MENTERI Hukum Supratman Andi Atgas mengajukan sebanyak 44 ribu narapidana Kepada diberikan amnesti atau penghapusan hukuman. Hal ini telah disampaikan dalam rapat terbatas (ratas) dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta.
Presiden RI Prabowo Subianto, kata Supratman, telah menyetujui Kepada pemberiaan amnesti. Tetapi, ia mengaku belum mengetahui jumlah narapidana yang disetujui Kepada mendapat amnesti.
Merespons itu, Ahli hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyebut kata amnesti lebih banyak terjadi bagi tahanan politik sejumlah negara.
“Apabila kemudian pertimbangannya digeser lebih kepada efisiensi, maka yang terjadi ya sekedar pembebasan saja bukan dalam Arti ideologis,” terang Fickar kepada Media Indonesia, Minggu (15/12).
“Apabila pertimbangannya lebih pada teknis pragmatis, maka prioritasnya pada mereka yang hukumannya lebih ringan,” ujarnya.
Semestinya, kata Fickar, Apabila akan menggunakan terminologi “amnesti” meskipun tekanannya pada hukuman yang ringan juga harus Terdapat pertimbangan ideologisnya.
Fickar membeberkan pemerintah harus menginfokan catatan hukuman apa dan seberapa napi tersebut menjalani hukuman sebelum memberikan amnesti.
“Saya kira yang dituntut adalah transparansi Bagus dan terutama dari setiap pengadilan yang memproduksi putusan pidana,” ucal Fickar.
Dengan adanya. transparansi, Fickar menilai akan terlihat apakah putusan memilih napi yang dibebaskan karena hukumannya atau Terdapat transaksi lain.
Fickar menegaskan, Apabila napi dapat amnesti karena Terdapat transaksi Niscaya akan melahirkan ketidakadilan.
“Maka masyarakat Dapat mengontrolnya bahkan mempersoalkannya melalui dirjen pemasyarakatan yang membawahi LP di seluruh RI,” tandas Fickar. (P-5)