Sering Pindah Rumah Demi Kecil Bisa Tingkatkan Risiko Depresi

Sering Pindah Rumah Saat Kecil Bisa Tingkatkan Risiko Depresi
Ilustrasi : Studi di Denmark menunjukkan orang dewasa yang sering pindah rumah saat kecil berisiko lebih tinggi mengalami depresi(Freepik)

PINDAH rumah tentunya membawa pengaruh bagi anda dan juga anggota keluarga anda. Berkualitas itu pindah rumah, komunitas, atau pindah ke negara baru. 

Beberapa peneliti memperkirakan lebih dari 30 juta orang, atau 19% dari populasi, akan pindah dalam 12 bulan ke depan.

Berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain ternyata memberikan tekanan dan tantangan, terutama bagi anak-anak.

Baca juga : Studi Kaukus Keswa: Pemilu 2024 Tingkatkan Risiko Kecemasan dan Depresi

Sebuah studi terbaru terhadap orang dewasa di Denmark menemukan mereka yang sering pindah di masa kanak-kanak memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami depresi dibandingkan dengan teman sebaya mereka yang tinggal di komunitas yang sama sepanjang hidup mereka. 

Studi yang dipublikasikan dalam jurnal JAMA Psychiatry ini melibatkan lebih dari 1 juta orang yang lahir antara tahun 1982 dan 2003. Dari jumlah tersebut, lebih dari 35.000 (atau 3,2%) didiagnosis mengalami depresi.

Biarpun metodologi dan data para peneliti tidak mengonfirmasi alasan spesifik di balik dampak tersebut, Clive Sabel, PhD, seorang profesor di Universitas Aarhus dan peneliti utama dalam studi tersebut, memberikan spekulasi. 

Baca juga : Penelitian Coba Jernihkan Nabi Musa Dapat Membelah Laut Merah

“Kami berhipotesis bahwa hal itu ada hubungannya dengan kehidupan keluarga yang mapan, dan rasa aman di lingkungan tempat tinggal,” ujar Sabel.

“Kami pikir hal itu ada hubungannya dengan apa yang disebut ‘modal sosial’, atau manfaat yang diperoleh dari ikatan sosial yang kuat di lingkungan tempat tinggal atau sekolah yang membutuhkan waktu untuk terbentuk,” tambahnya.

Selain itu, Sabel juga mencatat tidak ada risiko yang berkurang ketika pindah dari lingkungan yang lebih miskin ke lingkungan yang lebih kaya, seperti yang mungkin diharapkan. 

Baca juga : Sering Menunda Makan Malam Tingkatkan Risiko Depresi pada Pekerja

“Sekali lagi, kami tidak tahu karena desain studi kami tidak memungkinkan kami menyelidiki ‘mengapa’, tetapi kami dapat berspekulasi. Pertama, relatif jarang terjadi perpindahan dari lingkungan miskin ke lingkungan kaya. Bagi mereka yang pindah, mereka dirugikan oleh efek perpindahan yang disebutkan di atas,” kata Sabel.

Psikiater pediatrik bersertifikat ganda di Hackensack University Medical Center, Ulrick Vieux, DO mengatakan penelitian lain juga menemukan pindah dari daerah miskin ke daerah yang lebih makmur dapat menjadi tantangan bagi anak-anak, terutama jika mereka merasa tidak pada tempatnya, mengingat asal usul mereka di daerah yang kurang makmur.

Cek Artikel:  Jelita, Jambu Kristal Manjur Cegah Anemia pada Ibu Hamil

“Mungkin ada pengucilan terhadap anak yang mungkin tidak memiliki fasilitas di rumah seperti teman sekelasnya. Mereka juga harus terbiasa dengan cara pengajaran yang baru, serta harus mengatasi ketertinggalan, seperti dari tim olahraga yang pernah mereka ikuti, atau klub sosial di sekolah lama mereka,” jelas Vieux.

Baca juga : Yuk Nikmati Mindfulness, Menikmati Taatp Momen Hidup

Mengapa Pindah Rumah Bisa Sulit bagi Anak-Anak?

Menurut penelitian, meskipun anak-anak mungkin pindah ke sistem sekolah yang lebih baik atau komunitas yang lebih kaya, mereka tetap berisiko mengalami depresi saat dewasa. Para peneliti mencatat, risiko ini kemungkinan tidak berkaitan dengan kepindahan itu sendiri, tetapi dengan lingkungan baru. 

Mereka juga mencatat mereka yang pindah lebih dari satu kali antara usia 10 dan 15 tahun memiliki kemungkinan 1,61 kali lebih besar untuk menderita depresi di masa dewasa dibandingkan dengan mereka yang tidak pindah.

Bagi banyak orangtua, temuan ini mungkin sulit dipahami, terutama jika mereka pindah ke tempat yang dapat dianggap sebagai lingkungan yang lebih baik. Tetapi menurut Brandy Schumann, PhD, LPC-S, seorang profesor klinis di Departemen Konseling di SMU, usia 10-15 tahun sangat penting untuk membangun kemandirian dan menjalin hubungan di luar rumah. Pindah selama periode ini dapat sangat mengganggu.

“Pada tahap ini, anak-anak menjadi lebih terlibat dalam kegiatan sosial, menjalin persahabatan, dan membangun koneksi,” kata Schumann. 

“Sering pindah tempat tinggal dapat mengganggu proses ini, yang menyebabkan ketidakstabilan dan terhambatnya perkembangan dalam membentuk hubungan yang stabil dan lama. Hilangnya sistem pendukung yang sudah dikenal dan tantangan untuk beradaptasi berulang kali dengan lingkungan baru dapat menyebabkan perasaan tidak aman dan terisolasi, yang dapat berlanjut hingga dewasa”.

Terlebih lagi, perubahan yang tiba-tiba bisa jadi menantang, terutama bagi mereka yang menginginkan kepastian, kata Schumann. Faktanya, ketika anak-anak mengalami perubahan besar seperti kepindahan, mereka tidak memiliki kendali atas apa yang terjadi dan itu bisa terasa memberatkan dan menciptakan rasa tidak stabil.

“Bagi orangtua yang mempertimbangkan untuk pindah ke sistem sekolah yang lebih baik, penting untuk mempertimbangkan manfaat sekolah yang lebih baik dengan potensi dampak psikologis kepindahan tersebut pada anak-anak,” ucap Schumann. 

“Konsentrasinya harus pada penciptaan rasa stabilitas dan dukungan selama masa transisi, terlepas dari keuntungan yang dirasakan dari lingkungan baru.”

Cek Artikel:  Ini Krusialnya Perilaku Hidup Rapi dan Sehat sejak Pagi

Mengatasi Beban Emosional Demi Pindah Rumah

Karena sejumlah keadaan, beberapa orangtua tidak punya pilihan selain pindah.

Schumann menganjurkan para orangtua untuk mengeksplorasi narasi yang mereka ceritakan kepada diri mereka sendiri dan apa artinya hal itu bagi pola asuh mereka. Dengan kata lain, sebagai orangtua tanyakan kepada diri sendiri apa yang dikatakan oleh kepindahan Anda saat ini.

Kata Schumann, memahami dan menangani perasaan tersebur dapat membantu mengurangi rasa bersalah. Selain itu, menyadari kepindahan dapat ditangani dengan cara yang lebih sehat dengan dukungan dan persiapan yang tepat untuk anak-anak dan juga dapat mengurangi kekhawatiran orangtua.

Di samping itu, Vieux mengatakan pastikan sebagai orangtua mengomunikasikan situasi tersebut kepada anak dan menjelaskan mengapa harus pindah. Bagikan aspek positif dari kepindahan tersebut dan dorong mereka untuk berbagi pendapat. 

Kemudian, dengarkan apa yang mereka katakan dan validasi perasaan mereka. Percakapan ini dapat membantu menghilangkan misteri kepindahan tersebut dan membuat anak setidaknya merasa mereka telah didengarkan.

Apabila sebagai orangtua ingin pindah karena sekolah yang lebih baik (untuk anak), Vieux menyarankan untuk meneliti sekolah dan lingkungan sekitar. “Kunjungi sekolah dan temui administrator dan konselor sekolah untuk mengukur seberapa besar dukungan yang ada untuk membantu siswa baru beradaptasi.”

Pertimbangkan juga untuk mengajak anak dan dorong mereka untuk bertanya. Apabila memungkinkan, kunjungi juga beberapa sekolah sebelum mengambil keputusan dan biarkan anak Anda memberikan masukan.

“Apabila anak merasa bahwa pemikiran mereka telah diperhitungkan, kepindahan tersebut mungkin akan menjadi pengalaman yang lebih positif,” kata Vieux.

Tips untuk Beradaptasi dengan Komunitas Baru

Meskipun wajar saja jika anak-anak memiliki berbagai emosi saat menyesuaikan diri dengan kepindahan, ada beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai orangtua untuk membantu mempermudah transisi tersebut. Berikut ini beberapa hal yang direkomendasikan oleh para profesional kesehatan mental.

1. Pertimbangkan waktunya

Schumann menekankan pentingnya pengaturan waktu saat mempersiapkan kepindahan. “Menghormati peristiwa penting dalam jadwal anak dan mengakhirinya dengan cara yang dapat diprediksi, seperti akhir tahun ajaran atau musim olahraga, dapat memberikan rasa tuntas,” catatnya.

“Pertimbangkan juga untuk pindah saat anak-anak dapat bergabung dengan kelompok atau aktivitas baru di titik awal yang wajar, seperti awal tahun ajaran atau awal musim olahraga,” imbuhnya. Ini dapat membantu mereka membangun hubungan baru dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.

Cek Artikel:  Waspadai Risiko Alergi dari Kasur dan Sofa

2. Terlibat dalam komunitas baru

“Terlibat dalam kegiatan komunitas, seperti olahraga, klub, dan acara sekolah dapat membantu anak-anak membangun koneksi baru,” kata Schumann. “Berjumpa tetangga baru dan berpartisipasi dalam acara gereja setempat juga dapat memfasilitasi proses ini,” tambahnya.

Ia juga mengatakan ciptakan kesempatan untuk interaksi sosial, seperti bermain bersama untuk anak-anak yang lebih muda atau pertemuan kecil atau kumpul-kumpul untuk anak praremaja dan remaja. Apabila mereka kesulitan memulai percakapan dengan orang baru, bantu mereka melatih keterampilan yang mereka butuhkan dengan bermain peran dalam skenario sosial di rumah terlebih dahulu.

Sementara Vieux menyarankan untuk memberikan contoh positif dengan menghadiri drama sekolah, acara olahraga, dan mendaftar menjadi wali kelas jika waktu memungkinkan.

“Anda akan bertemu dengan orangtua yang memiliki anak seusia dengan anak Anda dan membangun jaringan sosial baru untuk Anda dan anak Anda,” kata Vieux.

3. Dirikui sudut pandang anak Anda

“Ketika seorang anak sedang mengalami kesulitan, bukan saatnya untuk mencoba dan memperbaikinya atau menyelesaikannya, tetapi lebih baik menyampaikan pengertian sehingga mereka tidak sendirian dalam apa yang terasa seperti momen yang sangat sepi,” kata Schumann.

Ia menambahkan validasi perasaan mereka melalui mendengarkan akan menunjukkan rasa hormat terhadap rasa kehilangan anak Anda. Ini membantu mereka merasa didengarkan dan dipahami. 

“Kenali juga bahwa perubahan bisa menjadi bentuk kesedihan,” katanya. “Anak-anak butuh penyelesaian dan kepastian.”

Ia menyarankan untuk memfasilitasi prediktabilitas ini dengan menciptakan lingkungan yang mendukung dengan rutinitas yang konsisten dan kenyamanan yang familiar. Hal ini menumbuhkan rasa aman dan juga dapat membantu mengurangi risiko depresi.

4. Jaga jalur komunikasi tetap terbuka

Vieux mengatakan, “Pemeriksaan rutin dengan anak Anda akan menciptakan lingkungan komunikasi yang terbuka. Tanyakan bagaimana hari mereka di sekolah baru, termasuk apa yang mereka sukai dan tidak sukai”.

“Apabila anak Anda tampak cemas atau merasa terasing, pertimbangkan untuk menemui konselor tentang cara Anda dan sekolah dapat membantu anak Anda,” ucapnya.

Selain itu, jika anak Anda mengalami kesulitan di sekolah atau menunjukkan perubahan suasana hati dan perilaku, bicarakan dengan penyedia layanan kesehatan dan tanyakan apakah kesehatan mental anak Anda perlu dievaluasi.

“Dalam beberapa kasus, terapis kesehatan mental mungkin menjadi kunci untuk mengurangi risiko depresi atau kondisi kesehatan mental lainnya di kemudian hari,” pungkas Vieux. (Parents/Z-3)

Mungkin Anda Menyukai