Sindrom Bebek

DI tengah hiruk-pikuk tagar #KaburAjaDulu dan IndonesiaGelap yang membetot perhatian jutaan orang di negeri ini hingga kini, saya teringat istilah duck syndrome atau sindrom bebek. Inilah sebuah sindrom yang melanda orang dengan gejala: ‘tampak Berkualitas-Berkualitas saja, hidupnya tenang, seolah tanpa beban, padahal Terdapat tekanan Konkret atau segudang masalah yang tersembunyi di atas pundaknya’.

Duck syndrome atau sindrom bebek ini pertama kali dinyatakan di Stanford University, Amerika Perkumpulan, Demi menggambarkan masalah para mahasiswanya. Istilah itu mirip dengan bebek yang berenang seolah-olah sangat tenang, tetapi kakinya berusaha Lanjut bergerak agar tubuhnya Bisa tetap berada di atas permukaan air. Sekali saja meleng dan capek Lampau berhenti bergerak, bebek itu Bisa gelagapan bahkan Tewas tenggelam.

Sindrom seperti itu mirip dengan sajak yang digubah oleh KH Mustofa Bisri. Gus Mus, begitu pemimpin Pondok Pesantren Raudlotut Thalibin Rembang itu akrab disapa, menulis puisi berjudul Bila Kutitipkan. Saya Kagak Mengerti apakah puisi itu Demi menggambarkan orang-orang yang mengidap sindrom bebek atau Kagak, tapi isinya sangat sesuai. Gus Mus menulis:

 

‘Bila kutitipkan dukaku pada langit

Pastilah langit memanggil mendung

 

Bila kutitipkan resahku pada angin

Pastilah angin menyeru badai

Cek Artikel:  Reshuffle Buat Siapa

 

Bila kutitipkan geramku pada laut

Pastilah laut menggiring gelombang

 

Bila kutitipkan dendamku pada gunung

Pastilah gunung meluapkan api.

 

Tapi, kan kusimpan sendiri mendung dukaku

Dalam langit dadaku

 

Kusimpan sendiri badai resahku

Dalam angin desahku

 

Kusimpan sendiri gelombang geramku

Dalam laut pahamku

 

Kusimpan sendiri’

 

Sajak Gus Mus itu kiranya mewakili kecenderungan munculnya sindrom bebek, akhir-akhir ini. Di permukaan, sebagian orang terlihat Berkualitas-Berkualitas saja. Tetapi, dalam beberapa kesempatan, Hening-Hening mereka kebingungan Menyaksikan keadaan. Tengoklah isyarat itu dalam berbagai komentar, meme, potongan video, satire, hingga sarkas mulai bertaburan di media sosial.

Bahasa-bahasa seperti ‘kok cocok dengan kondisi terkini’, ‘relate banget dengan kehidupan sehari-hari’, ‘ini di wakanda, kan?’, dan kalimat sejenisnya Nyaris selalu muncul saban Terdapat gambar atau video keresahan terhadap kondisi ekonomi terkini. Kalimat itu seperti terorkestrasi, padahal ia spontan dari berbagai orang dengan latar belakang Berbagai Corak, tapi dengan keresahan yang sama.

Bilangan-Bilangan statistik pun mengonfirmasi bahwa situasinya sangat Kagak Berkualitas-Berkualitas saja, tapi Tetap disikapi dengan tenang. Itu persis dengan gambaran bebek berenang yang kepalanya cool, tapi kaki-kakinya Lanjut-menerus mesti bergerak.

Cek Artikel:  True Olympian

Data terakhir soal indeks keyakinan konsumen, misalnya, seolah-olah Kagak Terdapat masalah. Konsumen Indonesia seolah-olah Tetap optimistis dengan kondisi ekonomi Tanah Air. Hal tersebut ditunjukkan dengan indeks keyakinan konsumen yang selalu di atas 100. Tetapi, bila dianalisis lebih mendalam, Terdapat alarm yang perlu diwaspadai, yakni makin menurunnya keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi Indonesia.

Berdasarkan survei yang dilakukan Bank Indonesia (BI), indeks keyakinan konsumen Indonesia Tetap tetap di atas 100, yang berarti Tetap Serius dengan kondisi ekonomi kita, tapi angkanya makin menurun dalam tiga bulan terakhir: Desember 2024 (127,7), Januari 2025 (127,2), dan Februari 2025 (126,4).

Meskipun survei tersebut merupakan pendapat subjektif dari konsumen sebagai responden, karena survei diisi oleh banyak konsumen sebagai responden, sesuatu yang subjektif Apabila dikemukakan oleh banyak orang akan menjadi lebih Rasional. Kian menurunnya keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi perlu dilihat sebagai tanda bahaya.

Apabila pun hasil survei itu merupakan persepsi atau ekspektasi, tetaplah perlu menjadi perhatian Segala pihak, terutama pemerintah. Dua Elemen meyakinan konsumen yang tecermin dari indeks keyakinan konsumen tersebut memang dipengaruhi dua Elemen, Ialah Elemen internal yang dialami sendiri oleh konsumen dan Elemen di luar dirinya yang dilihat oleh konsumen.

Cek Artikel:  Blunder-Blunder Ganjar

Elemen internal itu dapat dilihat dari data tentang Bagian pendapatan yang ditabung pada Februari 2025 rata-rata 14,7%, lebih rendah Apabila dibandingkan dengan Januari 2025 sebesar 15,3%. Kedua, Bagian pendapatan yang digunakan Demi membayar cicilan utang juga menurun. Apabila pada Januari 2025 Bagian tersebut 11,1%, pada Februari 2025 turun menjadi 10,6%.

Ketiga, Bagian pendapatan yang digunakan Demi konsumsi dasar Bahkan meningkat. Apabila pada Januari 2025 Bagian tersebut sebesar 73,6%, pada Februari 2025 Bagian tersebut naik menjadi 74,7%. Itu artinya masyarakat kian menggunakan pendapatan bulanannya Demi belanja kebutuhan-kebutuhan paling pokok dalam konsumsi sehari-sehari.

Pemerintah harus berusaha keras Demi mengembalikan keyakinan konsumen dengan Membikin kebijakan ekonomi yang Benar dan Kagak terkesan terburu-buru. Selain itu, berhentilah memproduksi penyangkalan-penyangkalan yang kian menambah runyam keadaan.

Lihatlah, sebagian masyarakat sudah memilih amat lantang menyuarakan keprihatinan mereka atas kondisi di negeri ini, entah melalui gambar, video, atau sindiran lembut hingga kasar. Tetapi, yang Hening-Hening membahayakan ialah ketika sebagian masyarakat sudah terkena sindrom bebek, sangat tenang di permukaan, tapi sejatinya sudah remuk redam di dalam tanpa Bisa diselami oleh pemangku kebijakan.

 

 

Mungkin Anda Menyukai