Taawun untuk Gotong Royong

KETIKA memberikan sambutan pada deklarasi bakal capres dan cawapres Koalisi Perubahan untuk Persatuan di Surabaya, akhir pekan lalu, Ketua Standar PKB Muhaimin Iskandar mengutip potongan ayat dalam Al-Qur’an: wata’awanu ‘alal birri wattaqwa, walaa ta’awanu ‘alal itsmi wal ‘udwan. Ayat itu kurang lebih artinya, ‘dan, tolong-menolonglah kalian dalam berbuat kebajikan dan takwa. Serta janganlah kalian tolong-menolong untuk dosa, keburukan, dan permusuhan’.

Potongan surah Al-Maidah ayat 2 itu, kata Gus Muhaimin alias Cak Imin, dibisikkan seorang kiai Jawa Timur yang tengah berada di Mekah, yakni Kiai Badawi. Sang kiai memberikan restu kepada Cak Imin untuk digandeng sebagai bakal cawapres dari capres Anies Baswedan untuk mengarungi Pilpres 2024.

Dalam tradisi nahdiyin atau pengikut Nahdlatul Ulama, restu kiai disebut sudah afdhal (afdal) bila sudah membisikkan pesan melalui ayat. Karena itu, saat Cak Imin menanyakan kepada Kiai Badawi ihwal ayat apa yang mesti ia genggam untuk berlayar mendampingi Anies dalam kontestasi Pilpres 2024, dibisikkanlah potongan surah Al-Maidah ayat 2 itu.

Ndilalahnya, ayat yang dibisikkan itu amat cocok dengan ‘situasi kebatinan’ anak bangsa ini yang masih menyisakan residu kontestasi politik pecah belah dalam sewindu terakhir. Kendati memiliki spirit gotong royong sebagaimana diajarkan dalam Pancasila, nyatanya sebagian anak bangsa ini lebih senang mengedepankan perpecahan tersebab oleh perbedaan. Padahal, gotong royong itu ta’awanu ‘alal birri wat taqwa, tolong-menolong untuk berbuat kebajikan.

Cek Artikel:  Pabrik Hoaks Bikin Bising

Saya lalu teringat pernyataan pemikir sosial asal Austria Otto Bauer.

Loyalp bangsa, kata Pak Otto Bauer, mestinya memperlihatkan suatu persamaan (persatuan) karakter, yang terbentuk karena persatuan pengalaman. Dalam konteks Indonesia, sistem nilai kebudayaan sebagai pembentuk karakter kolektif itu bernama Pancasila. Dalam Pancasila, kata Bung Karno, nyawa yang penting ialah gotong royong.

Perbedaan yang ada di Indonesia tidak perlu dipertentangkan karena simbol-simbol negara sudah menunjukkan adanya persatuan. Argumen di balik pemilihan merah putih sebagai bendera Indonesia oleh pendiri bangsa, misalnya. Kita boleh beda warna kulit, beda ras, beda agama, tapi kalau ingat darah sama merah dan tulang kita sama putih itulah yang diwujudkan dalam bendera Indonesia, bendera kemanusiaan Indonesia.

Indonesia layaknya sebuah rumah besar yang diisi dengan berbagai warna. Rumah besar ini, jika mereka yang ada di dalamnya saling berkelahi, tidak akan bisa menghasilkan apa-apa, bahkan bisa merusak rumah itu. Sebaliknya, jika seisi rumah bersatu, kompak, gotong royong, akan menghasilkan berbagai prestasi yang membangggakan.

Coba kita bandingkan Indonesia dengan Eropa Barat yang luasnya hampir sama. Akan tetapi, Eropa Barat ada 30 negara, sedangkan di sini dengan berbagai macam perbedaan, baik agama, suku, ras, dan etnik, tetap bersatu dalam satu negara.

Cek Artikel:  Warung Madura

Pesan tolong-menolong untuk berbuat kebajikan kiranya menjadi spirit baru bangsa ini di tahun politik maupun tahun-tahun ke depan karena hanya tolong-menolong dalam kebaikanlah yang bisa jadi ‘jimat’ bagi bangsa ini menghadapi segala bentuk tantangan. Gotong royong itu seperti makanan soto: di balik perbedaan ada persatuan. Eksis berbagai macam soto, tapi orang tahu itu soto.

Krusialnya mentalitas budaya gotong royong berangkat dari asumsi: nilai penting kualitas dan kepercayaan diri hanya menemukan kepenuhan maknanya dalam jaringan kerja sama dengan yang lain. Tiap huruf alfabet, dari A sampai Z, merupakan satu karakter yang tiap-tiap hurufnya sama penting. Meski demikian, betapa pun pentingnya keberadaan setiap karakter dalam huruf itu, tidaklah bermakna apa-apa tanpa bersekutu dengan huruf-huruf lain dalam membentuk kata dan kalimat.

Dalam kemajemukan karakter masyarakat Indonesia, gotong royong ialah nilai fundamental bangsa ini. Menurut pandangan Bung Karno, gotong royong ialah intisari Pancasila sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku bersama. Dalam pandangannya, ”Gotong royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari ’kekeluargaan’. Gotong royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan. Gotong royong adalah pembanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah gotong royong!”

Cek Artikel:  Janji yang Meleset

Kiranya, ta’awanu ‘alal birri wat taqwa ialah bentuk bangsa ini dalam merestorasi warisan budaya gotong royong yang mulai pudar dengan mengembangkannya dalam pengertian yang lebih luas. Restorasi dan transformasi budaya gotong royong bisa mencakup pengembangan budaya silih asih, silih asah, dan silih asuh; berat sama dipikul, ringan sama dijinjing; tolong-menolong dengan semangat koperasi; saling menghargai dalam perbedaan seraya aktif meningkatkan pemahaman dan titik temu dalam perbedaan; mampu menghargai dan mengapresiasi karya dan prestasi orang lain; serta mampu menjalin sinergi antarpotensi, antaragensi, antarsektor, dan antarwilayah.

Memproklamasikan bangsa, kata Bung Karno, ialah hal gampang. Tetapi, sambung sang proklamator, menyusun negara, mempertahankan negara buat selama-lamanya, itu sukar. Hanya rakyat yang ulet, rakyat yang tidak bosanan, rakyat yang tabah, rakyat yang jantan—hanya rakyat yang demikianlah dapat bernegara kekal dan abadi. Siapa yang ingin memiliki mutiara harus ulet menahan-nahan napas dan berani terjun menyelami samudra yang sedalam-dalamnya.

Dalam tarikan napas seperti itu pula Gus Muhaimin, cicit salah satu pendiri NU KH Bisri Syansuri, meneruskan pesan Kiai Badawi untuk semuanya dalam mengarungi kontestasi dan kompetisi politik untuk perubahan bangsa. Itulah semangat merestorasi warisan gotong royong.

Mungkin Anda Menyukai