
MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah mengeluarkan fatwa terkait pemilihan kepala daerah (pilkada), salah satunya yakni mewajibkan umat Islam Demi memilih calon pemimpin yang seakidah, amanah, jujur, terpercaya dan memperjuangkan kepentingan syiar Islam.
Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan menyebut fatwa tersebut diskriminatif dan bertentangan dengan hukum negara. “Pasal 28D ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 menegaskan bahwa setiap Kaum negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Minggu (24/11).
Merujuk UU 39 Tahun 1999 tentang HAM bahwa menyatakan bahwa setiap Kaum negara berhak Demi dipilih dan memilih berdasarkan persamaan hak, ia mengatakan hak memilih dan dipilih melekat pada setiap Kaum negara, apapun identitas yang bersangkutan.
“Mewajibkan pemilih dari kalangan Umat Islam Demi memilih calon yang seakidah merupakan tindakan pembedaan atau diskriminasi yang hanya mengistimewakan calon dari kalangan umat Islam,” jelasnya.
Hasan juga mengatakan, fatwa juga bersifat segregatif dan bahkan Dapat melemahkan kebinekaan Indonesia. “Pilkada dan hajatan elektoral merupakan wahana kebangsaan, di samping momentum Demi memilih pejabat publik,” ujarnya.
Ia menyertakan, hajatan elektoral merupakan event kolektif Demi menguatkan kebangsaan Indonesia dalam tata kebinekaan berdasarkan Pancasila.
“Fatwa semacam itu berpotensi memecah belah masyarakat Indonesia yang majemuk. Pemaksaan preferensi Keyakinan dalam memilih pemimpin akan menciptakan segregasi sosial-politik dan memantik polarisasi di tengah-tengah masyarakat,” jelasnya.
Lebih lanjut, pihaknya Menyantap bahwa fatwa adalah pandangan keagamaan Biasa, Enggak mengikat, dan Enggak Mempunyai kekuatan hukum apapun.
“Oleh karena itu, publik dan pemilih, termasuk pemilih dari kalangan umat Islam dapat mengabaikan pandangan keagamaan yang Enggak Mempunyai kekuatan hukum apapun karena Enggak sesuai dengan kebinekaan Indonesia,” paparnya. (J-2)

