Strategi Menepis Krisis

Strategi Menepis Krisis
Ilustrasi MI(MI/Seno)

POLEMIK kebijakan pascapandemi, dan memanasnya konflik geopolitik menjadi faktor pembeda jika dibanding dengan pemicu krisis ekonomi sebelumnya, seperti pada 1998 dan 2008. Durasi, sebaran, dan keparahan krisis kali ini berisiko lebih lama, luas, dan akut mengingat lebih membutuhkan kerja sama internasional, terutama antarnegara yang berseteru. Selain memperluas kebijakan productivity-driven growth, keberhasilan Indonesia menyikapi gejolak eksternal tergantung pada kecerdikan mengelola persaingan hegemoni global.

 

Cemerlang mengarungi dunia VUCA

Sebelum pandemi covid-19 menerpa, dunia telah dibebani oleh akumulasi utang, penuaan penduduk, perubahan iklim, persaingan produsen utama energi hingga perang dagang. Ketika pandemi menerpa, kita menyaksikan pagelaran stimulus yang sangat masif, baik melalui pelonggaran moneter maupun lonjakan defisit fiskal. Stimulus ini sempat menggelembungkan harga berbagai aset seperti properti, komoditas, saham, obligasi, hingga kripto.

Tetapi, ketika vaksin dapat ditemukan relatif cepat yang memungkinkan pembukaan ekonomi, terjadilah ketimpangan antara permintaan dan penawaran yang luar biasa sehingga memicu lonjakan inflasi. Bahkan bagi sebagian negara, serbuan badai inflasi mencapai paras tertinggi dalam empat dekade terakhir. Pengaruh berbagai cost-push factors yang pelik terutama terkait upah, gangguan rantai pasok, lonjakan biaya energi dan pangan mempersulit upaya bank sentral mengendalikan inflasi.

Berbeda dengan perang yang banyak menghancurkan baik infrastruktur dan jiwa, wabah pandemi lebih memangsa jiwa. Misalnya di Amerika Perkumpulan dilaporkan sekitar satu jiwa melayang sehingga yang terjadi ialah kelangkaan relatif antara barang modal dan orang yang memicu kenaikan tingkat upah. Apalagi, penerapan protokol kesehatan mempersulit mobilitas pekerja antarnegara. Tingkat pengangguran Amerika Perkumpulan 3,57% per September 2022 merupakan angka terendah selama 50 tahun terakhir.

Perang di Ukraina — yang bagi Rusia sebagai respons existential threat atas ekspansi NATO — memperberat tantangan mengendalikan inflasi yang bersumber dari kenaikan harga energi dan makanan. Bank sentral AS the Fed, yang pada awalnya ditengarai menyangkal inflasi kemudian melakukan pengetatan paling agresif dalam sejarah. Sepanjang tahun ini, the Fed sudah mengerek suku bunganya 375 basis menjadi 4% yang juga diikuti oleh bank sentral lain termasuk Indonesia.

Kendati sudah mulai melambat menjadi 7,7% per Oktober 2022, tekanan inflasi di sana masih berat mengingat komponen biaya sewa dan layanan jasa belum turun. Imbal hasil T-bond dua tahun, yang digadang sebagai pemandu paling akurat untuk menerka Fed fund rate mengindikasikan paling tidak ada kenaikan 50 basis lagi hingga akhir tahun ini.

Pengetatan the Fed, tidak hanya mengerek imbal hasil T-bond sempat melonjak hingga 4,25% untuk tenor 10 tahun, tapi juga memperkuat nilai tukar dolar. Mengingat T-bond digunakan sebagai acuan penentuan harga surat berharga negara lain, lonjakan imbal hasil T-bond memicu kenaikan imbal hasil global, yang pada hakikatnya ongkos berutang semakin mahal. Beban banyak negara tentunya semakin berat akibat penguatan dolar, lonjakan biaya energi, dan makanan.

Dengan rasio utang terhadap PDB 103% dan kejatuhan nilai tukar pound, Inggris menjadi contoh negara yang sangat berisiko mengalami krisis utang negara. Sebelum pengetatan agresif the Fed, Inggris mampu menikmati ongkos berutang relatif murah dalam kisaran 1,9% untuk tenor 10 tahun. Tetapi, kita harus membayar lebih mahal sekitar 3,3%. Bilangan ini, pernah lebih buruk hingga 4,3% menyusul respons negatif investor atas proposal budget yang dianggap tidak kredibel, yang diajukan mantan Perdana Menteri Liz Truss.

Cek Artikel:  Outlook 2020 dan Tumpuan Omnibus Law

Terdapat dinamika atas dunia yang berkaitan yang perlu diketahui, merespons pengetatan agresif the Fed seperti yang terjadi di Jepang dan Tiongkok. Dalam upaya membantu masyarakatnya yang menua dan berutang banyak, pemerintah Jepang melakukan pengendalian imbal hasil surat berharga negara (SBN) dengan target 0,25% untuk tenor 10 tahun. Ini jelas suatu angka yang sangat kecil.

Demi menahan lonjakan imbal hasil SBN yang memperberat warga Jepang mengelola utang mereka, bank sentral Jepang melakukan operasi intervensi beli yang memperbesar likuiditas yen. Sebagai akibatnya, terjadi pelemahan drastis yen terhadap dolar hingga 30% sepanjang tahun berjalan.

Ketika disadari pelemahan yen tersebut tidak membantu memacu ekspor, dan malah memperburuk inflasi, bank sentral Jepang melakukan intervensi yang menguras cadangan devisa. Demi menambah pasokan dolar guna intervensi, Jepang menjual cukup besar kepemilikan mereka atas T-bond. Tetapi, ternyata upaya ini belum mampu memperkuat yen yang saat ini masih melemah 18%.

Tantangan dan upaya jalan keluar yang sama dilakukan oleh Tiongkok, yang juga menunjukkan penurunan cadangan devisa, posisi kepemilikan T-bond, pelemahan mata uang yuan. Yang harus diwaspadai, termasuk oleh Amerika Perkumpulan adalah tanpa bantuan negara lain untuk kembali berinvestasi pada T-bond, ‘negara Om Sam’ itu bakal tersiksa oleh ongkos berutang yang mahal. Ketika ini, utang negara AS sudah melewati angka US$31 triliun. Terlebih, penuaan penduduk di kedua negara tersebut, akan memaksa keduanya menarik ‘tabungan’ mereka selama ini dalam T-bond untuk menopang pengeluaran.

Selain itu, kita juga harus mencermati dengan seksama, apakah pengetatan the Fed akan memicu gejolak di industri keuangan seperti yang terjadi pada tahun 2008. Saya biasa mencermati indikator Bloomberg Financial Condition Index di Amerika Perkumpulan dan kawasan Uni Eropa. Bilangan untuk kedua negara memang memburuk, terutama di Uni Eropa. Tetapi, tidak separah tahun 2020 dan apalagi terburuk pada 2008. Perbedaan ini, mengindikasikan Uni Eropa sebagai kawasan yang lebih berdekatan dengan perang berisiko menjadi episentrum krisis.

Para investor tampaknya mengantisipasi risiko stagflasi global (perlambatan ekonomi yang disertai dengan lonjakan inflasi), dengan meningkatkan posisi uang kas melalui penjualan berbagai asset class seperti saham, obligasi, hingga kripto.

Kita harus menavigasi lingkungan eksternal yang tidak dapat kita kendalikan sepenuhnya yang semakin bercirikan VUCA (volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity). Dengan PDB Rusia US$1,8 triliun, konflik di Ukraina baru semacam sampiran dalam pantun. Bobot konflik yang berisiko memicu perang terbuka melibatkan Amerika Perkumpulan (PDB US$23 triliun) dan Tiongkok (PDB US$18 triliun).

Tanpa strategi internal yang efektif, lingkungan eksternal yang ganas membuat kita ringkih (fragile). Sesungguhnya, kita pernah punya pengalaman bagus saat menyikapi Oil Bonanza (1970-80) menyusul embargo OPEC yang memacu peningkatan harga minyak sekitar empat kali lipat. Ketika berbagai belahan dunia, termasuk Amerika Perkumpulan, tersiksa stagflasi, Pak Harto memanfaatkan limpahan rezeki itu untuk berbagai program belanja yang produktif dan inklusif.

Cek Artikel:  Fantasi IKN dan Agenda Urban Berkeadilan

Selain membangun berbagai prasarana pedesaan, irigasi, pabrik pupuk, satelit telekomunikasi, pemerintah saat itu meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui penyediaan pendidikan dasar murah, program keluarga berencana dan transmigrasi. Sangat bisa, jadi generasi terbaik Indonesia lahir pada periode tersebut, yakni Indonesia menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih gegas dengan ketimpangan terbatas.

 

From financing to paying the growth

Bahwa pasar modal dan nilai tukar Indonesia relatif berjaya (outperform), mengindikasikan berbagai strategi dan pilihan kebijakan sejauh ini mampu meredam gejolak eksternal. Demi mengantisipasi risiko krisis global di depan, kita perlu melanjutkan berbagai reformasi struktural productivity-driven growth yang disarankan Bank Dunia, dalam laporannya tahun 2014 (Indonesia: Avoiding The Trap).

Laporan itu mengingat risiko Indonesia terkena fenomena ‘tuwir sebelum tajir’ (growing old before growing rich) mulai tahun 2030 saat penduduk mulai menua. Dalam taksiran Bank Dunia, PDB per kapita Indonesia pada tahun 2030 baru mencapai US$8.500 per tahun sekira pertumbuhan ekonomi dalam kurun waktu 2013-2030 mencapai rata-rata enam persen. Batas bawah PDB per kapita untuk menjadi negara maju ialah US$12.000 per tahun.

Bank Dunia, lalu menyarankan pemerintah membenahi berbagai kekurangan infrastruktur fisik, sumber daya manusia dan kegagalan mekanisme pasar yang melandasi penurunan produktivitas dan daya saing Indonesia.Selain memacu pembangunan infrastuktur untuk menunjang perdagangan internasional, Indonesia melakukan terobosan reformasi struktural memacu hilirisasi terutama pada sektor minerba. Upaya industrialisasi ini terbilang berhasil, bila mencermati lonjakan peringkat ekspor komoditas mineral menjadi tiga dibanding 27 pada 10 tahun lalu.

Program hilirasi bersama kenaikan berbagai income commodity Indonesia (seperti batu bara, nickel, CPO dan karet) yang lebih gegas, ketimbang cost commodity (khususnya minyak mentah) tidak hanya memperbaiki profil neraca berjalan menjadi surplus. Tetapi, juga memacu penerimaan pajak negara yang penting untuk meredam dampak kenaikan harga bahan bakar, untuk tidak langsung ditanggung oleh masyarakat yang belum lama menghadapi pandemi. Selain itu, program reindustrialisasi lebih menjanjikan dalam penciptaan kesempatan kerja.

Kondisi neraca berjalan surplus yang sangat penting untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah secara historis menjadi penentu kinerja pasar saham, untuk mampu mengalahkan bursa global. Dalam kurun waktu 2004 hingga 2012, rasio indeks harga saham gabungan Indonesia terhadap indeks saham S&P500 cenderung meningkat, yang mengindikasikan bursa kita lebih cuan. Kurun waktu ini, bersesuaian dengan posisi neraca berjalan yang cenderung surplus.

Tetapi, selanjutnya rasio ini menurun yang berarti bursa kita kalah cuan ketika posisi neraca berjalan menjadi defisit. Kondisi defisit neraca berjalan terbilang terparah terjadi pada tahun 2013 sekitar 3,8% PDB yang membuat rupiah lebih sensitif terhadap berita eksternal seperti Fed, yang berencana melakukan tapering-off. Pada tahun tersebut, rupiah anjlok sekitar 23%. Rumusnya menjadi sederhana: Defisit neraca berjalan membuat rupiah tidak punya hak kuat untuk menguat.

Memang betul ada solusi pintas menghadapi defisit neraca berjalan, dengan mencari pembiayaannya lewat kesedian investor asing berinvestasi pada surat berharga negara dan perusahaan, serta investasi langsung. Dengan cara ini, kita menempuh strategi membiayai pertumbuhan (financing the growth).

Kita harus belajar dari pengalaman pahit Brasil, yang berusaha keluar dari jebakan kelas menengah, dengan menggunakan utang luar negeri. Alasan, strategi itu terbilang berbahaya bila terjadi penguatan dolar, peningkatan suku bunga global dan kejatuhan income commodity. Negara ini, sempat menikmati status negara maju dengan PDB per kapita US$13.245 pada tahun 2011, sebelum kemudian merosot kini pada kisaran US$7500.

Cek Artikel:  Puasa dan Transformasi Kuasa

Brasil mengalami perlambatan ekonomi drastis sejak tahun 2015.

Reindustrialisasi, guna memacu nilai tambah ekspor yang memacu surplus neraca berjalan merupakan strategi membayar pertumbuhan (paying growth). Surplus itu, tidak hanya memungkinkan menurunkan posisi utang luar negeri yang selama ini diperlukan untuk membiayai defisit. Tetapi, surplus tersebut akan meningatkan daya beli, seperti tecermin pada peningkatan pertumbuhan M1 (uang kartal plus giral).

Lazimnya, negara yang mengalami surplus menikmati rasio dana pihak ketiga perbankan terhadap GDP yang tinggi. Ketika ini, rasio DPK/PDB Indonesia hanya berkisar 40%. Bilangan ini, jauh lebih rendah dibanding negara jiran yang umumnya di atas 130%. Dengan limpahan likuditas tersebut, memungkinkan suku bunga mereka jauh lebih rendah ketimbang Indonesia.

Strategi paying the growth, memungkinkan terkendalinya penerbitan utang yang memungkinkan kita menikmati ongkos berutang lebih rendah. Bagus kebijakan fiskal dan moneter perlu dipertahankan sebagai anchor of credibility, yakni investor asing mengapresiasi Indonesia sebagai negara yang berhati-hati (prudent), tidak jorjoran dalam penerbitan utang, serta kurang tanggap mengantisipasi lingkungan eksternal seperti pengetatan the Fed. Bila membandingkan imbal hasil SBN di sejumlah negara Eropa yang berisiko mengalami pelemahan fundamental ekonomi, kita semestinya wajar berharap imbal hasil Indonesia (yang berarti ongkos berutang bagi negara) bisa lebih rendah.

Selain kualitas kebijakan ekonomi, cerahnya prospek Indonesia ditopang kecerdikan pemimpin mengelola persaingan global. Jurus ‘seribu teman terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak’ memungkinkan Indonesia mendapatkan manfaat, seperti alokasi vaksin covid-19, baik dari Tiongkok maupun Barat. Perhelatan G-20 di Bali, dimana Indonesia menjadi tuan rumah dianggap sukses ‘tidak memalukan yang tidak datang selain memuliakan yang datang’. Dukungan untuk transisi Indonesia menuju green economy, semakin mendesak mengingat saat ini, di tengah surplus neraca berjalan, Indonesia sesungguhnya menderita defisit neraca minyak terburuk dalam sejarah.

 

Menjaga tuwir sebelum tajir

Berbagai penjelasan di atas, menunjukkan pentingnya upaya untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing untuk meraih kemakmuran. Panduan yang serupa, semestinya dibudayakan dalam masyarakat agar memiliki cadangan untuk masa tua. Hakikatnya, sejalan dengan saran Nabi Yusuf kepada Raja yang menerjemahkan mimpi sapi kurus memakan sapi gemuk sebagai pergiliran masa malang setelah masa gemilang.

Saran Nabi Yusuf, yang diabadikan dalam QS 12:47 dapat menjadi inspirasi untuk investasi sepanjang hayat (life-cycle investment).

Tahapan berinvestasi disusun dalam tiga jangkauan periode: Growth, protection and distribution. Pada periode pertumbuhan (growth), masyarakat kita bimbing untuk berinvestasi dengan benar pada asset class seperti talenta, property, dan saham. Sementara, untuk tujuan proteksi dapat memanfaatkan SBN untuk menghadapi risiko gagal bayar, inflasi dan likuditas. Pada fase distribusi, limpahan kekayaan yang telah diproteksi tersebut, didistribusikan secara teratur dan berkala untuk membiayai masa depan. Semacam cash management strategy.

Mungkin Anda Menyukai