Seratus Tahun Pram, Apakah Perempuan Lagi dalam Jerat yang Sama

‘RASANYA Saya sudah tak berjiwa Tengah, seperti selembar wayang di tangan ki dalang’, kata Sanikem, salah satu Watak Perempuan dalam novel Bumi Sosok karya Pramoedya Ananta Toer.

Februari 2025 menandai 100 tahun Kelahiran Pramoedya Ananta Toer, seorang penulis besar yang telah meninggalkan jejak mendalam dalam sejarah sastra Indonesia. Pram, begitu ia Normal dipanggil, bukan sekadar penulis yang piawai merangkai kisah, melainkan seorang pembongkar realitas. Ia menguak ketimpangan yang menyelimuti masyarakat dengan kemampuan dan keberanian yang tak banyak dimiliki oleh penulis lain.

Seratus tahun setelah kelahirannya, gagasan-gagasan Pram tetap relevan dibicarakan. Karya-karyanya Kagak hanya bercerita tentang Sosok dan kehidupan, tetapi juga tentang bagaimana sistem sosial Pandai menjerat mereka yang berada di lapisan terbawah. Salah satu Grup yang paling sering ia soroti ialah kaum Perempuan. Mereka bahkan harus berjuang menghadapi tiga bentuk ketidakadilan sekaligus: rasialisme, klasisme, dan seksisme. Dalam beberapa novelnya, mereka digambarkan sebagai korban dari aturan sosial yang curang.

Pram lahir pada 6 Februari 1925 di Blora, sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Dari sana, ia tumbuh menjadi sosok yang peka terhadap ketidakadilan dan menjadikan tulisan sebagai media perlawanan. Tetapi, keberaniannya berbicara tak selalu berbuah manis. Ia beberapa kali ‘dibuang’ ke penjara oleh rezim yang sedang memerintah, terutama karena menyuarakan pikiran dan keyakinannya. Tetapi, penjara tak pernah Betul-Betul membungkamnya. Ia tetap menulis, tetap bercerita, dan tetap menghidupkan Bunyi mereka yang terpinggirkan.

Karya-karya Pram telah melampaui batas negara. Ia dikenal dan dihormati di berbagai belahan dunia. Pada 2005, ia menjadi satu-satunya tokoh Indonesia yang masuk daftar 100 intelektual terkemuka dunia versi majalah Inggris, Prospect. Pada 2000, ia menerima penghargaan Fukuoka Asian Culture Grand Prize dari Jepang dan Chevalier de l’Ordre des Arts et des Lettres dari pemerintah Prancis. Ia juga dianugerahi PEN Freedom to Write Award pada 1992 serta Ramon Magsaysay Award Demi jurnalisme, sastra, dan komunikasi kreatif pada 1995.

 

JAWA MASA KOLONIAL

Cek Artikel:  Muhammadiyah, Gagasan Kemajuan, dan Pemimpin Perubahan

Pramoedya Ananta Toer dengan jeli menggambarkan ketimpangan sosial di Jawa pada masa kolonial. Kala itu, masyarakat terbagi ke dalam lapisan-lapisan yang kaku: kaum pribumi yang dipandang rendah, para priai yang bertindak sebagai penguasa lokal, dan penjajah Belanda yang berada di puncak hierarki. Dalam tatanan itu, Perempuan pribumi menempati posisi yang paling rentan. Mereka tak hanya menghadapi penjajahan dari bangsa asing, tetapi juga dari sistem feodal yang melekat erat pada masyarakatnya sendiri.

Dalam masyarakat tradisional era kolonial, Perempuan pribumi lebih sering dilihat sebagai komoditas, alat Demi memperbaiki status sosial keluarga, atau sekadar objek pemuas nafsu. Keberadaan mereka Pandai dikendalikan oleh Orang Sepuh, suami, atau bangsawan yang merasa berhak menentukan jalan hidup mereka. Tradisi dan patriarki yang sudah mengakar dalam masyarakat semakin memperkuat ketidakberdayaan mereka. Situasi itu menjadikan Perempuan sebagai pihak yang paling mudah diperalat demi kehormatan keluarga atau ambisi kekuasaan.

Dalam beberapa novelnya, Pram menguraikan bagaimana tiga jerat besar, Adalah rasialisme, klasisme, dan seksisme, membelit kehidupan Perempuan di Rendah pemerintahan penjajah Eropa. Ia menunjukkan bahwa penindasan terhadap Perempuan bukan hanya persoalan ketidaksetaraan gender, melainkan juga berkaitan erat dengan ketimpangan ras dan kelas sosial yang membentuk struktur masyarakat Jawa waktu itu.

Rasialisme ialah jerat Istimewa. Dalam tatanan kolonial, Corak kulit dan garis keturunan menentukan derajat seseorang di mata hukum dan masyarakat. Perempuan pribumi sering kali dianggap lebih rendah dari Perempuan keturunan Eropa atau Tionghoa. Mereka Pandai diperlakukan sesuka hati tanpa Terdapat konsekuensi yang berarti.

Dalam novel Bumi Sosok, misalnya, seorang gadis belia ‘dijual’ oleh ayahnya kepada seorang lelaki Belanda bukan semata-mata karena Unsur ekonomi, melainkan juga karena keyakinan bahwa ‘diambil orang Eropa’ Pandai meningkatkan derajat keluarga. Tetapi, kenyataannya, gadis itu hanya menjadi selir tanpa hak: ia hidup dalam bayang-bayang rasialisme yang mengikis harga dirinya sedikit demi sedikit.

Klasisme juga menjadi jerat yang kuat. Status sosial menentukan segalanya dan Perempuan sering kali dijadikan alat Demi meninggikan Derajat keluarga secara instan. Dalam masyarakat feodal, menikahkan anak Perempuan dengan orang yang Mempunyai pangkat lebih tinggi dianggap sebagai langkah cerdas terlepas dari apakah si Perempuan menghendaki pernikahan itu atau Kagak. Praktik pernikahan ‘paksa’ antara para bangsawan lokal dan Perempuan desa cukup Biasa terjadi (Kartodirjo, 2001).

Cek Artikel:  Mengapa Nama Ibu Tak Tertulis di Ijazah

Dalam novel Gadis Pantai, Terdapat kisah seorang Perempuan dari keluarga miskin yang ‘diberikan’ kepada bangsawan hanya Demi kemudian disingkirkan begitu saja ketika Kagak Tengah dibutuhkan. Mereka tak lebih dari barang yang Pandai diganti, ditinggalkan tanpa hak atas anak mereka sendiri, tanpa Bunyi Demi membela diri.

Seksisme menjadi dasar dari seluruh Pendayagunaan yang mereka alami. Masyarakat Menyaksikan Perempuan hanya sebagai pelengkap: penurut, mengurus rumah tangga, melahirkan anak, dan tunduk kepada Pria. Dalam beberapa novel Pram, banyak tokoh Perempuan yang Kagak punya pilihan atas tubuh dan hidup mereka sendiri. Mereka dinikahkan, dijual, atau bahkan sekadar dijadikan ‘istri percobaan’ yang Pandai dicampakkan Bilaman saja. Perempuan Kagak diberi ruang Demi berpikir, berbicara, atau menentukan nasib mereka sendiri.

Jerat-jerat di atas dapat mewariskan ketidakberdayaan. Mereka yang tak punya kuasa akan mudah menerima ideologi si penindas tanpa menyadari ketidakadilan yang sebetulnya sedang berlangsung. Paulo Freire (1985) menyebut kondisi itu sebagai culture of silence yang mana kaum tertindas, termasuk Perempuan dalam konteks novel-novel Pram, seperti dipaksa bungkam dan menganggap inferioritas mereka sebagai sesuatu yang wajar hingga akhirnya kehilangan kesadaran Demi melawan.

 

KEBANGKITAN Perempuan

Meski dibelenggu oleh rasialisme, klasisme, dan seksisme, Perempuan dalam karya-karya Pramoedya Ananta Toer Kagak selalu menyerah pada nasib. Terdapat yang memberontak dalam Hening, Terdapat yang menentang secara terang-terangan. Pram dengan saksama menangkap berbagai bentuk perlawanan itu, dari sekadar mempertahankan harga diri, menolak tunduk pada sistem yang menindas, hingga menggunakan kecerdasan sebagai senjata Demi Bangun menghadapi kesewenang-wenangan.

Dalam salah satu kisahnya, seorang gadis pribumi yang dijual oleh keluarganya Demi menjadi selir seorang pria Belanda awalnya hanya Pandai pasrah menerima nasib. Tetapi, seiring waktu, ia mulai Menyaksikan Kesempatan Demi merebut kembali kendali atas hidupnya. Ia belajar, berpikir, dan menyadari bahwa pendidikan ialah jalan menuju pembebasan. Perlahan ia menemukan keberanian Demi melawan, bukan dengan senjata atau amarah, melainkan dengan kecerdasan yang membuatnya tak Tengah Pandai direndahkan.

Cek Artikel:  PRT dalam Perbudakan DPR Menghambat Penyelesaian

Pram sering menampilkan Perempuan seperti itu dalam novelnya, Adalah tokoh-tokoh yang meskipun berada dalam posisi yang serbaterpojok, tetapi tetap mencari celah Demi keluar dari jeratan. Mereka sadar bahwa sistem sosial yang Terdapat Kagak memberi mereka pilihan dan menolak Demi sekadar menjadi korban. Terdapat yang melawan dengan membangun kesadaran dalam dirinya, Terdapat yang nekat mengambil risiko, Terdapat pula yang memilih Demi bertahan dengan kepala tegak. Mereka menolak tunduk pada nasib yang dipaksakan.

Perlawanan itu mungkin Kagak selalu berujung pada kemenangan besar. Dalam banyak kasus, Perempuan yang menolak tunduk tetap harus menanggung konsekuensi yang berat. Tetapi, bukan itu yang menjadi inti dari cerita mereka, melainkan keberanian Demi melangkah, sekecil apa pun langkah itu. Pram seolah Mau mengatakan bahwa Cita-cita selalu Terdapat. Bahwa meskipun sistem sosial yang menindas terasa begitu kokoh, selalu Terdapat Langkah Demi menggerogotinya dari dalam.

Peringatan 100 tahun Pramoedya Ananta Toer bukan sekadar mengenang perjalanan hidupnya, melainkan juga merenungkan warisan pemikirannya. Lewat kisah-kisah Perempuan yang berani Bangun, ia mengajarkan kita bahwa kezaliman Kagak harus diterima sebagai takdir. Bahwa perlawanan, sekecil apa pun, tetap Mempunyai Maksud. Bahwa Bunyi Perempuan, yang sekian lelet dibungkam, selalu punya kekuatan Demi mengubah dunia.

Karya-karya pascakolonial, seperti yang ditulis oleh Pram, meninjau ulang secara kritis berbagai ragam perlawanan terhadap sejarah kolonialisme serta sistem neokolonial yang Lagi akan Maju Terdapat. Pram berupaya menyoroti Interaksi yang kompleks antara penjajah dan yang terjajah dengan menekankan bagaimana kekuasaan hegemonik digunakan Demi menekan dan mengendalikan kaum terjajah. Ia, pada akhirnya, Mau menghidupkan gagasan tentang keadilan sosial, emansipasi, dan demokrasi.

Kini, 100 tahun setelah Kelahiran Pram, pertanyaan yang sama Lagi menggema: apakah jerat-jerat yang menindas kaum Perempuan dalam karyanya sudah Betul-Betul lepas? Ataukah mereka Lagi terjebak dalam pusaran rasialisme, klasisme, dan seksisme yang Maju berulang dalam Paras-Paras baru?

 

Mungkin Anda Menyukai