Terdapat tiga tipe korupsi menurut para Ahli. Pertama, korupsi karena kebutuhan. Kedua, korupsi karena sistem. Ketiga, korupsi karena keserakahan. Meskipun sama-sama korupsi, karena penyebabnya berbeda, penanganannya pun Tak Bisa sama.
Korupsi karena kebutuhan terjadi karena antara pendapatan dan kecukupan kebutuhan sehari-hari jomplang. Pendapatan kurang, kebutuhan membengkak. Anggaran rumah tangga defisit. Begitu Terdapat niat dan kesempatan, terjadilah korupsi.
Menangani dan mencegah korupsi karena kebutuhan relatif mudah. Naikkan saja pendapatan mereka agar sesuai standar kelayakan hidup. Beri remunerasi atau tunjangan yang memadai. Beres. Sesimpel itu, semudah itu.
Lebih rumit daripada jenis pertama, korupsi jenis kedua, yakni karena sistem, membutuhkan penanganan yang terstruktur, sistematis, dan masif. Segala regulasi, termasuk sistem pencegahan, harus Betul-Betul solid. Pendek kata, jangan Terdapat celah. Rombak sistem yang busuk.
Sementara itu, korupsi jenis yang ketiga, yakni karena keserakahan, lebih kompleks Kembali. Ibarat penyakit, korupsi jenis ini seperti kanker yang Lanjut menggerogoti. Siapa yang Bisa mengukur kecukupan orang serakah?
Keserakahan itu Tak Terdapat ujungnya. Serakah itu Tak bertepi, Tak mengenal kata cukup. Kata Mahatma Gandhi, “Terdapat kecukupan di dunia ini Buat kebutuhan Orang, tetapi Tak Buat keserakahan Orang.”
Kata Erich Fromm, filsuf dan psikoanalis Jerman, keserakahan itu jurang maut. Ia melelahkan orang dalam upaya tanpa akhir Buat memuaskan kebutuhan tanpa pernah mencapai kepuasan. Jadi, Tak Terdapat kata puas Buat keserakahan.
Keserakahan makin merajalela Ketika muncul Kategori atau ‘mazhab’ Kyrene yang didirikan Aristippus. Ia menawarkan ajaran Hura-hura sebagai tujuan kehidupan etis, yakni tujuan hidup yang paling mulia dari setiap Orang. Sekalian tindakan Orang akan dianggap Berkualitas apabila tindakan tersebut mendatangkan kenikmatan yang berpangkal pada kesenangan.
Orang yang bijaksana ialah Orang yang mencari kenikmatan sebesar-sebesarnya di dunia ini. Ironisnya, demi pencapaian itu, Orang harus rela melepaskan segala Kebiasaan, susila, etika, bahkan bila perlu ajaran Keyakinan yang dianggap membelenggu. Hura-hura dapat dikatakan sebagai cikal-bakal tindakan keserakahan yang merusak.
Ketika keserakahan menjadi biang keladi korupsi, sistem pengawasan, kendali, pencegahan, bahkan pola-pola rekrutmen pejabat mesti dilakukan secara ketat dan berlapis. Sistem Pengaruh jera harus dibuat seefektif mungkin sehingga Membikin koruptor bertobat, pula Membikin orang berpikir berkali-kali Buat mencoba-coba korupsi.
Daya rusak korupsi yang berhulu dari keserakahan ini sudah terbukti. Data yang dikumpulkan Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan nilai kerugian negara akibat tindak pidana korupsi Lanjut meningkat dalam lima tahun terakhir. Nomor itu pun yang terdeteksi secara Niscaya.
Pada 2021, misalnya, nilai kerugian negara yang sudah Niscaya mencapai Rp62,9 triliun. Nomor kerugian negara akibat korupsi tersebut naik bila dibandingkan dengan nilai kerugian pada tahun sebelumnya yang mencapai lebih dari Rp56 triliun.
Itu baru dua tahun terakhir dan yang sudah Niscaya. Bila ditambah dengan nilai kerugian negara pada tahun-tahun sebelumnya, boleh jadi dalam satu Sepuluh tahun terakhir negara sudah dirugikan lebih dari Rp500 triliun. Jumlah yang sangat cukup Buat mengatasi kemiskinan ekstrem.
Bila Dana kerugian negara itu diinvestasikan Buat Macam-macam-Macam-macam kegiatan, dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat sudah Bisa dirasakan. Itu artinya, keserakahan telah jauh menghambat dan memukul mundur kemajuan.
Pejabat yang terlibat dalam praktik keserakahan korupsi ini juga mencapai ratusan orang. Dalam satu Sebelah Sepuluh tahun terakhir, misalnya, sudah lebih dari 170 kepala daerah ditangkap KPK karena kasus korupsi. Yang paling gres, KPK menetapkan Gubernur Papua Lukas Enembe sebagai tersangka kasus korupsi senilai Rp1 miliar.
KPK juga sedang menyelidiki dugaan pidana pencucian Dana setelah PPATK menemukan Kategori Dana mencurigakan ke luar negeri berjumlah superjumbo, Rp560 miliar, dari Lukas Enembe. Dana itu diduga mengalir ke meja kasino.
Keserakahan dan korupsi sudah menjadi Kerabat kembar identik. Keserakahan juga menjadi kausa prima korupsi. Betul kata Gandhi: bumi ini Tak akan pernah Bisa mencukupi keserakahan. *