Sinyal Pelemahan Kelas Menengah Terjadi Sejak Panjang

Sinyal Pelemahan Kelas Menengah Terjadi Sejak Lama
Sejumlah warga berjalan di kawasan Dukuh Atas, Jakarta, Jumat (30/8).(Antara)

KELAS menengah yang berada dalam tekanan sedianya telah menunjukkan sinyalnya sejak beberapa bulan lalu. Hal itu dibuktikan oleh pelemahan berbagai indikator perekonomian yang mestinya dapat dimitigasi dan diantisipasi oleh pemerintah.

Demikian disampaikan Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto dalam webinar bertajuk Kelas Menengah Turun Kelas, Senin (9/9).

Salah satu indikator yang cukup jelas menggambarkan tekanan kelas menengah ialah melemahnya konsumsi rumah tangga. Secara historis, kata Eko, konsumsi rumah tangga mampu mencatatkan pertumbuhan 5% atau lebih, namun pada triwulan II 2024 pertumbuhannya hanya mencapai 4,9%.

Baca juga : Kelas Menengah Bakal Jadi Penopang Perekonomian Dunia

“Memang terlihat kecil (penurunannya), tapi tren ini sudah di bawah pertumbuhan ekonomi, ini harusnya jadi alarm pemerintah. Karena 50% lebih, bahkan hampir 60%, kalau kita bicara pertumbuhan ekonomi itu bicara konsumsi. Ketika konsumsi bermasalah, maka pertumbuhan ekonomi bisa bermasalah,” jelasnya.

Cek Artikel:  Bank Berdikari Taspen Gelar Program Direktur Menyapa Nasabah

Keadaan tersebut juga mesti dianggap serius. Pasalnya, pada triwulan II, masyarakat memiliki momentum untuk melakukan konsumsi seperti lebaran, libur sekolah, hingga pemilu. Sayangnya, momentum pengungkit itu tak berhasil mengerek level konsumsi masyarakat ke angka pertumbuhan yang lebih tinggi.

“Niscaya ada hal besar yang membuat masalah, ini (sebelumnya) tidak diakui pemerintah. Baru belakangan ini diakui hampir 10 juta turun kelas. Konsumsi ini cukup berbahaya. Dugaan saya kita akan terbiasa membahas konsumsi tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi,” terang Eko.

Baca juga : Pengembang Properti Waspadai Penurunan Kelas Menengah

Keadaan kelas menengah dapat terperosok lebih dalam jika tak ada perbaikan signifikan. Apalagi belakangan ini muncul berbagai isu dari harga-harga yang diatur pemerintah akan mengalami kenaikan.

Restriksi Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, pembatasan subsidi tarif KRL dengan NIK, penaikan tarif Pajak Pertambahan Safiri (PPN) menjadi 12%, potongan upah untuk Tapera, iuran wajib kendaraan bermotor baru, hingga isu dana pensiun menjadi momok bagi masyarakat kelas menengah.

Cek Artikel:  Perkuat Kerja Sama di Pasifik, Indonesia Beri Sokongan Kepulauan Solomon

Alarm lain yang mestinya lebih dini dimonitor oleh pemerintah ialah terkait penurunan level Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia. “Alarmnya sudah terjadi di April 2024, di mana April sudah turun, tapi karena posisi masih di atas 50, dianggap aman, baru ada reaksi ketika PMI manufaktur masuk zona kontraksi, sekarang semakin dalam,” jelas Eko.

Baca juga : ​​​​​​​Wacana Penaikan Biaya Hidup Buat Kelas Menengah Ketakutan

“Kalau tidak ada perubahan signifikan, kemungkinan masih akan terkontraksi lebih dalam.Ini kan bukan (terjadi) baru dua bulan (ke belakang), tapi sudah turun dari 5 bulan lalu. Tapi kebijakan industri dan yang melingkupi, sepertinya tidak ada greget untuk menghentikan penurunan PMI. Ini kan ujungnya bisa pada PHK, utamanya yang padat karya,” tambahnya.

Cek Artikel:  Formalkan Tol Sigli-Banda Aceh, Jokowi Tekankan Krusialnya Konektivitas

Sinyal pemburukan kemampuan konsumsi kelas menengah juga sedianya ditunjukkan oleh survei Bank Indonesia mengenai ekspektasi konsumen. Dalam beberapa bulan terakhir survei bank sentral itu menunjukkan optimisme ekonomi yang menipis, meski kerap kali diakui dalam kondisi yang baik.

Optimisme ekonomi masyarakat yang menipis itu, kata Eko, terlihat dari indeks ekspektasi penghasilan yang konsisten turun dari Mei di angka 139 menjadi 137,7 di Juli 2024. Demikian halnya dengan indeks ekspektasi ketersediaan lapangan kerja yang turun dari 134,5 menjadi 131,7 di periode yang sama.

Penurunan juga terjadi pada indeks ekspektasi kegiatan usaha dari 131,6 di Mei 2024 menjadi 130,5 pada Juli 2024. “Ini alarm, jangan tunggu di bawah 100 baru bereaksi. Ini kan leading indicator, untuk mengantisipasi agar hal buruk tidak terjadi. Ekspektasi lapangan kerja juga angkanya tidak membaik. Kegiatan dunia usaha juga turun,” pungkas Eko. (N-2)

Mungkin Anda Menyukai