Pengajar hukum pemilu di Universitas Indonesia Titi Anggraini menemukan karakter khas pada Pilkada 2024, yaitu terjadi sentralisasi pencalonan dan hegemoni pengurus pusat partai politik melalui rekomendasi dari DPP.
Ini mengakibatkan banyak ketidakpuasan di sejumlah daerah akibat putusnya aspirasi pencalonan, salah satunya tercermin dalam Pilkada Jakarta 2024.
“Di Jakarta ada Anies Baswedan, dan Ahok. Kok yang dicalonkan lain. Apalagi diimpor dari gubernur provinsi sebelah. Nah, itu yang menjadi problem,” kata Titi, dalam dalam Webinar: Kotak Nihil untuk Segala Daerah. Mungkinkah?, hari ini.
Baca juga : Perpanjangan Pendaftaran Ditutup, Pilkada Calon Tunggal di 41 Daerah
Terputusnya aspirasi dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat, dan menimbulkan ekspresi ketidakpuasan dengan adanya gerakan mencoblos semua kandidat.
“Lewat, di daerah-daerah calon tunggal ada gerakan tandingan mendaftarkan kotak kosong setelah calon tunggal didaftarkan. Misalnya di Kota Pangkalpinang, Asahan, Gresik, serta beberapa daerah lain,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa ketidakpuasan tersebut turut membuat suara kosong, kotak kosong, atau gerakan tidak memilih calon tunggal menjadi wacana yang dibahas di ruang publik.
“Pembahasan blank vote, suara kosong, kotak kosong, atau none of the above atau enggak pilih semuanya, itu menarik untuk dibincangkan karena ini soal formalisasi ekspresi politik yang berbeda bahwa tidak semua ekspresi politik itu dapat diwadahi oleh pasangan calon yang ada di kotak suara,” kata Titi
Oleh sebab itu, Titi merekomendasikan adanya evaluasi atas sentralisasi pencalonan kepala dan wakil kepala daerah. Selain itu, ia menyarankan agar otonomi pencalonan diberikan kepada pengurus partai di daerah, bukan seperti saat ini yang terpusat di DPP. (Try/P-2)