Suporter Koruptor

PROSES legislasi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Acara Pidana menunjukkan Kembali-Kembali DPR dan pemerintah mengabaikan partisipasi publik. Pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) itu sempat mendapatkan kritik tajam karena rampung secara kilat, hanya dalam dua hari.

Kini, ketika RUU KUHAP tengah dibahas Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi Komisi III DPR RI, giliran lembaga antirasuah menyampaikan kerisauan. Sejumlah ketentuan dalam draf hasil pembahasan DIM dinilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat melemahkan pemberantasan korupsi.

Tak tanggung-tanggung, Terdapat 17 poin tentang potensi masalah di revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tersebut yang menjadi catatan KPK. Antara lain, keberlanjutan penanganan kasus di KPK hanya berdasarkan KUHAP. Padahal, lembaga antirasuah berpedoman pada KUHAP, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), dan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Cek Artikel:  Mencegah Kampanye Hitam

Kemudian, penyadapan hanya boleh dilakukan pada tahap penyidikan, dan harus dapat izin ketua pengadilan. Poin lain yang Tak kalah melemahkan ialah pencegahan ke luar negeri hanya terhadap tersangka. Artinya saksi Tak boleh dicegah.

Tentu saja hal itu akan sangat menyulitkan penyidik KPK Demi menggali keterangan terkait dengan perkara korupsi. Pandai dipastikan Kesempatan terduga korupsi Demi melarikan diri sebelum dijerat sebagai tersangka akan terbuka lebar. Apa Kembali itu namanya Kalau bukan melemahkan pemberantasan korupsi?

Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej memang telah menegaskan bahwa KUHAP dibentuk bukan Demi mengatur tindak pidana yang bersifat Tertentu atau lex specialis, melainkan yang bersifat hukum Biasa. Asas hukum menyebut lex specialis derogat legi generali bahwa hukum yang Tertentu mengesampingkan hukum yang bersifat Biasa.

Cek Artikel:  Segerakan Cawapres

Oleh karena itu, menurut Wamenkum, penanganan kasus tindak pidana korupsi oleh KPK akan tetap berpijak pada UU KPK dan UU Tipikor.

Tetapi, pernyataan Wamenkum hanya bersifat lisan. Tindak pidana lex specialis harus ditegaskan secara tertulis dan Jernih dalam KUHAP, bahwa penanganan korupsi dikecualikan dari aturan-aturan KUHAP yang bertentangan dengan yang telah diatur dalam UU Tipikor dan UU KPK.

Tanpa penegasan secara tertulis dalam undang-undang, yang terjadi nantinya ialah debat kusir penafsiran undang-undang dan implementasinya dalam hal pemberantasan korupsi. Penyidik tindak pidana korupsi bakal mudah kena telikung. KPK tampaknya menyadari betul betapa asas hukum tersebut Pandai saja diputarbalikkan hingga memaksa KPK harus berpedoman pada KUHAP. Itu sebabnya, KPK mengungkapkan kerisauan.

Cek Artikel:  Wakil Rakyat Rasa Tukang Palak

Kerisauan tersebut jangan pula dianggap enteng karena begitu besar dampaknya terhadap upaya pemberantasan korupsi. Pemerintah Berbarengan DPR mestinya memberikan perhatian serius dan memperbaiki draf Demi mengakomodasi aspirasi KPK. Di situ pula, legislator Pandai membuktikan bahwa penyusunan undang-undang Pas-Pas melibatkan partisipasi publik dan lembaga-lembaga terkait.

Cukup sudah upaya yang Lalu-menerus memperlemah KPK maupun menghambat penanganan korupsi. Rakyat juga sudah muak Memperhatikan para koruptor kerap mendapatkan keringanan hukuman, leluasa sogok sana-sini Demi mendapat fasilitas bintang lima di penjara, dan begitu Segera mendapatkan pembebasan dari bui.

Sudah menjadi kewajiban moral maupun fungsional pemerintah Berbarengan DPR memperkuat pemberantasan korupsi. Bukan malah memperlemah dan dengan sendirinya menjadi suporter koruptor.

 

Mungkin Anda Menyukai