Ilustrasi. Foto: Medcom.id
Pasalnya pengenaan tarif PPN 12 persen tak semata ditujukan pada objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), atau barang mewah.
Praktisi Pajak Pino Siddharta mengungkapkan, Peraturan Menteri Keuangan 131 Tahun 2024 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Atas Impor Barang Kena Pajak, Penyerahan Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tak Berwujud Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Pabean, Dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Pabean tak berlaku menyeluruh.
Dalam beleid itu, terdapat sejumlah barang-barang tertentu yang tetap dipungut PPN 12 persen, meski tak tergolong sebagai barang mewah atau yang selama ini menjadi objek PPnBM.
“Dampak kenaikan PPN tersebut juga berimbas kepada barang-barang tertentu, Tak hanya Buat barang mewah saja,” kata Pino dilansir Media Indonesia, Minggu, 5 Januari 2024.
Ilustrasi PPN 12%. Foto: Liputanindo
Lewat PKP yang menggunakan PPN besaran tertentu seperti yang diatur dalam PMK 71 Tahun 2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu juga terimbas kenaikan tarif PPN 12 persen.
Selain itu, PKP yang melakukan penyerahan produk tembakau, PKP yang melakukan penyerahan LPG, dan PKP yang melakukan penyerahan pupuk bersubsidi Buat produk pertanian juga terimbas kenaikan tarif PPN 12 persen.
PMK 131 Tahun 2024 tak selaras
Karenanya, PMK 131 Tahun 2024 yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan dinilai tak selaras dengan apa yang disampaikan oleh Presiden Prabowo.
“Tentunya karena sifat PPN adalah pajak atas konsumsi, tentunya kenaikan PPN tersebut akan ditanggung oleh konsumen akhir sehingga sedikit banyak akan meningkatkan pengeluaran masyarakat,” kata Pino.
Dia menambahkan, aturan yang dikeluarkan di penghujung 2024 itu juga dinilai akan menyulitkan pelaku usaha lantaran adanya rumus baru yang ditetapkan pada PMK 131 Tahun 2024.
Kesulitan itu, kata Pino, mencakup kesulitan bagi PKP dalam mengatur sistem dalam waktu singkat; akan muncul selisih nilai DPP dengan PPN lantaran Eksis unsur pembulatan.
Kemudian Apabila rumus baru dalam PMK 131 Tahun 2024 belum tersambung dengan Ditjen Bea Cukai, maka importir akan mengalami kesulitan Ketika melaksanakan kewajiban pajak dalam rangka impor. Lewat akan muncul pula kesulitan pembayar pajak Ketika menghadapi pemeriksaan pajak.
“Karena wajib pajak diminta Buat Membangun laporan rekonsiliasi omzet dan pembelian dan harus Dapat membuktikan kepada pemeriksa pajak, sehingga biaya kepatuhan wajib pajak akan lebih tinggi, bukankah adanya aplikasi coretax dibuat Buat tujuan menurunkan biaya kepatuhan wajib pajak,” kata Pino yang merupakan Ketua Departemen Penelitian Dan Pengkajian Kebijakan Fiskal Ikatan Konsultan Pajak Indonesia itu.
“Semoga saja Eksis keberanian bagi pemerintah Buat melakukan perbaikan peraturan yang Eksis, sehingga pernyataan Presiden Prabowo menjadi sesuai dengan Fakta, kenaikan PPN hanya Buat barang mewah saja yang memang dikonsumsi oleh mereka yang Pandai,” imbuh Pino.