Sistem Pemilu dan Pertaruhan Kredibilitas MK

Sistem Pemilu dan Pertaruhan Kredibilitas MK
Ilustrasi MI(MI/Seno)

SISTEM pemilu merupakan metode untuk mengonversi suara yang didapat peserta pemilu menjadi perolehan kursi. Karena posisinya yang sangat strategis, pada saat pembahasan rancangan undang-undang pemilu di parlemen, sejumlah politikus berseloroh bahwa pengaturan soal sistem pemilu ialah soal hidup mati mereka dan partai politik tempat mereka bernaung. Tak mengherankan, selama tujuh bulan pembahasan menuju pengesahan UU No 7 Pahamn 2017 tentang Pemilihan Lumrah, empat bulan di antaranya atau lebih dari setengah waktu pembahasan, digunakan pembentuk undang-undang untuk berkonsentrasi membahas sistem pemilu.

Dalam pandangan banyak pakar, terdapat empat elemen utama yang menjadi kunci dalam sistem pemilu. Itu mencakup pilihan terhadap jenis sistem pemilu itu sendiri, struktur pemberian suara (electoral balloting structure), daerah pemilihan (district magnitude), dan formula penghitungan (electoral formula). Selain itu, sistem pemilu sejatinya memiliki tujuh variabel teknis yang membentuknya dan saling terhubung satu sama lain. Itu meliputi besaran daerah pemilihan, metode pencalonan, metode pemberian suara, ambang batas perwakilan (parliamentary threshold), formula perolehan kursi, penetapan calon terpilih, dan jadwal pemilu (terkait dengan keserentakan dalam desain sistem presidensial).

 

Konteks dan konsistensi

Secara global sistem pemilu dibagi dalam dua kelompok besar, yakni sistem pemilu pluralitas/mayoritas dan sistem pemilu proporsional. Sistem pluralitas/mayoritas pada umumnya menggunakan daerah pemilihan berwakil tunggal (single-member districts), lebih berorientasi pada kandidat, dan penentuan calon terpilih dilakukan dengan berbasis pada suara terbanyak. Sayangnya, di Indonesia dalam beberapa literatur kepemiluan dalam negeri, sistem itu diterjemahkan secara kurang tepat sebagai sistem pemilu distrik. Padahal, distrik merupakan term untuk menyebut daerah pemilihan yang tidak tepat apabila dipakai sebagai translasi bagi istilah sistem pemilu pluralitas/mayoritas.

Selanjutnya, berbeda dengan pluralitas/mayoritas, sistem pemilu proporsional menggunakan daerah pemilihan berwakil majemuk/jamak (multi-member districts), dan secara sadar dipilih untuk mengurangi terjadinya disparitas antara perolehan suara di pemilu dan perolehan kursi partai politik di parlemen. Dalam sistem itu, apabila partai memperoleh suara 40% di pemilu, konversi perolehan kursinya sebisa mungkin proporsional sebanyak 40% di parlemen.

Sistem itu dianggap lebih bisa mewadahi keragaman dalam masyarakat yang heterogen, serta lebih mampu mewujudkan perdamaian bagi suatu negara yang berada dalam situasi politik yang majemuk. Sistem pemilu proporsional dapat diterapkan dengan sistem daftar partai yang tertutup (closed list) ataupun terbuka (open-list). Dalam sistem proporsional tertutup pemilih hanya memilih partai, sedangkan pada sistem proporsional terbuka pemilih bisa langsung memilih kandidat yang diusung partai politik.

Akan tetapi, selain pluralitas/mayoritas dan proporsional, dalam keluarga besar sistem pemilu terdapat pula kelompok sistem pemilu campuran dan kelompok sistem pemilu lainnya. Sistem pemilu campuran berupaya memadukan sisi positif dari sistem pluralitas/mayoritas (atau ‘lainnya’) dan sistem pemilu proporsional.

Dalam sistem campuran, terdapat dua sistem pemilu dengan formula berbeda yang digunakan secara berdampingan. Sementara itu, kelompok sistem pemilu lainnya merupakan sistem pemiliu yang tidak sesuai dengan kategori sistem pemilu pluralitas/mayoritas, proporsional, ataupun campuran. Misalnya, dalam kelompok lainnya ini terdapat sistem pemilu single non-transferable vote (SNTV), yakni sistem dengan daerah pemilihan berwakil majemuk yang berpusat pada kandidat, dengan pemilih mempunyai hanya satu suara untuk diberikan di pemilu.

Cek Artikel:  Merawat Logika Republikanisme

Tak ada sistem pemilu yang derajatnya lebih baik atau lebih demokratis jika dibanding satu dengan lainnya. Pilihan atas sistem pemilu dipengaruhi konteks dari tiap negara, serta konsistensi dalam mewujudkan prinsip-prinsip pemilu bebas dan adil dalam praktik demokrasi elektoral mereka.

Beberapa negara di dunia memilih dan langsung mengatur sistem pemilu dalam konstitusi negara mereka. Sementara itu, mayoritas lainnya mengatur sistem pemilu dalam tingkatan undang-undang yang lebih memberikan fleksibilitas untuk melakukan perubahan atau penyesuaian sesuai dengan dinamika ketatanegaraan mereka.

Pengaturan dalam level undang-undang memberikan keuntungan yang membuat sistem pemilu mampu lebih responsif terhadap perubahan opini publik dan kebutuhan politik kontemporer. Akan tetapi, hal itu juga tetap mengandung bahaya karena mayoritas di legislatif secara sepihak bisa saja mengubah sistem untuk keuntungan politik pragmatis mereka sendiri.

Dari tiga pemilihan langsung yang dipraktikkan di Indonesia, yakni pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres), pemilu legislatif untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD (pileg), serta pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada), hanya pilpres yang secara eksplisit pengaturannya terdapat dalam Pasal 6A ayat (3) dan (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Selebihnya pengaturan sistem pemilu terdapat dalam undang-undang.

Pengaturan sistem untuk pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD terdapat dalam Undang-Undang No 7 Pahamn 2017. Sementara itu, pengaturan sistem untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah terdapat dalam Undang-Undang No 1 Pahamn 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, beserta sejumlah undang-undang lain yang mengatur daerah khusus/daerah istimewa di Indonesia seperti Aceh, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Papua.

Demi pilpres, Indonesia menerapkan sistem pemilu pluralitas/mayoritas dengan varian sistem dua putaran (two round system). Pemilu anggota DPR dan DPRD berlaku sistem pemilu proporsional daftar terbuka (open list). Single non-transferable vote atau sistem distrik berwakil banyak berlaku untuk pemilu anggota DPD. Sementara itu, pluralitas dengan varian first past the post (FPTP) diberlakukan untuk pilkada di seluruh wilayah Indonesia, kecuali DKI Jakarta. Spesifik DKI Jakarta, berlaku sistem pemilu dua putaran sebagaimana pengaturan dalam UU No 29 Pahamn 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Spesifik Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Naskah Panduan Baru International IDEA tentang Desain Sistem Pemilu (2016) mencatat bahwa berdasar studi komparasi sistem pemilu, ada beberapa cara untuk menciptakan sistem pemilu. Pertama, mereka dapat diwariskan tanpa perubahan signifikan dari pemerintahan kolonial atau pendudukan (contohnya Malawi, Mali, Kepulauan Solomon, dan Palau).

Kedua, hasil dari negosiasi proses perdamaian di antara kelompok-kelompok komunal yang ingin mengakhiri perpecahan atau perang (misalnya Lesotho, Afrika Selatan, dan Libanon). Dalam keadaan seperti ini, pilihan sistem pemilu mungkin tidak terbuka untuk pengawasan penuh atau debat publik.

Ketiga, sistem pemilu dapat diberlakukan secara efektif oleh kelompok-kelompok yang bertanggung jawab atas rekonstruksi politik pascakonflik (misalnya otoritas koalisi di Irak dan Dewan Nasional Transisi yang ditunjuk di Afghanistan).

Cek Artikel:  Melampaui Warsa Kecemasan

Keempat, elemen rezim otoriter sebelumnya mungkin memiliki peran kuat dalam merancang sistem pemilu baru selama periode divestasi kekuasaan (seperti di Cile).

Kelima, komisi ahli dapat dibentuk untuk menyelidiki sistem pemilu saja (seperti di Inggris atau Mauritius), atau sebagai bagian dari konteks konstitusional yang lebih luas (seperti di Fiji). Hal itu dapat menghasilkan rekomendasi yang dimasukkan ke referendum nasional (seperti yang terjadi di Selandia Baru) atau pemungutan suara legislatif atas rekomendasi komisi (seperti yang terjadi di Fiji).

Keenam, warga negara dapat terlibat lebih luas dalam proses penyusunan sistem pemilu, dengan membentuk majelis warga negara yang tidak ahli dalam sistem pemilu. Itu ialah pendekatan yang diadopsi Provinsi British Columbia di Kanada. Pendekatan itu menyebabkan rekomendasi untuk perubahan dari FPTP ke single transferable vote (STV) diajukan sebagai referendum di seluruh provinsi untuk diambil keputusan.

Selanjutnya, International IDEA mencatat bahwa peluang untuk reformasi sistem pemilu di suatu negara juga bergantung pada mekanisme hukum untuk perubahan dan konteks politik yang berkaitan dengan seruan untuk perubahan dibuat. Nyaris semua contoh perubahan besar atas suatu sistem pemilu terjadi dalam salah satu dari dua keadaan berikut. Pertama, terjadi selama transisi menuju demokrasi atau tidak lama kemudian, ketika seluruh kerangka politik ‘siap diperebutkan’.

Kedua, ketika ada krisis tata kelola dalam demokrasi yang mapan. Teladan yang kedua itu ialah adanya anggapan ketidakabsahan dari dua pemerintah mayoritas berturut-turut yang dipilih dengan suara lebih sedikit daripada lawan utama mereka di Selandia Baru, dan persepsi bahwa tingkat korupsi yang tinggi di Italia dan Jepang lebih mewabah akibat sistem politik daripada hasil tindakan individu tertentu.

Dengan demikian, perubahan atas suatu sistem pemilu merupakan sesuatu yang dimungkinkan dan bukan barang tabu. Hanya saja, soal cara dan kapan harus dilakukan menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Jangan lupa, bahwa sistem pemilu yang saat ini berlaku di Indonesia juga lahir sebagai produk lintasan sejarah baik yang merefleksikan evaluasi atas trauma penerapan sistem pemilu pada masa lalu, serta hasil transisi atas reformasi politik dan hukum yang sangat besar pada 1998.

Lampau, bagaimana bila dikaitkan dengan pengujian sistem pemilu yang saat ini berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK) melalui perkara No 114/PUU0XX/2022? Para pemohon dalam perkara tersebut secara fundamental meminta agar MK menyatakan agar sistem pemilu proporsional terbuka yang saat ini berlaku dinyatakan inkonstitusional dan menempatkan sistem proporsional tertutup seperti pernah dianut Indonesia selama masa Orde Panjang, Orde Baru, dan Pemilu 1999 sebagai satu-satunya sistem pemilu yang konstitusional sesuai dengan ketentuan UUD NRI 1945.

 

Kredibilitas dan reputasi

Bila merujuk preseden putusan-putusan MK terdahulu, mayoritas MK menempatkan pengujian atas berbagai variabel sistem pemilu sebagai suatu kebijakan politik hukum terbuka dari pembentuk undang-undang (open legal policy). Hal itu bisa ditelusuri melalui putusan MK atas pengujian ketentuan ambang batas perwakilan (parliamentary thereshold) pada Perkara Nomor 16/PUU-V/2007 dan Perkara Nomor 52/PUU-X/2012.

Jadwal pemilu atau model keserentakan pemilu pada Perkara Nomor 55/PUU-XVII/2019 dan Perkara Nomor 16/PUU-XIX/2021. Serta, tentu saja yang paling fenomenal putusan MK atas perkara pengujian ambang batas pencalonan presiden (presidential nomination threshold) yang sudah puluhan kali diuji konstitusionalitasnya, tetapi MK bergeming.

Cek Artikel:  Menjadi Negeri tanpa KUHP Sendiri

Sikap MK tegas, ambang batas pencalonan presiden ialah open legal policy. Padahal, banyak pakar konstitusi yang menyebut ambang batas pencalonan presiden sesuatu yang terang benderang diatur dalam Pasal 6A ayat UUD NRI Pahamn 1945 yang menyebut ‘Kekasih calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik, atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum’.

Apabila untuk sesuatu yang sangat terang saja MK masih memberi ruang pada pembentuk undang-undang untuk mengatur (yang penulis tidak sepakat soal ini), apalagi bagi pengaturan sistem pemilu legislatif yang sama sekali tidak diatur dalam UUD.

Pasal 22E ayat (3) UUD NRI 1945 yang berbunyi ‘Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik’, tidak bisa dimaknai sempit sebagai pilihan sistem yang konstitusional satu-satunya ialah proporsional tertutup.

Pasal tersebut sejatinya memberikan pembatasan pada pengusungan calon pada pemilu anggota DPR dan DPRD yang hanya bisa dilakukan partai politik peserta pemilu, tanpa memberi ruang bagi hadirnya calon dari organisasi kemasyarakatan atau perseorangan seperti halnya praktik pada Pemilu 1955 yang lampau.

MK selama ini telah berkontribusi besar bagi penataan sistem pemilu demokratis di Indonesia. Berkualitas melalui berbagai putusan atas pengujian undang-undang ataupun penyelesaian perselisihan hasil pemilu dan pilkada yang telah memberikan keadilan pemilu bagi banyak pihak.

Mestinya, MK tidak boleh mempertaruhkan kredibilitas dan reputasi mereka dengan mengambil putusan yang menyimpang, apalagi sampai terlibat dalam pusaran politik partisan.

Dalam hal itu, MK dibutuhkan untuk hadir sebagai penjaga demokrasi konstitusional, dengan menempatkan diri sebagai pemberi rambu-rambu bagi pembentuk undang-undang yang akan digunakan saat mengambil keputusan atas evaluasi sistem pemilu yang akan mereka lakukan nanti.

Biarkan pembentuk undang-undang dalam waktu yang layak dan memadai untuk bekerja dan berpikir holistis soal masa depan pemilu Indonesia yang lebih baik. Dengan demikian, keputusan yang dibuat mampu menghubungkan berbagai aspek baik sistem, aktor, manajemen, maupun penegakan hukum pemilu secara sinergis satu sama lain.

Selain itu, mestinya sistem pemilu didesain koheren dengan rancang bangun sistem kepartaian, sistem perwakilan, dan sistem pemerintahan yang ingin diwujudkan, yang mana tidak bisa dan tidak akan mampu dirumuskan peradilan secara parsial melalui pengujian sistem pemilu yang punya banyak implikasi pada variabel teknis ataupun aspek tata kelola pemilu lainnya.

Kita jadikan evaluasi sistem pemilu sebagai pekerjaan rumah bagi pembentuk undang-undang hasil Pemilu 2024. Dengan demikian, semua pihak bisa mendapatkan kesempatan untuk ikut berpartisipasi secara bermakna, serta segala implikasi teknisnya bagi penyelenggaraan pemilu dan penguatan mutu demokrasi bisa diperhitungkan secara matang dan komprehensif. Kita menanti bukan saja kabar baik, melainkan juga konsistensi MK dalam memutus perkara sistem pemilu ini. Kredibilitas dan reputasi jangan jadi taruhan.

Mungkin Anda Menyukai