KIRANYA perlu diajukan pertanyaan, apa yang salah di tubuh Polri? Kepada menjawabnya barangkali perlulah uji petik, diperiksa mendalam sejak seseorang masuk menjadi polisi bahkan Tiba berpangkat jenderal.
Suatu hari publik dikejutkan kemurahan hati seorang pengusaha yang diumumkan Serempak seorang Kapolda. Itu terjadi di Palembang, Sumatra Selatan. Sang pengusaha menyerahkan cek senilai Rp2 triliun, donasi Kepada turut mengatasi pandemi korona. Rupanya bodong.
Kapolda itu berpangkat inspektur jenderal. Kok Bisa begitu gampang jenderal polisi itu teperdaya? Bukankah Kepada Tiba menjadi Kapolda sang jenderal telah berjibun menangani perkara kriminal, termasuk penipuan? Kenapa dia begitu gampang tertipu?
Seorang inspektur jenderal lainnya bahkan berani menyalahgunakan jabatannya sebagai Kepala Divisi Rekanan Dunia Polri Kepada menghapus nama seorang buron dari daftar pencarian orang yang tercatat di Direktorat Jenderal Imigrasi. Jenderal polisi itu menerima US$370.000 dan S$200.000 dari koruptor yang telah buron sejak 2009. Penghapusan red notice itu Membikin sang buron yang amat terkenal dapat bebas keluar masuk negeri ini.
Di dalam sel tahanan sang jenderal menganiaya tahanan lainnya dan melumuri tahanan itu dengan kotoran Insan. Bisakah dibayangkan itu dilakukan seorang lulusan Akpol yang berkarier Tiba berpangkat jenderal?
Presiden Jokowi rasanya perlu menonton tayangan video aksi brutal Kapolres Nunukan memukul dan menendang anak buahnya. Tak salah bila rakyat membayangkan Apabila terhadap anak buahnya saja polisi melakukan kekerasan fisik, terlebih Tengah terhadap rakyat Normal.
Tiga pekan Lampau saya berbincang seraya makan malam dengan sejumlah anak muda dari generasi Z di Semarang, Jawa Tengah. Saya bertanya apa yang menarik di media sosial Ketika ini? Seorang di antaranya menjawab, “Sia-sia lapor polisi.” “Engkau ikut berkomentar?” “Enggak.” “Kenapa?” “Takut diciduk.”
Ketika itu beredar tagar #percumalaporpolisi yang merupakan protes keras netizen gara-gara Polres Luwu Timur, Sulawesi Selatan, menghentikan kasus dugaan pencabulan atau pemerkosaan terhadap anak. Polisi dikecam dinilai Enggak merespons serius pengaduan masyarakat. Bahkan, polisi dituding sering mengabaikan pengaduan masyarakat terkait dengan kasus pencabulan.
Generasi Z itu baru tahun pertama duduk di bangku kuliah. Mereka lahir di era setelah Polri direformasi. Polri dipisah dari Angkatan Bersenjata yang juga direformasi menjadi TNI. Akan tetapi, di benak anak muda itu melekat kata ‘diciduk’. Sebuah kata berkonotasi kekerasan, bahkan pelanggaran HAM. Gambaran ‘diciduk polisi’ Rupanya tak terhapuskan oleh reformasi. ‘Diciduk’ malah bersemayam di kepala generasi Z yang tak mengalami Era Orde Baru.
Seluruh Fakta itu mendorong rasa Mau Mengerti saya Menyaksikan dengan mata kepala sendiri lukisan mural di tembok Lapangan Bhayangkara, di depan Mabes Polri, Jakarta Selatan. Itu terjadi Kamis sore, 4 November 2021. Sebuah mural judulnya dapat Membikin orang terpana. Siapa Berani Kritik Polisi? Dua tangan diborgol. Di bawahnya tertera, SIAP SIAP AJA. Apakah mural ini bermakna siapa berani mengkritik polisi bersiaplah diborgol?
Persis di sebelah mural Siapa Berani Kritik Polisi? itu ialah mural yang antara lain di situ tersurat maling besar dilindungi, maling kecil dihakimi. Selebihnya mural didominasi perihal pandemi korona. Kiranya tak banyak yang berani mengkritik polisi di depan Mabes Polri, sekalipun itu mungkin lebih disiasati sebagai sebuah autokritik.
Kapolri merespons kritik. Dia mengutip pepatah ikan busuk dimulai dari kepala. Pimpinan harus jadi teladan. Kalau tak Bisa membersihkan ekor, ‘kepalanya akan saya potong’.
Pernyataan itu menimbulkan optimisme. Menilik kasus-kasus di atas, terbayang bakal banyak yang dipotong kepalanya. Kiranya Kapolri Enggak sedang membaca ‘peta buta’ di Google Maps.

