Sepuh sebelum Kaya

TIGA tahun lalu, Benjamin Mark Bland menulis buku biografi politik berjudul Man of Contradictions: Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia. Di salah satu pembahasannya, mantan Direktur Program Asia Tenggara di Lowy Institute itu menulis kalimat yang menjadi populer di kalangan ekonom kita, “Indonesia always disappoints. It disappoints the optimists and it disappoints the pesimists too.”

Kalimat itu artinya, “Indonesia selalu mengecewakan. Mengecewakan yang optimistis, juga mengecewakan yang pesimistis.” Mereka yang pesimistis kecewa karena ramalan mereka salah. Kaum pesimis kerap menujum bahwa dalam hitungan satu dekade sejak badai krisis 1998, Indonesia akan runtuh. Konkretnya, dua setengah dekade kemudian, Indonesia tetap eksis dengan perekonomian yang terus berkembang.

Terdapatpun kekecewaan kaum optimis dipicu oleh harapan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai dua digit yang tidak kunjung terwujud. Jangankan tumbuh dua digit, bisa mendekati rata-rata pertumbuhan ekonomi 7% per tahun sebagaimana janji awal tiap rezim saja masih jauh panggang dari api. Bahkan, makin ke sini, puncak pertumbuhan ekonomi bergeser dari 7% ke angka rata-rata 5% per tahun.

Repotnya lagi, capaian pertumbuhan ekonomi di kisaran 5% itu kerap dianggap sudah ‘lumayan’ oleh pemerintah. Kalimat yang kerap digunakan, “Kita patut bersyukur, di tengah negara lain susah tumbuh, ekonomi kita masih bisa bergerak di angka pertumbuhan lebih dari 5%.”

Cek Artikel:  Menyelamatkan Pesantren

Bagi sebagian orang, kalimat tersebut bisa dimaknai cukup puas atas capaian yang diraih. Padahal, bagi Indonesia yang bercita-cita menjadi negara maju, pertumbuhan 5% jelas tidak cukup. Letihan itu tidak akan bisa menolong kita keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah menuju negara berpendapatan tinggi.

Berkali-kali para analis mengingatkan bahwa Indonesia akan sulit menghindari middle income trap bila tidak ada upaya radikal untuk menciptakan daya ungkit pertumbuhan. Hingga saat ini, Indonesia sudah mengarungi tiga dekade menjadi negara berpenghasilan menengah. Bila itu terus terjadi, bisa-bisa negara ini ‘tua sebelum kaya’.

Dalam banyak mimbar pidato, para pejabat di negeri ini kerap mengapungkan harapan terhadap bonus demografi. Usia produktif yang melimpah di Indonesia itu akan terjadi di 2030. Pada tahun itu, hampir 70% penduduk Indonesia merupakan kelompok usia produktif (15-64 tahun), yang mampu menghasilkan banyak hal dan punya potensi besar mendongkrak negeri ini menjadi negara berpendapatan tinggi.

Cek Artikel:  Sebelah Triliun

Tapi, hari ini, tujuh tahun menjelang puncak bonus demografi, kita belum menemukan peta jalan yang jelas bagaimana memanfaatkan usia produktif itu untuk keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah. Padahal, bonus demografi ini hanya akan bertahan hingga 2050. Setelah itu, secara perlahan tapi pasti, kita masuk ke fase aging population atau era penduduk berusia tua.

Alhasil, kita cuma punya durasi 27 tahun untuk benar-benar memanfaatkan bonus demografi. Tapi, proses meratakan jalan menuju titik itu mestinya sudah gamblang sejak hari ini. Kalau gagal dirumuskan hari ini, jebakan negara berpendapatan menengah akan berlanjut ke episode negeri yang tua sebelum kaya.

Kiranya Jepang dan Korea Selatan bisa menjadi inspirasi bagaimana mereka kini berada dalam situasi ‘menuju tua, tapi sudah kaya’. Kedua negara itu mampu memanfaatkan ruang melimpahnya kelompok usia produktif mereka secara maksimal dua dekade lalu. Hasilnya, saat memasuki era aging population, rata-rata pendapatan per kapita penduduk Jepang sudah di US$33 ribu, sedangkan Korea Selatan terpaut tipis di US$32 ribu.

Cek Artikel:  Keadilan Antargenerasi

Sementara itu, Indonesia yang baru saja ditetapkan oleh Bank Dunia sebagai negara kelas menengah atas, pendapatan per kapitanya baru mencapai US$4,5 ribu, alias seperdelapan dari Jepang dan Korsel. Bila ekonomi kita tumbuh terus sampai 2050, dengan kondisi pertumbuhan ekonomi 5% sampai 6%, pendapatan per kapita kita masih di bawah US$30 ribu.

Bila negeri ini hendak keluar dari kemelut menjadi tua sebelum kaya, janji mengembalikan rata-rata pertumbuhan ekonomi 7% seperti sebelum saat krisis 1998 harus segera ditunaikan. Berbangga atas stempel ‘negara berpenghasilan menengah atas’ yang diberikan Bank Dunia sah-sah saja.

Tapi, menepuk dada atas capaian itu hanya akan melanggengkan kita dalam kubangan yang sama bertahun-bertahun. Lewat, tahu-tahu negeri ini sudah ‘renta sebelum sejahtera’.

Saya jadi ingat sebuah novel berjudul Lelaki Sepuh dan Laut karya sastrawan peraih Nobel, Ernest Hemingway, yang mengisahkan nelayan tua miskin bernama Santiago yang dijuluki salao atau ‘yang paling sial di antara yang sial’. Nelayan 85 tahun itu tetap melaut. Cita-citanya tidak pernah pudar tahun demi tahun hingga ia tua dalam kemiskinan dan kesepian.

Mungkin Anda Menyukai