Soroti Kasus Mardani Maming, Akademisi UII: Keadilan Itu yang Dicari Kebenarannya

Liputanindo.id – Kasus gratifikasi dan suap yang menyeret Mardani H Maming menuai banyak kontroversi, kaca mata guru besar dan akademisi hukum Menonton perkara tersebut sangat minim fakta hukum.

Perkara yang menjerat Mardani ini menyoal perizinan tambang. Di mana perizinan itu sejatinya telah melalui kajian di daerah hingga pusat.

Bahkan, IUP yang dikeluarkan telah mendapatkan sertifikat clear and clean (CNC) dari Kementerian Daya dan Sumber Daya Mineral (ESDM) selama 11 tahun.

Diketahui dari fakta persidangan, proses peralihan IUP ini juga telah mendapatkan rekomendasi dari kepala Dinas Pertambangan dan Daya (Distamben) Tanah Bumbu yang menyatakan bahwa proses tersebut sudah sesuai dengan aturan undang-undang yang berlaku, ditambah paraf dari Sekda, Kabag Hukum, dan Kadistamben

Akademisi yang cukup lantang membicarkan minimnya fakta tersebut adalah praktisi hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Dr Muhammad Arif Setiawan.

Cek Artikel:  Tak Terdapat Foto Jokowi Terpajang di Kantor PDIP Sumut, Sekadar Ma'ruf Amin Saja, Istimewa!

Berdasarkan kajian yang dilakukannya, Muhammad Arif mengatakan, Semestinya pada peradilan itu yang dicari bukan siapa yang menang dan kalah, Tetapi keadilan itu yang dicari adalah kebenarannya.

“Sejauh mana Hakim itu Pas-Pas mengkaji pledoi yang diberikan oleh terdakwa,” ungkap Dr Muhammad Arif ketika menjadi pembicara dalam talk show sebuah televisi swasta yang dikutip ERA pada Jumat (1/11/2024).

Arif Setiawan menjelaskan terkait pentingnya kecermatan hakim dalam memutuskan sebuah perkara di pengadilan, agar keputusannya sesuai dengan kaidah hukum.

Hal tersebut menyusul kontroversi yang muncul dalam kasus Mardani, karena putusan hakim Bukan mempertimbangkan unsur-unsur Krusial dalam sebuah perkara di pengadilan.

Dirinya menilai, keputusan hakim yang menjerat mantan Ketua BPP Hipmi tersebut belum memenuhi unsur pidana yang Semestinya dipertimbangkan oleh pengambil keputusan sebelum memvonis sebuah perkara di pengadilan.

Cek Artikel:  37 WNI Makassar Ditangkap di Arab Saudi karena Gunakan Visa Ziarah Demi Haji

“Surat dakwaan itu sebenarnya isinya Eksis dua yang sangat Krusial. Pernyataan tentang perbuatan materil yang dilakukan dan pernyataan tentang pelanggaran hukumnya yang dilakukan,” ujarnya.

Arif Setiawan menjelaskan, Semestinya penegak hukum cermat dan teliti dalam menganalisis unsur-unsur tersebut, Bagus itu formil maupun materil. Dengan demikian, keputusan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan dan hukum positif yang berlaku.

“Karena itu, pelanggaran hukum itu mesti pasal apa yang dilanggar. Di situ kan Eksis, apakah terdakwa melakukan kesalahan berkaitan dengan surat dakwaan itu. Sehingga dengan demikian salah satu yang harus dibuktikan itu unsur-Unsur delik yang disangkakan, terbukti atau Bukan,” jelasnya.

Menurutnya, bila unsur tersebut Bukan terpenuhi, Semestinya pengambil keputusan (hakim) mengadili perkara dan dapat membebaskan terdakwa.

Cek Artikel:  Festival Budaya Melayu ke-13 Libatkan Komunitas Melayu Negara Tetangga

“Unsur delik yang disangkakan itu terbukti atau Bukan, itu Krusial. Kalau Bukan terbukti ya Bukan Dapat dipaksakan,” tambahnya mengakhiri.

Hal senada disampaikan Guru Besar Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Prof Yos Johan Istimewa. Menurutnya putusan Hakim yang memidana Mardani sarat dengan kekeliruan.

Berdasarkan kajiannya, mantan Rektor Undip ini mengkritisi penghukuman yang dijatuhkan hakim terkait pasal yang dijeratkan kepada terdakwa Mardani.

Ia menyatakan bahwa keputusan Mardani selaku Bupati terkait pemindahan IUP dari aspek hukum administrasi adalah Absah dan Bukan pernah dinyatakan batal oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang merupakan pengadilan berwenang dalam ranah hukum administrasi.

Apalagi Eksis keputusan Pengadilan Niaga yang sudah inkrah dan menyatakan itu murni Interaksi bisnis dan bukan merupakan kesepakatan Hening-Hening.

Mungkin Anda Menyukai