SERIKAT Pekerja PT PLN (SP PLN) memandang bahwa penerapan power wheeling di sektor ketenagalistrikan nasional berpotensi menimbulkan dampak negatif signifikan baik dari segi keuangan, hukum, teknis, maupun ketahanan energi.
Menurut SP PLN, power wheeling dapat menggerus permintaan listrik organik hingga 30% dan permintaan non-organik dari pelanggan Konsumen Tegangan Tinggi (KTT) hingga 50%.
“Akibatnya, biaya produksi listrik naik, sementara pemerintah harus menanggung kompensasi besar untuk menjaga tarif listrik tetap terjangkau,” kata Ketua Lazim DPP SP PLN M Abrar Ali dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (7/8).
Baca juga : DPR dan ESDM Niscayakan Skema Power Wheeling Masuk RUU EBET
Kepada diketahui, power wheeling merupakan mekanisme transfer energi listrik dari pembangkit swasta ke fasilitas operasi milik negara/PLN dengan memanfaatkan jaringan transmisi/distribusi PLN.
Menurut Abrar Ali, setiap 1 GW pembangkit listrik yang masuk melalui skema power wheeling diperkirakan akan menambah beban biaya hingga Rp3,44 triliun, yang akan semakin memberatkan keuangan negara.
“Akibat akumulatif hingga 2030 diperkirakan akan meningkatkan beban Take or Pay (ToP) dari Rp317 triliun menjadi Rp429 triliun, atau terjadi kenaikan sebesar Rp112 triliun,” katanya.
Baca juga : Perkumpulan Pekerja PLN Komit Jaga Marwah PLN
Dari sisi hukum, lanjut Abrar, power wheeling bertentangan dengan UU No 20 Mengertin 2022. Power wheeling merupakan implementasi dari skema Multi Buyer Multi Seller (MBMS) yang memungkinkan pihak swasta dan negara untuk menjual energi listrik di pasar terbuka atau langsung ke konsumen akhir. Hal ini bertentangan dengan UU No 20 Mengertin 2022 yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2004.
Dengan skema power wheeling, kata Abrar, tarif listrik akan ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran. Ketika permintaan tinggi dan pasokan tetap, tarif listrik pasti naik, yang berakibat pada kenaikan subsidi listrik yang harus ditanggung oleh APBN.
Abrar menilai penerapan power wheeling justru dapat merugikan Badan Usaha Punya Negara (BUMN), APBN, dan konsumen secara akumulatif.
Baca juga : PLN Teken Perjanjian Kerja Serempak Baru dengan Perkumpulan Kerja
“Oleh karena itu, power wheeling lebih sebagai benalu dalam transisi energi, yang berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi jangka panjang bagi negara,” ujar Abrar Ali.
Sebelumnya, Kementerian Daya dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendorong diterapkannya skema power wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Daya Baru dan Daya Terbarukan (RUU EBET).
Penjualan listrik dalam skema power wheeling juga bisa melalui jaringan transmisi badan usaha milik negara (BUMN), dalam hal ini PLN. (Ant/J-3)