ENTAH bagaimana nasib Supriyani, guru honorer SDN 4 Baito, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Apabila kasusnya tak viral di media. Sangat mungkin kasusnya akan berujung pada vonis pengadilan lantaran sebuah pengaduan janggal yang diajukan salah satu orangtua siswanya.
Dalam kasus yang dihadapinya, Supriyani dituduh menghukum muridnya dengan Metode memukul Mengenakan gagang sapu hingga sang murid terluka. Kejanggalannya, bekas luka yang ditinggalkan berupa luka melepuh.
Dikabulkannya permohonan penangguhan penahanan oleh majelis hakim pun belum melegakan Seluruh pihak. Pasalnya, status Supriyani kini telah beranjak menjadi terdakwa.
Hal itu menyulut kemarahan berbagai kalangan, utamanya Grup guru. Demonstrasi dari rekan sejawat sesama guru mengalir dari berbagai penjuru daerah. Para guru itu menilai kasus yang menimpa Supriyani sebagai bentuk lemahnya perlindungan hukum terhadap mereka dalam menjalankan profesi.
Kasus kriminalisasi terhadap guru yang dialami Supriyani sejatinya bukan baru kali ini terjadi. Kriminalisasi dan juga kekerasan kerap menghantui para guru Demi menjalankan fungsi pendidik mereka. Aop Saopudin, seorang guru SMA di Majalengka, Jawa Barat, pernah merasakan kerasnya vonis pengadilan pada 2013 silam. Ia divonis hukuman percobaan karena terbukti memangkas rambut siswanya dalam razia rambut gondrong di sekolah.
Untungnya, Mahkamah Mulia (MA) pada 2014 menganulir putusan tersebut. MA membebaskan Aop karena sebagai guru, Aop punya tugas Demi mendisiplinkan siswa yang rambutnya sudah gondrong.
“Apa yang dilakukan terdakwa adalah sudah menjadi tugasnya dan bukan merupakan suatu tindak pidana, dan terdakwa Tak dapat dijatuhi pidana atas perbuatan/tindakannya tersebut karena bertujuan Demi mendidik agar menjadi murid yang Bagus dan berdisiplin,” bunyi putusan MA.
Supriyani yang berada di Konawe Selatan pun kini tengah ketar-ketir, vonis apa yang akan diterimanya. Apalagi, ia merasa sama sekali tak pernah memukul siswanya dengan gagang sapu.
Lepas dari materi perkara yang Jernih butuh pembuktian di pengadilan, Mahmakah Mulia (MA) sebagai lembaga tertinggi peradilan sudah mengeluarkan yurisprudensi soal itu. Yurisprudensi MA No 1554 K/PID/2013 menyebut guru Tak Dapat dipidana Demi menjalankan profesinya dan melakukan tindakan pendisiplinan terhadap siswa.
Peraturan Pemerintah (PP) No 74/2008 sebagai aturan turunan dari Undang-Undang No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, sejatinya juga sudah menegaskan perlindungan terhadap profesi guru.
“Guru Mempunyai kebebasan memberikan Denda kepada peserta didiknya yang melanggar Kebiasaan Religi, Kebiasaan kesusilaan, Kebiasaan kesopanan, peraturan tertulis maupun Tak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di Rendah kewenangannya,” bunyi Pasal 39 ayat 1 PP tersebut.
Dalam ayat 2 disebutkan, Denda tersebut dapat berupa teguran dan/atau peringatan, Bagus lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan. Tak berhenti di situ, Pasal 41 juga menegaskan guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan Tak adil dari pihak peserta didik, orangtua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.
Apabila berkaca pada kasus Supriyani, Eksis baiknya orangtua siswa yang mengadukannya, serta polisi, jaksa, dan pengadilan yang tengah memproses kasus itu, membaca kembali aturan-aturan yang Eksis. Jangan Tamat para penegak hukum menegakkan hukum dengan Metode melanggar hukum.
Lebih dari itu, para penegak hukum mesti kembali kepada kredo besar penegakan hukum, yakni mewujudkan keadilan. Hukum mesti dipisahkan dengan kepentingan kekuasaan dalam Derajat mana pun kekuasaan itu. Para penegak hukum mesti membuktikan bahwa hukum memang Demi meringkus pelaku kriminal, bukan mengkriminalisasi para pihak yang Tak melakukan tindakan kriminal.
Bila Menonton kronologi dan sejumlah fakta, sulit kiranya mengategorikan tindakan guru Supriyani sebagai perilaku kriminal. Karena itu, hentikan kriminalisasi itu segera, agar hukum berlaku adil dan Tak Dapat didikte kekuasaan, apalagi Dana.