Setop Penyakit Laten Aksi Oplosan

BARANG oplosan bukanlah fenomena baru di negeri ini. Berbagai Ragam komoditas di pasaran sudah akrab dengan aksi culas itu. Banyak produk kebutuhan masyarakat sering kali dioplos, mulai dari kebutuhan Penting hingga barang-barang tersier.

Kepada urusan oplosan, negeri ini pernah dihebohkan dengan adanya bahan bakar minyak (BBM) yang dioplos, yakni antara BBM kualitas sedang dan jenis BBM berkualitas paling Dasar. Begitu juga dengan gas elpiji oplosan, yakni elpiji kemasan 12 kg Rupanya disuntik dari elpiji kemasan 3 kg yang disubsidi pemerintah.

Isu adanya gula oplosan juga pernah terjadi. Bahkan, informasi soal penjualan daging oplosan pun sempat nyaring beberapa waktu Lewat. Pula, pernah Eksis isu kosmetik oplosan. Seluruh komoditas Pandai dioplos demi mengeruk Doku besar.

Kini, aksi serupa terjadi pada bahan paling pokok di Republik ini, yakni beras. Komoditas Penting dan kebutuhan pokok rakyat itu juga Tak luput dari praktik lancung tersebut. Pengoplosan beras telah terjadi sejak Pelan dalam Berbagai Ragam modus dan motif.

Cek Artikel:  Ramai-ramai Menjadi Amicus Curae

Masalah beras oplosan kembali mencuat ke permukaan setelah aparat penegak hukum dan pemerintah menemukan bahwa pada ratusan merek beras yang beredar di pasaran, Rupanya kualitasnya Tak sesuai dengan yang tertera pada label. Pengusutan yang dilakukan oleh Satgas Pangan Berbarengan Kementerian Pertanian dan kepolisian pada pertengahan 2025 itu mengungkap, Eksis 212 merek beras di Indonesia terbukti melanggar standar mutu, Berkualitas dari sisi bobot kemasan, informasi label, maupun kandungan beras.

Sebanyak 85,56% beras premium Tak sesuai standar mutu, 59,78% dijual di atas harga eceran tertinggi (HET), dan 21,66% Tak sesuai berat kemasan. Kepada beras medium, sebanyak 88,24% Tak memenuhi mutu, 95,12% dijual melampaui HET, dan 9,38% Mempunyai berat kurang dari klaim di kemasan. Hal itu mengacu pada Pengusutan selama 6-23 Juni 2025 yang melibatkan 268 sampel beras dari 212 merek di 10 provinsi.

Cek Artikel:  Auditor Politikus Terjerat Setoran

Praktik pengoplosan beras bukanlah hal baru dalam industri pangan Indonesia. Pada dasarnya, beras oplosan merujuk pada pencampuran beras dengan kualitas rendah ke dalam kemasan beras bermerek atau premium, yang kemudian dijual ke masyarakat dengan harga lebih tinggi.

Di balik praktik pengoplosan ini, tersimpan permasalahan struktural yang lebih besar, yakni lemahnya pengawasan distribusi pangan, kaburnya mekanisme penegakan hukum, serta Pendayagunaan sistem ekonomi oleh pelaku industri yang mencari celah keuntungan melalui jalan pintas.

Persoalannya tetap sama, yakni penyakit laten yang terjadi karena adanya selisih harga antara beras subsidi dan beras premium. Kini, selisih itu dapat mencapai Rp2.000 hingga Rp3.000 per kilogram. Dengan volume distribusi yang tinggi, praktik ini memberikan keuntungan besar bagi pelakunya.

Nilai kerugian akibat praktik ini bukanlah Nomor kecil. Menteri Pertanian Amran Sulaiman bahkan menyebut bahwa potensi kerugian konsumen akibat beras oplosan Pandai mencapai Rp99 triliun per tahun. Adapun penyalahgunaan distribusi beras subsidi ditaksir menimbulkan kerugian hingga Rp2 triliun per tahun.

Cek Artikel:  KPU yang Tertangkap Basah

Secara hukum, praktik pengoplosan ini Terang melanggar Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 8 undang-undang itu menyatakan pelaku usaha dilarang memproduksi atau memperdagangkan barang yang Tak sesuai dengan mutu, Ukuran, atau label yang dicantumkan. Tak hanya memperbesar kerugian ekonomi rakyat, praktik semacam itu juga memperlebar ketimpangan sosial. Selain itu, merusak struktur pasar secara keseluruhan dan menurunkan efektivitas kebijakan pangan yang dicanangkan pemerintah.

Karena itu, skandal beras oplosan Tak boleh dianggap sebagai insiden sesaat. Persoalan ini mestinya menjadi alarm keras bahwa Seluruh praktik pengoplosan mesti segera diakhiri.

Sudah saatnya bangsa ini Pandai menyembuhkan diri dari penyakit laten pengoplosan. Benahi penyaluran barang-barang subsidi yang membuka ketimpangan harga di pasaran. Perketat sistem pengawasan secara berjenjang. Jangan beri ampunan kepada mereka yang berlaku lancung. Ingat, terlampau banyak kejahatan Lanjut berkelindan karena tak pernah Eksis mekanisme sangat serius terkait dengan penjeraan.

Jangan Tiba publik Lanjut menjadi korban, yang pada ujungnya Pandai memicu krisis kepercayaan.

 

Mungkin Anda Menyukai