Sirekap Biang Kegaduhan

PADA kegiatan apa pun, penyelenggara pasti bertekad agar kegiatan yang ditangani berlangsung sukses dan lancar. Mereka juga menjadi penegak aturan main bila ada silang pendapat atau kegaduhan di antara peserta kegiatan.

Maka, sungguh ironis ketika Komisi Pemilihan Standar (KPU) selaku penyelenggara hajatan lima tahunan pemilu justru kerap menjadi biang kegaduhan. Kegaduhan sebelumnya bukan sekadar gosip atau rumor. Seluruh Komisioner KPU telah mendapat sanksi dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ihwal pendaftaran calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka selepas putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Kali ini, kegaduhan kembali terjadi terkait dengan Sistem Informasi Rekapitulasi atau Sirekap. Pasalnya, terjadi perbedaan hasil penghitungan suara di formulir C1 dengan data yang masuk ke laman KPU melalui aplikasi Sirekap tersebut.

Perbedaan angkanya pun aneh bin ajaib. Misalnyanya, bisa ada selisih 500 suara antara formulir penghitungan manual dan Sirekap sehingga angka yang mestinya 117 tertulis 617. Anehnya lagi, Ketua KPU Hasyim Ay’ari pun mengaku tidak perlu menjawab ketika ditanya anggaran untuk proyek pengadaan Sirekap. Mungkin ia lupa keharusan mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran negara.

Cek Artikel:  Menjaga Bunyi dari Kecurangan

Dia memang meminta maaf atas perbedaan itu sembari mengatakan jajarannya hanya manusia biasa, tetapi itu jauh dari kata cukup. Apalagi, diperkirakan terjadi kesalahan input data di 2.325 tempat pemungutan suara (TPS). Apakah memadai atas semua tindakan itu dengan hanya mengatakan ‘kami juga manusia biasa’?

Undang-Undang Nomor 7 Mengertin 2017 tentang Pemilu memang menegaskan bahwa penghitungan yang sah ialah rekapitulasi manual. Penghitungan berlangsung secara berjenjang mulai Golongan Penyelenggara Pemungutan Bunyi (KPPS), panitia pemilihan kecamatan, KPU di kabupaten dan kota yang dilanjutkan ke provinsi, hingga berakhir di KPU pusat.

Tetapi, demi transparansi, tetap dibutuhkan data pembanding. Namanya data pembanding, maka harus sebanding. Menjadikan Sirekap sebagai data pembanding sejatinya ialah terobosan yang patut dihargai. Tetapi, saat dalam pelaksanaan terdapat ribuan kekeliruan, jelas tidak bisa dikatakan itu manusiawi. Itu sama saja membuat reputasi Sirekap sebagai data pembanding runtuh.

Cek Artikel:  Trias Koruptika yang Menggila

Perbedaan penghitungan antara manual dan berbasis teknologi informasi (TI) bisa memunculkan perbedaan, perselisihan, pun kegaduhan. Apalagi, penggunaan TI di pemilu bukanlah barang baru. Mestinya, KPU tinggal memperbaiki kekurangan yang ada sebelumnya.

Penggunaan TI dan internet di pemilu telah dimulai sejak 2004. Semangatnya ialah untuk bisa mempercepat pemaparan hasil penghitungan riil pemilu bagi publik. Setelah itu, sejak Pemilu 2009, KPU menerapkan Sistem Informasi Penghitungan Bunyi (Situng). Pada 2019, KPU mengembangkan aplikasi Situng menjadi Sirekap.

Dua dekade berlalu, ternyata penggunaan TI di pemilu kali ini masih terkendala masalah. Jangan sampai Sirekap yang diposisikan sebagai alat bantu untuk mendokumentasikan hasil pemilu dari tiap TPS justru hanya mendokumentasikan data yang salah. Amat wajar bila banyak yang curiga ada desain besar melakukan kecurangan, termasuk saat meng-input data.

Idealnya, Sirekap dapat memberi informasi akurat secara lebih cepat terkait dengan hasil pemilu mulai tingkat TPS. Tetapi, Sirekap justru menimbulkan keresahan dan spekulasi yang mengganggu suasana sosial ataupun politik masyarakat pascapemungutan dan penghitungan suara.

Cek Artikel:  Hadirkan Keadilan untuk Pagi

Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) pun meminta KPU untuk menghentikan proses Sirekap. Apalagi, kesalahan akibat konversi penghitungan suara masih juga terjadi. KPU disarankan sebaiknya cukup memublikasikan hasil pindaian atau foto formulir hasil penghitungan dari tiap TPS.

Pemilu ialah ajang kontestasi dan kompetisi resmi bagi para aktor politik. Di momentum inilah para pemain politik berpeluang merebut atau mempertahankan kekuasaan. Kesalahan sekecil apa pun dari penyelenggara pemilu bisa membuat kegaduhan besar.

Komisioner KPU tidak perlu mencari-cari dan mengadakan pekerjaan lain di luar keahlian karena salah satu tugas dari KPU ialah rekapitulasi suara secara manual. Bukan justru mengadakan proyek di luar tugas dan bidangnya. Lampau, ujung-ujungnya justru melahirkan kebingungan dan perselisihan bagi publik. Akhiri mentalitas seperti ini bila ingin memperbaiki reputasi dan kepercayaan publik.

Mungkin Anda Menyukai