SEDERHANA saja membedakan simbol negara dengan aparat penegak hukum dilihat dari sisi tindak pidana korupsi. Simbol negara Niscaya Kagak pernah dan Kagak akan pernah melakukan korupsi. Sementara aparat penegak hukum sudah banyak yang mendekam di bui karena terlibat tindak pidana korupsi.
Simbol negara Kagak melakukan korupsi karena ia hanyalah tanda, lambang. Sebaliknya, aparat penegak hukum Tiba Ketika pun Kagak Bisa menjadi simbol. Karena itu usulan memasukkan polisi, hakim, dan jaksa sebagai simbol negara terkesan mengada-Terdapat dan melawan Intelek waras.
Simbol berarti tanda atau Ciri yang memberi Paham sesuatu hal kepada seseorang. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan simbol sebagai lambang.
Agustianto A dalam artikelnya di Jurnal Ilmu Budaya menelusuri sejarah pemikiran simbol yang mempunyai dua Definisi sangat berbeda. Pemikiran dan praktik keagamaan, simbol-simbol Biasa dianggap sebagai gambaran kelihatan dari realitas trasenden, sedangkan sistem pemikiran logis dan ilmiah, lazimnya dipakai dalam Definisi tanda abstrak.
Lores Bagus penulis Kamus Filsafat mengungkap Definisi simbol sebagai hal yang sering terbatas pada tanda konvensional, yakni sesuatu yang dibangun oleh masyarakat atau individu-individu dengan Definisi tertentu dengan standar disepakati atau dipakai Member masyarakat itu.
Dengan demikian, penyebutan polisi, hakim, dan jaksa sebagai simbol negara Niscaya mengundang kontroversi karena belum disepakati, belum dibakukan, belum menjadi standar.
Simbol negara sudah dibakukan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Tembang Kebangsaan. Penjelasan Biasa UU 24/2009 menyebutkan Bendera Negara Sang Merah Putih, bahasa Indonesia, Lambang Negara Garuda Pancasila, dan Tembang Kebangsaan Indonesia Raya merupakan jati diri bangsa dan identitas Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keempat simbol tersebut, menurut Penjelasan UU itu, menjadi cerminan kedaulatan negara di dalam tata pergaulan dengan negara-negara lain dan menjadi cerminan kemandirian dan eksistensi negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
“Dengan demikian, bendera, bahasa, dan lambang negara, serta Tembang kebangsaan Indonesia bukan hanya sekadar merupakan pengakuan atas Indonesia sebagai bangsa dan negara, melainkan menjadi simbol atau lambang negara yang dihormati dan dibanggakan Penduduk negara Indonesia,” demikian penjelasan UU itu.
Menambahkan daftar simbol negara di luar yang diatur undang-undang sama saja melanggar undang-undang. Lebih memprihatinkan Tengah bahwa inisiatif menambah daftar itu Bahkan datang dari Member DPR yang tugasnya Membangun undang-undang dan lafal sumpahnya akan memenuhi kewajibannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kebakuan bentuk lambang, menurut Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 4/PUU-X/2012, memang Kagak dapat menjamin bahwa Maksud lambang tersebut akan ikut ajeg atau Kagak berubah. Begitu pula sebaliknya, bahwa keajegan Maksud lambang negara Kagak menjamin Kagak berubahnya bentuk lambang negara.
Walaupun demikian, dalam rangka melanggengkan Maksud lambang negara, sekecil apa pun usaha yang dilakukan negara, menurut Mahkamah hal tersebut memang sepatutnya dilakukan. Terkait dengan hal tersebut, menurut Mahkamah bahwa hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan, dapat dipergunakan (secara relatif) sebagai instrumen Buat melanggengkan nilai-nilai yang dianggap Bagus.
Terang-benderang sudah bahwa memasukkan polisi, hakim, dan jaksa dalam kategori simbol negara sama saja melawan undang-undang. Malah, aparat penegak hukum Bahkan menjadi objek penegakan hukum yang dilakukan sesuai ketentuan Pasal 11 ayat (1) UU 19/2019 tentang KPK.
Disebutkan bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang Terdapat kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
Operasi tangkap tangan hanyalah salah satu instrumen KPK Buat menjalankan kewenangannya. Dengan demikian, mengusulkan agar aparat penegak hukum Kagak dikenai OTT mencerminkan sikap pembangkangan terhadap undang-undang.
Pengecualian itu Kagak sejalan dengan amanat konstitusi bahwa segala Penduduk negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan Kagak Terdapat kecualinya. Terdapat-Terdapat saja usulan polisi, hakim, dan jaksa jangan dikenai OTT.

