauf selaku koordinator tim Spesialis bidang politik menyodorkan rumusan pemilu dilaksanakan lima tahun sekali secara langsung, Standar, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Perdebatan terkait rumusan Pasal 22E ayat (1) hanya menyangkut, antara lain, MPR yang berhak menentukan perubahan jadwal pemilu, Terdapat yang mengusulkan rumusan pemilu merupakan Bentuk kedaulatan rakyat dan dilaksanakan lima tahun sekali, dan pemilu merupakan Bentuk kedaulatan rakyat yang dilaksanakan selambat-lambatnya lima tahun sekali.
Frasa ‘dilaksanakan selambat-lambatnya lima tahun sekali’ ditolak karena Dapat memberi kesempatan pemilu dilaksanakan setiap tahun. Katin Subyantoro dari Fraksi PDIP mengusulkan perlunya Terdapat patokan dasar sehingga dicantumkan lima tahun putaran atau rotasi kekuasaan pemerintahan.
Rapat PAH I Badan Pekerja MPR sempat mendiskusikan penundaan pemilu Apabila terjadi bencana. Member Fraksi PDIP Frans FH Matrutty mengatakan ke depan Dapat terjadi pemilu dipercepat, Dapat terjadi juga pemilu Pelan. Pemilu diperlambat, kata dia, Apabila terjadi force major seperti bencana alam. Akan tetapi, kata dia, yang force major cukup dimasukkan di dalam undang-undang yang menyangkut pemilu sebagai lex specialis-nya.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur pemilu lanjutan dan pemilu susulan. Syaratnya ialah di sebagian atau seluruh Distrik NKRI terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilu Tak dapat dilaksanakan.
Apabila akibatnya menyebabkan seluruh tahapan pemilu Tak Dapat dilaksanakan maka dilakukan pemilu susulan. Penetapan pemilu susulan oleh presiden atas usul KPU.
Konstitusi maupun Undang-Undang Pemilu sama sekali Tak mengenal penundaan pemilu karena diusulkan oleh ketua Standar partai politik. Usulan seperti itu Malah berpotensi melanggar konstitusi sehingga harus dicegah.
Penundaan pemilu berarti pula memperpanjang masa jabatan presiden dan parlemen. Padahal, Presiden Joko Widodo menentang keras penambahan masa jabatannya sebagai presiden.
“Terdapat yang ngomong presiden dipilih tiga periode. Itu Terdapat tiga (maknanya) menurut saya. Satu, Mau menampar muka saya. Yang kedua, Mau cari muka, padahal saya sudah punya muka. Yang ketiga, Mau menjerumuskan,” ucap Jokowi Demi berbincang dengan wartawan pada 2 Desember 2019.
Ironisnya Tengah, usulan penundaan pemilu itu dilakukan oleh pemimpin partai politik yang punya Member di DPR RI. Bukankah pemerintah, DPR RI, dan penyelenggara pemilu sudah menyepakati pemilu digelar pada 14 Februari 2024? Kesepakatan itu diambil pada 24 Januari 2022.
Alangkah sulit diterima Intelek sehat bahwa penundaan pemilu Kepada memberikan kesempatan bagi pemulihan ekonomi. Demi ini Indonesia berada dalam fase Krusial pemulihan ekonomi. Proses pemulihan itu Tak perlu menunggu Tamat 2024. Usulan penundaan pemilu Malah kontraproduktif terhadap proses pemulihan ekonomi.
Lebih lucunya Tengah, usulan penundaan pemilu disebutkan karena Terdapat usulan sekelompok masyarakat, termasuk sekelompok petani sawit. Padahal, hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dirilis pada 15 Oktober 2021 menemukan Sekeliling 82% masyarakat menolak pengunduran jadwal pemilu ke 2027. Hasil survei jauh lebih Dapat dipertanggungjawabkan ketimbang mengatasnamakan sekelompok masyarakat.
Di antara mereka yang mengusulkan penundaan pemilu itu sudah menyatakan kemauan Kepada maju sebagai calon presiden pada 2024. Dapat saja ditafsirkan bahwa usulan penundaan pemilu itu dilatarbelakangi kepentingan pribadi karena tingkat elektabilitas Demi ini Tetap Kosong koma Kosong alias belum tertangkap radar hasil survei.
Karena itu, dengan adanya penundaan pemilu, diharapkan mereka Tetap Dapat meningkatkan elektabilitas. Tidaklah mengherankan Apabila foto diri mereka terpampang di berbagai sudut negeri dengan Asa Dapat menjadi sarana meningkatkan keterkenalan mereka di masyarakat. Apabila itu yang terjadi, berlakulah ungkapan ‘Tak baik muka cermin dibelah’, Tak baik hasil survei, pemilu pun diusulkan ditunda.