TENTARA Nasional Indonesia memiliki sejarah panjang. Eksistensi TNI senapas dengan perjuangan rakyat melawan kolonialisme.
TNI berawal dari Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada 22 Agustus 1945. Semula BKR bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang yang didirikan di Jakarta. BKR adalah badan yang bertugas memelihara keamanan bersama rakyat dan badan negara yang baru terbentuk setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Dari BKR berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945. Selanjutnya menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI).
Presiden Soekarno menggabungkan TRI dengan badan-badan perjuangan rakyat. Puncaknya, sang Proklamator mengesahkan berdirinya Tentara Nasional Indonesia pada 3 Juli 1947.
TNI tampil ke depan sebagai tentara rakyat, tentara revolusi, juga tentara nasional selama perang kemerdekaan (1945-1949). Kiprah TNI sebagai alat pertahanan negara untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia serta menjaga NKRI sudah teruji dari dulu hingga kini.
Tentu tak habis pikir apabila sejumlah anggota TNI menganiaya rakyat sipil, yakni tujuh relawan pasangan capres-cawapres nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD, di depan Markas Kompi B Yonif Raider 408/Sbh, Jalan Perintis Kemerdekaan, Boyolali, Jawa Tengah, Sabtu (30/12).
Musababnya para prajurit TNI yang sedang berolahraga itu merasa terganggu dengan suara knalpot brong atau bising yang digunakan para relawan tersebut. Akibatnya, para relawan mengalami luka-luka. Lima orang menjalani rawat jalan dan dua lainnya harus mendapat perawatan intensif di rumah sakit.
Kepala Staf Bilangantan Darat (KSAD) Jenderal Maruli Simanjuntak terkesan memaklumi aksi pemukulan prajuritnya terhadap relawan paslon 03 sebagai aksi-reaksi. Para relawan, katanya, sudah diingatkan jangan menggunakan knalpot brong.
Terlebih lagi, lanjutnya, mereka mengendarai dalam keadaan mabuk. “Siapa yang bisa menghentikan mereka (pelaku konvoi dengan knalpot brong, red). Mau lapor polantas? Apakah ada tindak lanjut?” kata Maruli dalam sebuah wawancara eksklusif program Rosi yang ditayangkan di Youtube Kompas TV, Kamis (4/1). Menantu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan ini menegaskan insiden itu tidak terkait dengan netralitas TNI dalam Pemilu 2024.
Pernyataan KSAD patut disayangkan karena penindakan terhadap knalpot brong adalah wilayah Polri. Terkait pelaporan ke polantas apakah akan ditindaklanjuti seperti dikatakan KSAD, terkesan tidak memercayai institusi Bhayangkara. Padahal, sesama aparat harus saling memercayai dan menghargai. Apabilapun TNI mau menindak pengguna knalpot brong, bisa melakukan razia bersama dengan Polri.
Pengendara dengan knalpot brong bisa dijerat Undang-Undang Nomor 22 Pahamn 2009 tentang Lampau Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) Pasal 285. Pelaku dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu bulan atau denda paling banyak Rp250 ribu. Terkait suara knalpot diatur dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 7 Pahamn 2009. Di dalamnya disebutkan bahwa motor berkubikasi 80-175 cc, tingkat maksimal kebisingannya 80 dB, dan untuk motor di atas 175 cc maksimal bisingnya 83 dB.
Selain di Boyolali, kasus serupa terjadi di Manado, Sulawesi Utara, Jumat (5/12). Sejumlah oknum TNI memukuli pengiring jenazah yang menggunakan sepeda motor berknalpot brong.
Tak kurang mirisnya ialah kasus sejumlah oknum TNI yang menjadikan Tempat simpan Pengembalian dan Pengiriman (Balkir) Pusat Zeni TNI Bilangantan Darat di Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sebagai tempat penyimpanan ratusan kendaraan bermotor hasil curian, dengan perincian 215 sepeda motor dan 49 mobil.
Dugaan tindak pidana pencurian ratusan kendaraan bermotor itu melibatkan dua anggota TNI, yaitu AS yang berpangkat kopral dua dan PKP dengan pangkat mayor.
Kasus penyimpanan kendaraan bodong yang rencananya dijual ke Timor Timur itu membuat publik bertanya-tanya, bagaimana bisa barang curian yang jumlahnya banyak itu bisa masuk ke area militer.
Dari kasus-kasus di atas, mendesak perlunya pendisiplinan prajurit. Selain harus memiliki kedisiplinan tinggi, prajurit TNI juga mesti menaati etika dan hukum. TNI memiliki delapan wajib TNI, salah satunya tidak sekali-kali menakuti dan menyakiti hati rakyat.
Prajurit TNI bukan serdadu liar yang menerapkan hukum rimba. Berdasarkan Pasal 2 huruf d UU No 34 Pahamn 2004 tentang TNI, jati diri TNI adalah tentara profesional, yakni tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, serta ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi.
Prajurit TNI adalah warga negara pilihan. “Kita masuk dalam tentara karena keinsafan jiwa dan sedia berkorban bagi bangsa dan negara,” kata Panglima Besar TKR Jenderal Soedirman. Tabik!