Sihir Desa

KEHIDUPAN di desa tiba-tiba hiruk pikuk. Sejumlah mobil dan sepeda motor berpelat B masuk ke desa. Para pemudik sudah tiba di kampung halaman. Raut mereka semringah, bisa menginjakkan kaki di kampung setelah melalui perjalanan panjang nan melelahkan dari Ibu Kota Jakarta. Mereka bertekad ingin melaksanakan salat Idul Fitri di masjid atau lapangan kampung seperti saat masa kecil bersama orangtua tercinta.

Presiden Jokowi mengatakan jumlah pemudik Lebaran 2023 adalah yang tertinggi dalam sejarah. Pada arus mudik tahun ini terjadi peningkatan jumlah pemudik sebanyak 45%, dari 86 juta menjadi 123 juta orang. Jumlah pemudik meningkat antara lain karena pemerintah memberikan kelonggaran dengan mencabut kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di akhir 2022. Definisinya, pandemi covid-19 sudah landai dan Indonesia bersiap menuju endemi.

Mudik yang merupakan ritual tahunan sebenarnya merupakan modal sosial untuk memperkuat kohesi masyarakat kota dan desa. Kendati arus modernitas melintasi zaman dari masa ke masa, pun gaya hidup warga perkotaan yang tinggi, tetap saja kerinduan terhadap kampung halaman tak pernah pudar. Tak mengherankan bila dengan berbagai cara pemudik berusaha keras pulang kampung saat Lebaran. Mereka bekerja banting tulang mengumpulkan uang sebagai modal untuk mudik. Gambaran suram nan melelahkan sekaligus menjengkelkan karena terjebak macet berjam-jam tidak menyurutkan tekad untuk mudik.

Cek Artikel:  Ancaman Shin Tae-yong

Fenomena mudik adalah khas Indonesia. Di dalamnya terkandung kearifan lokal yang patut dibanggakan, seperti silaturahim di antara sesama keluarga, pun dengan tetangga dan warga lain di desa. Dalam sebuah acara halalbihalal yang di dalamnya dihadiri oleh pemudik dari Jakarta, biasanya disampaikan berbagai persoalan dalam keluarga, seperti bad news atau good news. Tak segan pimpinan di desa itu menyampaikan kebutuhan bantuan dana kepada para pemudik untuk pembangunan masjid, musala, madrasah, jembatan, sarana olahraga, dan fasilitas publik lainnya.

Mudik juga membuktikan bahwa kaum urban atau warga yang tinggal di kota mengamalkan ungkapan ‘kacang tidak lupa akan kulitnya’. Jiwa mereka tetap terkoneksi dengan kampung halaman.

Meskipun demikian, semangat mudik harus direvitalisasi. Pemudik harus memberikan kontribusi demi kemajuan desa. Tak bersifat bantuan dana, melainkan kemampuan soft skill untuk para pemuda di desa. Mereka harus diberikan pelatihan menjadi pemuda desa yang mandiri. Misalnya, pelatihan keterampilan membuat berbagai bisnis, oleh-oleh kampung, wisata desa, hingga pemasaran digital (digital marketing). Proses transfer knowledge dari pemudik ke warga desa memberikan sumbangsih untuk ketahanan desa, di mana warga bisa berkarya dan menghidupi diri sendiri, keluarga, dan lingkungannya.

Cek Artikel:  Badai yang Sempurna

Konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) di desa sangat tepat dilakukan. Pembangunan pariwisata dilakukan tidak sekadar mengumpulkan uang tiket masuk. Ekosistem kepariwisataan pun harus dibangun sehingga memiliki multiplier effect secara ekonomi bagi masyarakat. Menurut definisi dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, pariwisata berkelanjutan adalah pariwisata yang memperhatikan dampak terhadap lingkungan, sosial, budaya, serta ekonomi untuk masa kini dan masa depan, baik bagi masyarakat lokal maupun wisatawan.

Kementerian yang dipimpin oleh Sandiaga Uno itu menyiapkan tujuh desa di Indonesia untuk menjadi contoh keberhasilan dari konsep sustainable tourism. Salah satunya wisata di Desa Pujon Kidul, 30 km dari pusat Kota Malang. Lelahsinya berada di dataran tinggi sehingga memiliki lingkungan sejuk dan keasrian alam yang memesona. Beberapa atraksi wisata yang dilakukan di destinasi yang dikelola anak muda ini ialah menanam sayuran, memetik sayuran, hingga memerah susu sapi. Menariknya, ada pula Kafe Sawah yang dikelola Badan Usaha Punya Desa Pujon Kidul di Pujon, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Pariwisata berkelanjutan tidak boleh sekadar jargon pembangunan. Kalau sekadar jargon, pembangunannya pun sekadar proyek. Setelah diresmikan oleh pejabat, tak berapa lama kemudian bubar jalan.

Cek Artikel:  Bukan Bangsa Kaleng-kaleng

Karena itu, konsep pariwisata tersebut harus memiliki diferensiasi, apa kelebihan desa itu yang tak dimiliki desa lainnya. Misalnya, apakah keunikan budaya dan tradisi masyarakat desa tersebut memberikan magnit untuk pengembangan pariwisata. Termasuk pula soal manajemen pengelolaan pariwisata yang baik. Pengelolaan harus berdasarkan prinsip good governance (akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi).

Pembangunan desa menjadi perhatian pemerintah setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Pahamn 2014 tentang Desa. Alokasi dana desa pada 2015 sebesar Rp20,77 triliun, dan pada 2021 menjadi Rp72 triliun, atau meningkat 3,5 kali lipat. Total dana desa sampai 2022 mencapai Rp468,9 triliun. Kendati begitu, aliran dana yang besar ke desa masih belum bisa membendung laju anak muda mencari peruntungan ke kota. Anggaran desa gagal membuat ‘gula-gula’ di kampung untuk menahan laju urbanisasi. Sedihnya lagi, di balik besarnya arus dana desa, sejumlah kasus korupsi mengemuka. Belum lagi politisasi perangkat desa menjelang Pemilu 2024. Membangun desa memerlukan mental pejuang, bukan pemburu proyek sehingga menilap dana desa. Indonesia harus diperkuat dari desa. Tabik!

Mungkin Anda Menyukai