Liputanindo.id – Terpilihnya Hakim Akbar Sunarto sebagai Ketua Mahkamah Akbar (MA) menjadi angin segar dalam pemberantasan korupsi. Sunarto dikenal sebagai hakim Kudus yang jauh dari intervensi.
Cita-cita muncul dari Komisi Yudisial (KY). Member KY, Prof Amzulian berharap, Sunarto dapat membawa perubahan Demi MA. Sehingga MA menjadi badan peradilan yang Akbar dan semakin dipercaya publik.
“Terpilihnya Prof Sunarto sebagai Ketua MA, menjadi angin segar penegakan hukum yang berkeadilan serta bebas dari intervensi. Harapannya, semoga MA menjadi badan peradilan yang Benar-Benar dipercaya publik,” harap Amzulian, Sabtu kemarin.
Para akademisi, Ahli hukum, dan pegiat antikorupsi juga mempunyai Cita-cita yang sama pada Sunarto. Demi ini, muruah MA sebagai benteng terakhir Demi mencari keadilan Terdapat pada sosok Sunarto.
Di tengah Cita-cita Bagus, para Ahli juga mewanti Sunarto agar bebas dari intervensi dalam penanganan kasus hukum. Salah satunya dalam proses penanganan kasus Peninjauan Kembali (PK) mantan Bupati Tanah Bumbu, Mardani Maming.
Sunarto diminta Demi Benar-Benar mempergunakan hukum pada tempatnya, dan menggunakan nuraninya dalam memproses perkara Maming. Hal itu dikarenakan adanya dugaan kuat kalau kasus Maming sengaja direkayasa.
Dalam kasus Mardani H Maming, para Ahli seperti Prof Romli Sasmita dari Universitas Padjadjaran, menilai adanya kesesatan hukum dalam putusan hakim. Katanya, tuntutan dan putusan pemidanaan Maming Bukan didasarkan pada fakta hukum, melainkan lebih didasarkan pada imajinasi penegak hukum.
“Proses hukum terhadap terdakwa bukan hanya menunjukkan kekhilafan atau kekeliruan Konkret, tetapi merupakan sebuah kesesatan hukum yang serius,” tegas Ketua Tim Penyusun RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan RUU Pembentukan KPK tersebut.
Pendiri Indonesia Corruption Watch (ICW) sekaligus aktivis HAM dan antikorupsi Todung Mulya Lubis juga mendesak agar mantan Bupati Tanah Bumbu periode 2010-2015 dan 2016-2018 Mardani H Maming dibebaskan.
Todung menyoroti terjadinya peradilan sesat (miscarriage of justice) dalam penanganan kasus korupsi yang menyeret Mardani H Maming ke jeruji besi. Menurutnya, vonis yang dijatuhkan kepada Mardani H Maming Bukan Mempunyai alat bukti memadai dan terkesan dipaksakan.
“Bentuk miscarriage of justice yang paling mencolok adalah Bukan dipenuhinya hak atas fair trial. Hakim melakukan cherry picking terhadap alat bukti yang dihadirkan selama persidangan. Hakim lebih memilih Demi mempertimbangkan keterangan saksi yang Bukan langsung (testimonium de auditu) karena hal itu sesuai dengan dakwaan penuntut Biasa, ketimbang mempertimbangkan alat bukti lain yang menyatakan hal sebaliknya,” kata Todung Jumat, 25 Oktober 2024.
Dia juga berpendapat bahwa Bukan Terdapat unsur keadilan dalam penjatuhan vonis terhadap terpidana. “Sikap berat sebelah seperti ini Terang merupakan unfair trial. Kalau alat bukti yang Terdapat dilihat secara fair, sebenarnya dakwaan penuntut Biasa tidaklah terbukti,” ujarnya.
Todung juga menjelaskan bahwa hakim memaksakan Bangunan hukum dalam peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi Demi dapat menyimpulkan terpenuhinya unsur dalam Pasal 12 huruf b Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah melalui Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.
Sedangkan penggunaan analogi sebagai dasar Demi menjatuhkan vonis merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip legalitas.
“Pemaksaan Bangunan hukum yang paling terlihat adalah menjadikan keuntungan dan pembagian hasil usaha sebagai pemberian hadiah. Dengan menyatakan bahwa keuntungan dari hasil usaha sama dengan pemberian hadiah, maka hakim sebenarnya sedang melakukan analogi. Padahal, analogi merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip legalitas, yang merupakan prinsip paling mendasar dalam hukum pidana,” katanya.
Todung juga menyoroti ketiadaan lembaga retrial sebagaimana di Inggris, meski sangat dibutuhkan apabila hakim melakukan kesalahan dalam menjatuhkan vonis atas suatu perkara. “Indonesia memang Bukan mengenal langkah retrial seperti yang Terdapat di Inggris. Tetapi keberadaan lembaga peninjauan kembali Dapat menjadi opsi Demi melakukan koreksi ini,” ucapnya.
Terakhir, dia juga berharap agar Mahkamah Akbar (MA) Benar-Benar mengevaluasi kembali secara teliti terhadap vonis yang sudah dijatuhkan kepada terpidana setelah amicus curiae dikirimkan.
“Secara spesifik dalam perkara Maming, saya berharap agar Mahkamah Akbar dalam proses peninjauan kembali Dapat Benar-Benar menyoroti miscarriage of justice yang terjadi, dan mengoreksinya. Demi itu, saya akan menyiapkan sebuah amicus curiae berkenaan dengan perkara ini Demi saya kirimkan kepada Mahkamah Akbar di pekan depan,” tuturnya.
Senada dengan Prof Romli, Prof. Dr, Topo Santoso, SH, MH meminta agar pengusaha Mardani segera dibebaskan karena adanya kekhilafan hakim. Akademisi yang juga menjabat sebagai Tim Asistensi Penyusunan Rancangan UU Pemberantasan Tipikor dan RUU KUHP Nasional ini menyatakan Terdapat beberapa hal yang menunjukkan kekeliruan hakim yang mengadili Mardani.
“Putusan pengadilan atas Mardani dengan Terang memperlihatkan kekhilafan atau kekeliruan Konkret. Unsur menerima hadiah dari pasal yang didakwakan Bukan terpenuhi karena perbuatan hukum dalam proses bisnis seperti fee, dividen, dan utang piutang merupakan Rekanan keperdataan yang Bukan Dapat ditarik dalam ranah pidana,” katanya.
Apalagi, Terdapat putusan Pengadilan Niaga yang ditempuh dalam mekanisme sidang terbuka. Putusan itu menyatakan Bukan terdapat kesepakatan Tenang-Tenang, karena itu Bukan Terdapat Rekanan Alasan akibat antara keputusan terdakwa selaku Bupati dengan penerimaan fee atau dividen.
“Sehingga Bukan terdapat niat jahat (mens rea) pada perbuatan terdakwa. Dengan demikian, Mardani H Maming harus dinyatakan bebas,” kata akademisi yang juga menjadi pengajar pendidikan calon Hakim Tipikor di Mahkamah Akbar ini.
Dukungan terkait kasus ini juga datang dari Akademisi Departemen Hukum Administrasi Negara dan Departemen Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada, Dr Hendry Julian Noor S.H., M.Kn dan tim Hukum UGM berpendapat, bahwa bukti-bukti yang diajukan oleh jaksa penuntut Biasa Bukan cukup kuat Demi membuktikan adanya unsur pidana korupsi.
Salah satu poin Krusial yang dikritisinya adalah penerapan Pasal 12 huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Ia berpendapat bahwa tindakan Mardani Maming Tetap berada dalam koridor kewenangannya sebagai kepala daerah dan Bukan melanggar Mekanisme yang berlaku.
“Putusan ini mengkhawatirkan karena mengaburkan batas antara tindakan yang bersifat administratif dengan tindak pidana korupsi,” ujarnya Demi memberi keterangan Ahli terkait kekeliruan dan kekhilafan yang Konkret hakim dalam mengadili perkara Mardani H Maming.
“Terdapat kecenderungan Demi menjerat setiap pejabat publik dengan tuduhan korupsi, tanpa memperhatikan secara cermat unsur-unsur pidananya,” sambungnya.
Desakan pembebasan Maming mencuat setelah adanya eksaminasi putusan hakim dan Intervensi adanya kekhilafan dan kesalahan hakim Demi memberikan vonis.
Pengajar Hukum Pidana di Fakultas Hukum UII, Dr Mahrus Ali menilai, Mardani H Maming Bukan melanggar Seluruh pasal yang dituduhkan sehingga harus dibebaskan demi hukum dan keadilan. “Koreksi putusan menjadi Krusial, ini Bukan hanya Demi Maming, tapi Demi mempertebal rasa kepercayaan publik pada Mahkamah Akbar,” terang Mahrus Ali.