Setelah 30 Kali Ditolak MK

Setelah 30 Kali Ditolak MK
(MI/SENO)

KAMIS (2/1), Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan empat putusan atas perkara pengujian ambang batas minimal pencalonan presiden (presidential nomination threshold) meliputi (i) perkara No.62/PUU-XXII/2024 dengan pemohon Enika Maya Oktavia, dkk; (ii) perkara No.87/PUU-XXII/2024 dengan pemohon Dr Dian Fitri Sabrina sebagai pemohon I, Prof Dr Muhammad sebagai pemohon II, S Muchtadin Al Attas sebagai pemohon III, dan Dr Muhammad Saad sebagai pemohon IV. 

Berikutnya, (iii) perkara No.101/PUU-XXII/2024 dengan Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) yang dalam hal ini diwakili oleh Hadar Nafis Gumay selaku Direktur Eksekutif sebagai pemohon I dan Titi Anggraini sebagai pemohon II; serta (iv) perkara No.129/PUU-XXI/2023 dengan pemohon Gugum Ridho Putra. 

Sejarah dan arah baru demokrasi Indonesia ditorehkan oleh MK. Melalui Putusan No.62/PUU-XXII/2024 yang merupakan pengujian ke-34 atas Pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilihan Lazim, MK menyatakan Pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan Bukan mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pasal 222 UU 7/2017 mengatur bahwa Kekasih calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari Bunyi Absah secara nasional pada pemilu Personil DPR sebelumnya. 

Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud perolehan kursi DPR atau perolehan Bunyi Absah ialah merujuk pada hasil pemilu Personil DPR terakhir, Berkualitas Buat partai politik yang mempunyai kursi di DPR maupun yang Bukan mempunyai kursi di DPR.

MK mengabulkan seluruh permohonan perkara No.62/PUU-XXII/2024. Sementara itu, tiga perkara lainnya Bukan dapat diterima karena kehilangan objek akibat sudah dikabulkannya permohonan perkara No.62/PUU-XXII/2024 yang Mempunyai esensi atau substansi Nyaris sama dengan permohonan para pemohon lainnya. 

Syarat ambang batas minimal dalam pencapresan memang Bukan lazim digunakan oleh negara-negara dengan sistem presidensial. Ambang batas pencalonan presiden Bukan dianut di mayoritas negara. Meski Terdapat, Bilangan ambang batasnya Bukan sebesar Indonesia.

Di Turki, Buat mencalonkan presiden, harus memenuhi salah satu dari dua syarat berikut: (i) dicalonkan oleh partai politik atau koalisi partai politik yang Mempunyai minimal 5% dari total Bunyi Absah nasional dalam pemilihan parlemen sebelumnya; atau (ii) kandidat independen dapat mencalonkan diri Kalau berhasil mengumpulkan setidaknya 100 ribu tanda tangan dari pemilih terdaftar.

Sementara itu, Irlandia memberlakukan syarat pencalonan presiden yang harus didukung oleh 20 kursi di Dail Eireann (Dewan Perwakilan) atau empat Personil Seanad Eireann (Senat), atau dukungan sekurang-kurangnya empat dari 31 Dewan Daerah (Local Authorities).

Dengan demikian, pilihan ambang batas yang digunakan Irlandia sangatlah Berbagai Ragam dan Bukan terfokus pada kekuatan partai politik karena melibatkan pilihan dukungan dari kursi parlemen, Senat, atau Dewan Daerah. Bukan seperti Indonesia yang hanya terfokus pada kepemilikan kursi atau Bunyi hasil pemilu DPR.

Upaya kolektif

Antara 2017-2024, total Terdapat 36 pengujian atas Pasal 222 UU 7/2017 yang masuk ke MK. Saya Berbarengan Direktur Eksekutif Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) Hadar Nafis Gumay total tiga kali menguji Pasal 222 UU 7/2017. Selain perkara No.101/PUU-XXII/2024, kami juga melakukan pengujian melalui perkara No.71/PUU-XV/2017 dan No.49/PUU-XVI/2018. Argumentasi yang dibangun Bukan jauh berbeda dengan argumentasi MK Ketika mengabulkan penghapusan ambang batas. Hanya, permohonan kami dan 28 permohonan sebelumnya belum Pandai menggoyahkan ‘iman’ MK.

Ketika kembali menguji ambang batas, selain merujuk hasil Pengkajian Pemilu 2024, kami juga mendasarkan pada posisi pendirian hukum MK dalam sejumlah putusan pengujian UU Pemilu dan UU Pilkada yang di antaranya memerintahkan pembentuk undang-undang Buat merekonstruksi pengaturan ambang batas. Contohnya, Putusan MK No.116/PUU-XXI/2023 tentang ambang batas parlemen (parliamentary threshold). MK menyatakan perlunya tinjauan ulang atas konsep ambang batas parlemen dalam Pasal 414 UU 7/2017.

Cek Artikel:  Jalan Terjal Bursa Capres 2024

MK menilai penentuan besaran Bilangan atau persentase ambang batas parlemen yang Bukan didasarkan pada dasar metode dan argumen yang memadai secara Konkret telah menimbulkan disproporsionalitas hasil pemilu. Hal itu akibat banyaknya Bunyi pemilih yang terbuang karena Bukan dapat dikonversi menjadi kursi DPR.

MK memang pernah mengubah pendirian hukum mereka. Misal, pada perkara pemilu serentak, pengumuman hasil hitung Segera pemilu, ambang batas parlemen, ambang batas pencalonan kepala daerah, dan perselisihan hasil pilkada. Meski demikian, tetap saja di luar bayangan dan perkiraan, MK akan melangkah seprogresif itu setelah 30 kali mementahkan pengujian ambang batas pencalonan presiden. 

Sebelum perkara No.62/PUU-XXII/2024 diputus, terdapat 24 perkara yang sudah dinyatakan MK Bukan dapat diterima dan 6 perkara ditolak. Sementara itu, dua perkara ditarik kembali oleh pemohon. 

Selain itu, Ketika ambang batas pencalonan presiden (dengan ambang batas minimal yang sama) Tetap diatur dalam Pasal 9 UU 42/2008 tentang Pemilihan Lazim Presiden dan Wakil Presiden, sejumlah gugatan juga sudah masuk MK meminta pembatalan ketentuan tersebut. Antara lain oleh Saurip Kadi Buat perkara No.51/PUU-VI/2008; Partai Bulan Bintang Buat perkara No.52/PUU-VI/2008; Hanura, PDP, PIS, Partai Buruh, PPRN, dan Republikan Buat perkara No.59/PUU-VI/2008, dan Effendi Gazali Buat perkara No.14/PUU-XI/2013.

Di sisi lain, dalam sejarah pengujian syarat pencalonan presiden, melalui perkara No.56/PUU-VI/2008, MK juga pernah Mempunyai tiga hakim konstitusi yang berpandangan bahwa Sepatutnya Kekasih calon perseorangan juga diberi ruang Buat mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden selain yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Mereka ialah Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan M Akil Mochtar.

Banyaknya gugatan terhadap ambang batas pencalonan presiden akhirnya ikut menjadi pertimbangan MK Buat meninjau kembali konstitusionalitasnya. Dalam putusannya, MK menyebut fakta tersebut dapat dimaknai sebagai gambaran aspirasi pemilih, organisasi masyarakat, politisi, dan partai politik yang secara gigih dan Lanjut-menerus mempersoalkan dan menguji keabsahan konstitusionalitas ambang batas minimal persentase pengusulan Kekasih calon presiden.

Karena itu, Dapat disebut keberhasilan uji materi ambang batas pencalonan presiden kali ini Bukan lepas dari upaya kolektif pemohon-pemohon sebelumnya yang permohonan mereka dinyatakan MK Bukan dapat diterima ataupun ditolak. Mereka yang tetap gigih dan kukuh berjuang menggugah MK meskipun selalu ditolak. Bayangkan Kalau mereka menyerah dan berhenti melakukan upaya hukum ke MK, Dapat jadi Bukan akan pernah Terdapat Putusan MK No.62/PUU-XXII/2024 seperti Ketika ini. 

Konfigurasi hakim

Rekonfigurasi hakim dalam memutus perkara diyakini ikut berkontribusi mengubah pendirian hukum MK. Dalam Putusan No.62/PUU-XXII/2024, terdapat dua hakim konstitusi, Merukapan Ridwan Mansyur dan Arsul Sani, yang belum pernah ikut memutus perkara ambang batas pencalonan presiden karena baru bertugas di MK pada 9 Desember 2023 dan 18 Januari 2024. 

Hakim Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, dan M Guntur H Hamzah ialah tiga hakim yang berubah pendirian hukumnya dalam memutus perkara ambang batas. Dalam putusan sebelumnya, mereka menilai ambang batas pencalonan presiden ialah kewenangan pembentuk undang-undang. 

Dua hakim lain, Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh, menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Mereka berpendirian MK Sepatutnya menyatakan para pemohon Bukan Mempunyai kedudukan hukum dan oleh karenanya permohonan para pemohon Bukan dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard). 

Cek Artikel:  Melawan Musuh yang tidak Terlihat

Alasannya, MK dalam putusan-putusan tentang ambang batas sebelumnya telah menegaskan bahwa pihak yang Mempunyai kedudukan hukum Buat mengajukan permohonan ialah: (i) partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dan (ii) perseorangan Anggota negara yang Mempunyai hak Buat dipilih dan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu Buat mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai Kekasih calon presiden dan wakil presiden atau menyertakan partai politik pendukung Buat secara Berbarengan-sama mengajukan permohonan.

Sementara itu, hakim Suhartoyo dan Saldi Isra menjadi dua hakim MK yang sejak awal berpandangan bahwa ketentuan ambang batas pencalonan presiden ialah inkonstitusional dan harus dihapuskan dari persyaratan pencalonan di pilpres. Suhartoyo dan Saldi Isra konsisten memberikan dissenting opinion dalam Sekalian putusan MK yang menolak pengujian Pasal 222 UU 7/2017 antara 2017-2023.

Sebelumnya, konfigurasi putusan MK selalu 7-2 Buat yang menolak permohonan. Kali ini, setelah tujuh tahun lebih, duet ‘dynamic duo’ Suhartoyo dan Saldi Isra sekaligus sebagai Ketua dan Wakil Ketua MK berhasil membalikkan situasi dengan komposisi 7-2 Buat hakim yang mengabulkan permohonan.

Perintah Mahkamah

Ambang batas pencalonan presiden selama ini dinilai MK sebagai kewenangan hukum pembentuk undang-undang (Absah policy) sehingga selalu dinyatakan Bukan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Melalui putusan terbarunya, MK Bukan hanya mengubah pendirian hukum soal kedudukan hukum (Absah standing) pemohon, tapi juga pendirian hukumnya secara Esensial menyangkut inkonstitusionalitas ambang batas pencalonan presiden. 

MK menyatakan bahwa ambang batas minimal persentase pengusulan Kekasih calon yang diatur dalam Pasal 222 UU 7/2017 Bukan hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta Konkret-Konkret bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Karena itu, terdapat Argumen kuat dan mendasar bagi MK Buat bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya.

Perubahan pendirian MK dilatarbelakangi oleh pertimbangan, antara lain bahwa pengusulan Kekasih calon di pilpres mesti dipahami, dimaknai, dan diposisikan sebagai hak konstitusional (constitutional rights) dari partai politik peserta pemilu. MK menilai, secara faktual, keberadaan Kebiasaan ambang batas minimal persentase pengusulan Kekasih calon Rupanya Bukan terkait langsung dengan upaya melakukan penyederhanaan jumlah partai politik peserta pemilu sebagaimana pernah didalilkan MK.

Penggunaan ambang batas minimal disebut MK telah menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik baru yang dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu, yang Bukan Mempunyai persentase Bunyi Absah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya Buat mengusulkan Kekasih calon di pilpres. MK juga menyatakan penetapan besaran atau persentase ambang batas dalam Pasal 222 UU 7/2017 Bukan didasarkan pada penghitungan yang Terang dengan rasionalitas yang kuat.

MK menilai penentuan besaran atau persentase tersebut lebih menguntungkan partai politik besar atau setidak-tidaknya memberi keuntungan bagi partai politik peserta pemilu yang Mempunyai kursi di DPR. Sulit bagi partai politik yang merumuskan besaran atau persentase ambang batas Buat Bukan Mempunyai benturan kepentingan (conflict of interest). 

Karena itu, MK menganggap perlu Buat menempatkan sekaligus memberikan prioritas pada jaminan pemenuhan hak konstitusional pemilih Buat mendapatkan Kekasih calon yang lebih Berbagai Ragam melalui kontestasi yang fair dan terbuka yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebagaimana ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. 

MK menangkap adanya kecenderungan Buat selalu mengupayakan agar pilpres hanya diikuti dua calon yang Kalau Lanjut dibiarkan Dapat saja pilpres hanya akan diikuti calon tunggal. Kecenderungan tersebut sudah terjadi di pilkada yang semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal atau pemilihan dengan kotak Nihil. Sebagai pelindung hak konstitusional Anggota negara, bagi MK, pemenuhan hak politik Anggota negara berupa hak Buat memilih dan hak Buat dipilih (right to vote and right to be candidate) jauh lebih Krusial ketimbang kehendak Buat menyederhanakan partai politik dalam rangka menopang penguatan sistem presidensial.

Cek Artikel:  Defisit Perdagangan AS dan Perekonomian Indonesia

Menggunakan ambang batas pengusulan Kekasih calon presiden berdasarkan persentase perolehan Bunyi atau kursi DPR dianggap MK memaksakan logika sistem parlementer dalam praktik sistem presidensial. Apabila diletakkan dalam salah satu gagasan besar perubahan UUD 1945, Merukapan dalam rangka memurnikan sistem presidensial, Langkah pandang itu Bukan sejalan dengan semangat awal dilakukan perubahan UUD 1945, Merukapan menyempurnakan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara lain melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem saling mengawasi, dan saling imbang (checks and balances).

Pertimbangan-pertimbangan di atas meneguhkan MK Buat menyatakan inkonstitusionalitas ambang batas minimal pencalonan presiden. Pemohon perkara No.62/PUU-XXII/2024 hadir pada momentum yang Betul. Bersambut dengan arah pergerakan politik mutakhir Indonesia yang sudah sangat ‘menggelisahkan’ MK.

Selain menghapus ambang batas, MK juga memberikan judicial orders atau perintah pengadilan kepada pembentuk UU agar dalam revisi UU 7/2017 dapat melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) dengan memperhatikan beberapa hal. Pertama, Sekalian partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan Kekasih calon presiden dan wakil presiden. Kedua, pengusulan Kekasih calon oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu Bukan didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan Bunyi Absah secara nasional.

Ketiga, dalam mengusulkan Kekasih calon, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut Bukan menyebabkan Penguasaan partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya Kekasih calon serta terbatasnya pilihan pemilih. Keempat, partai politik peserta pemilu yang Bukan mengusulkan Kekasih calon dikenai Denda Embargo mengikuti pemilu periode berikutnya. 

Kelima, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud, termasuk perubahan UU 7/2017, melibatkan partisipasi Sekalian pihak yang Mempunyai perhatian (concern) terhadap penyelenggaraan pemilu termasuk partai politik yang Bukan memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

Menjaga pengadilan

Meski sangat lelet Buat Dapat Membikin MK siuman dan ‘bertobat’, putusan MK harus disyukuri dan dirayakan. Kado awal tahun yang indah bagi masa depan demokrasi Indonesia yang inklusif, terbuka, dan kompetitif. Bak musim semi setelah sekian lelet kebekuan musim dingin menyelimuti pilpres akibat Penguasaan koalisi gemuk serta keterbatasan pilihan berbuah polarisasi masyarakat.

Mari kita jaga pencapaian itu sembari Lanjut mengingatkan tentang pentingnya pengadilan yang independen sebagai elemen inti penjaga konstitusi dan demokrasi. Jangan Terdapat intervensi atau upaya Buat mengerdilkan pengadilan. MK harus Lanjut dikawal agar selalu berjalan di rel demokrasi konstitusional. 

Publik harus mengawal revisi UU Pemilu dan UU Pilkada yang masuk Prolegnas 2025 memuat substansi lutusan MK secara utuh dan konsisten. Mesti dipastikan asas dan prinsip pemilu demokratis diatur dengan Berkualitas. Jaga Lanjut stamina dan Pusat perhatian kita Alasan penghapusan ambang batas minimal pencalonan bukan panasea bagi Sekalian penyakit pemilu dan demokrasi Indonesia. 

Pemilu kredibel membutuhkan partai politik yang Lanjut berbenah Buat memastikan berjalannya demokrasi internal partai agar berfungsi Berkualitas sebagai instrumen demokrasi. Juga mensyaratkan adanya penyelenggara pemilu yang profesional, Berdikari, dan berintegritas. Tanpa itu Sekalian, penghapusan ambang batas Bukan akan berarti banyak.

Mungkin Anda Menyukai