MENKO Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menegaskan pihaknya dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berencana merevisi Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Yusril menyebut UU Tipikor perlu direvisi dan disesuaikan dengan Konvensi Antikorupsi PBB (United Nations Convention Againt Corruption (UNCAC) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Merespons itu, Member Komisi III F-PKS Nasir Djamil menuturkan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor perlu direvisi lantaran dipandang rawan jadi alat kriminalisasi.
Nasir menerangkan Demi ini beberapa pihak sedang menggugat pasal mengenai korupsi terkait kerugian negara itu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Diharapkan memang majelis hakim di Mahkamah Konstitusi Pandai menilai apakah itu layak diterima. Kalau layak diterima Lewat disidangkan, Lewat dipilih keputusan,” ucap Nasir, yang dikutip Rabu (11/12).
Nasir juga menegaskan bahwa Pasal 2 dan 3 Tipikor seringkali jadi jebakan bagi penyelenggara negara.
Adapun Berikut bunyi kedua pasal tersebut:
Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling Lamban 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana Wafat dapat dijatuhkan.
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang Terdapat padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling Lamban 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Nasir berpendapat setiap pihak harus cermat dN memastikan bahwa Kagak Terdapat celah Buat terjadinya tindak pidana korupsi.
“Kalau pun misalnya Terdapat maka harus Terdapat semacam bukti-bukti bahwa memang dia Kagak menerima dan sebagainya,” tegasnya.
“Jadi ini yang menurut saya persoalan di daerah atau di lapangan sering sekali Kagak Terdapat bukti-bukti otentik. Yang membuktikan bahwa dia Kagak menerima Aliran dan lain sebagainya,” tandasnya. (J-2)