
Come and take a look out through my eyes
And you decide why people act this way
People thieving fighting telling lies
They criticize and hate each other
Nature colors all have changes some how
The seas are brown the skies are thick and grey
All of these things make me feel so down
And think about finding my own place
(Welcome To My Paradise – Steven & Coconuttreez)
SYAIR Musik dari Steven and Coconuttreez ini barangkali menggambarkan suasana hati banyak anak bangsa, khususnya yang Acuh lingkungan, manakala Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sendimentasi di Laut, disahkan oleh Presiden Joko Widodo.
Segera, bilik-bilik Obrolan di ruang sosial media dipenuhi oleh narasi, dengan dominan Bunyi Grup yang itu-itu juga: haters dan lovers. Pemberitaan media, pendapat pemerhati lingkungan, kemudian hanya menjadi gimmick– cantolan berupa link, yang disematkan kedua Grup ini sebagai penguat argumentasinya. Pembelaan, pun sumpah serapah, memenuhi udara, dengan hasil akhir menyakitkan, publik kehilangan esensi masalahnya.
Tentu sangat Bukan fair memberikan Bagian besar permasalahan bangsa pada dua Grup haters dan lovers ini. Ribut. Meskipun harus diakui, bagi pemerhati lingkungan, Bunyi haters– dalam kasus ini- Pandai menjadi kepanjangan pikir mereka. Setidaknya, semoga saja, memberikan pressure pada negara apalagi Kalau disambut para key opinion leader, influencer, dan sejenisnya. Di lain sisi, Bunyi lovers Pandai menjadi Surat keterangan pembanding terkait obyektivitas hasil pemikiran.
Sialnya, sebagian besar Obrolan ini diisi sumpah serapah dalam dalil kebebasan berpendapat. Dalam bahasa lain, Asep A Sahid Gatara (Demokrasi Nothing, Kritik Terhadap Konsep dan Praktek Cyberdemocracy, 2016), menyebutnya sebagai cyberdemocracy yang tak lebih dari sekadar keberisikan politik. Miskin akan ide dan hampa perbedaan substantif (devoid of distinctive substance).
Strategi komunikasi asal bunyi
Cita-cita indah publik, khususnya terkait sosialisasi PP 26 Tahun 2023 ini, adalah segera disampaikan oleh pemerintah. Dari sosialisasi ini kemudian publik Pandai menilai urgensinya, Pandai mengendurkan tensi penolakan, atau bahkan memberi alternatif dan koreksi. Tapi seperti yang sudah sudah, proses sosialisasi ini lemah secara konteks. Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, segera memberi pernyataan di beberapa media bahwa ekspor pasir laut tak merusak lingkungan (Selasa, 30 Mei 2023).
Agak aneh ketika Luhut seolah menitik beratkan pada kata ‘ekspor’, bukan pada hal lain, katakanlah terkait kebutuhan dalam negeri, misalnya pembangunan infrastruktur pemerintah. Meskipun boleh jadi hal ini juga dipicu pertanyaan wartawan yang Konsentrasi pada soal ekspor pasir lautnya.
Sebaiknya, Begitu itu Luhut Mempunyai banyak ruang Kepada menyampaikan sosialisasi secara lebih komprehensif, Yakni memberikan gambaran utuh terkait keluarnya PP 26 Tahun 2023 dari aspek yang melatarbelakanginya, imbas, sekaligus antisipasi terjadinya masalah. Pun, dilihat dari urgensinya, hal ini semestinya disampaikan secara lebih arif, karena Kembali-Kembali seperti Normal, pernyataan Luhut berkonotasi defensif dan belum didukung analisis data- itupun Kalau Eksis datanya.
Bagaimana mungkin Luhut serta merta menyebutkan tak merusak lingkungan? Padahal salah satu landasan keluarnya Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut, yang ditandatangani Menteri Rini Soemarno di periode Presiden Megawati Soekarnoputri, adalah Kepada mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas.
Bahkan di 2007, Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi pernah mengeluarkan pernyataan bahwa dua pulau, Nipah dan Sebait, nyaris tenggelam akibat penambangan pasir. Pulau Nipah yang terletak di Desa Pemping, Kecamatan Belakan Padang, Kepulauan Riau awalnya Mempunyai luas 60 hektare dan sempat tersisa hanya 2 ha saja demi reklamasi Singapura. Kepada mengembalikan kondisi kedua pulau tersebut, Freddy menambahkan, butuh Anggaran yang Bukan sedikit.
Terang Luhut perlu menengok ke belakang sebelum mengeluarkan pernyataan karena dua kebijakan ini- PP yang lahir di masa kini dan SK di masa Lampau- secara denotatif bertolak belakang. Eksis kesan Luhut tergesa-gesa mengeluarkan pernyataan, yang hal ini menjadi backfire baginya, dan bagi pemerintah. Kontraproduktif.
Demikian pula pernyataan dari Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Sakti Wahyu Trenggono, yang banyak dimuat media massa (Rabu, 31/5/2023). Pada konperensi pers tersebut Sakti menyebutkan bahwa Eksis kemungkinan negara-negara tetangga yang berjualan pasir laut, jangan-jangan (diduga) pasir lautnya diambil dari Indonesia. Bahkan tambahnya, kapal-kapal penyedot pasir tetangga itu Bukan Pandai ditangkap karena kurangnya anggaran, dan kapal RI kalah Segera. Wow!
Pernyataan ini Terang Bukan apple to apple, karena premis yang pertama bicara tentang keluarnya kebijakan pemerintah, sementara premis lainnya yang disampaikan Sakti terkait penegakan hukum (gakum). Ini bahkan menjadi pernyataan penegas bahwa penegakkan dan pengawasan hukum di lautan Indonesia lemah. Lampau kelak, bagaimana dengan penegakan dan pengawasan hukum ketika pengerukan pasir laut di Indonesia diimplementasikan? Alih-alih memberikan latar belakang yang Benar, pernyataan Sakti Malah menimbulkan pesimisme baru.
Karena fakta di ‘hari ini’ saja terpampang Terang dan Konkret, Yakni semakin maraknya pelanggaran batas Kawasan kedaulatan oleh nelayan asing (pencurian ikan). Salah satu yang kerap terekspos di utara laut Natuna. Adanya illegal fishing dan transhipping Bagus ikan, bahan bakar minyak, hingga narkoba, di beberapa Letak di lautan Indonesia. Ingat kasus penyergapan sabu satu ton di Pangandaran, Jawa Barat? Atau jalinan kisah (konon) Kasih dan narkoba oknum penegak hukum yang Pandai kita nikmati episode demi episodenya melalui persidangan yang tayang langsung di youtube?
Jadi, alih-alih memanfaatkan kekayaan laut Indonesia yang luar Normal ini secara taat azas, Malah lautan menjadi salah satu titik istimewa di mata para pelanggar hukum. Lautan Indonesia begitu sexy, mengingat njomplangnya Komparasi antara pengawasan dan luasnya lautan, lemah dan minimnya peralatan dan penindakan, hingga banyaknya jalur tikus.
Bukan mustahil Tetap adanya kemungkinan oknum aparat yang Bandel, hingga kemungkinan mencuri maupun menyelundupkan sesuatu dalam volume besar. Jauh lebih besar ketimbang lewat darat maupun udara. Jikapun tertangkap, itu hanya karena sedang sial saja.
Pada akhirnya, pengerukan pasir laut hanya akan menambah pekerjaan rumah yang selama ini sudah dirasa terlalu berat.
Eksis apa di balik PP 26 Tahun 2023
Ketika publik Bukan mendapatkan informasi yang cukup yang melatarbelakangi lahirnya PP 26/2023, publik dengan keleluasaan mengakses apapun, mencari data- yang boleh jadi beberapa di antaranya diambil secara serampangan. Singkatnya, negara dalam hal ini pemerintah, bak menjadi triggger lahirnya hoaks, selain lahirnya analisa-analisa mendalam.
Motif di balik peraturan pemerintah merebak bagaikan bara api ke udara, yang Lampau membakar di sana-sini, di warung rokok tempat berkumpulnya ojek online, kafe tongkrongan anak muda, resto mahal tempat berkumpulnya para pebisnis, hingga media sosial dengan taburan akun-akun anonim. Di antara motif yang terhimpun itu adalah; pemerintah butuh modal besar Kepada pembiayaan IKN, adanya komersialisasi sumber daya laut Indonesia dengan dalih penyelamatan lingkungan dari sedimentasi, hingga kepentingan cukong yang mesti segera difasilitasi dan dilindungi oleh undang-undang, dan sebagainya.
Strategi komunikasi nothing pemerintah, mengadaptasi pemikiran Asep A Sahid Gatara, memang memberi Kesempatan lahirnya pemikiran paling liar sekalipun. Dalam sebuah Obrolan informal Serempak pejabat sebuah pelabuhan di Papua, terungkap bahwa sedimen dan pasir laut Papua Mempunyai kandungan mineral yang diincar negara asing.
Hal itu terungkap manakala akan dibangun pelabuhan baru, konon, perwakilan perusahaan sebuah negara Eropa bersedia menampung limbah sedimentasi/pasir laut secara Sekadar-Sekadar. Konon Kembali, ini belum terjadi, Tetapi tentu Eksis pemikiran mengapa mereka mau keluar biaya besar Kepada sesuatu yang dianggap ‘limbah’. Menarik.
Kebijakan impor
Linda Silvia dkk, dalam Analisis Kandungan Mineral Pasir Pantai di Kabupaten Pacitan dengan Metode Ekstraksi (2018) menyebutkan bahwa pasir pantai di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur mengandung kalsium (Ca) yang tinggi di atas 90% yang Pandai menjadi bahan dasar pembuatan material kalsium karbonat (CaCO3) yang merupakan material yang digunakan pada industri cat, kertas, magnetic recording, industri tekstil, deterjen, plastik, karet, makanan, hingga kosmetik.
Dalam penelitian ini Linda dkk juga mengutip banyak penelitian kandungan pasir pantai dan laut di Indonesia, mulai di Kepulauan Seribu, Pantai Slili Gunung Kidul, dan sebagainya. Potensi kalsium karbonat dari pasir laut Indonesia ini belum dikelola secara Bagus, belum Eksis proses ekstraksi, sehingga negeri dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia ini Malah mengimpor kalsium karbonat dari luar negeri.
Data Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa impor kalsium karbonat mencapai 30 juta-40 juta kilogram per tahun, di 2006 impor kalsium karbonat mencapai 45.766.370 kilogram (Haryanto B, Potensi Pembuatan PCC dari Batu Kapur di Sumatera Barat, 2011).
Ini menjadi sebuah paradoks tatkala Presiden Jokowi berbicara dengan lantang mengenai hilirisasi sebagai kekuatan ekonomi baru Indonesia. Bahkan Jokowi berada di garda terdepan menghadapi aneka Hukuman dari negara-negara Eropa terkait penghentian ekspor nikel dan bauksit. Misalnya, penghentian ekspor sawit dan Sekalian turunannya.
Isu lainnya adalah pengembangan sebuah pulau yang melibatkan Doku hingga ratusan triliun rupiah. Program pengembangan kawasan pulau ini konon tertunda hingga belasan tahun dan butuh dukungan peraturan perundangan yang membuatnya Pandai berjalan mulus. Kalau memang latarbelakang lahirnya PP 26 Tahun 2023 Eksis kaitannya dengan masalah pulau ini, mestinya pemerintah terbuka kepada publik dengan memaparkan sejuta satu manfaat yang akan didapat negara. Misalnya manfaat serapan ratusan ribu tenaga kerja.
Hal serupa misalnya, dikaitkan pula dengan kebutuhan pembangunan Ibu Kota Negara Baru dan pembangunan-pembangunan lain yang dilakukan secara masif di seluruh Indonesia. Tapi tentu saja, di lain sisi, pemanfaatan pasir dan sedimen laut ini harus disertai jaminan dengan Variasi perbaikan sekaligus itikad Bagus- termasuk pelaksanaannya, Kepada melakukan perubahan, Bagus dari sisi pengkajian, pengawasan, hingga penindakan. Mungkinkah?
Ah, tentu saja empat paragraf terakhir merupakan pikiran liar penulis yang terpukau oleh strategi komunikasi nothing pemerintah. Sekadar sebuah anabal (analisis abal-abal) saja. Karena terkadang, Bunyi-Bunyi di ruang Obrolan kalah jujur, dan tentunya kalah merdu ketimbang Bunyi (alm) Steven dan band Coconuttreez-nya, dengan Musik keren Welcome To My Paradise. Lebih pas Kembali mendengarkan Musik reggae ini seraya Menyantap lautan dan langit biru, berbaring di hamparan pasir pantai yang (semoga) belum ternoda. Yo man!

