SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, Ialah senja kala Kendali Orang.
Pengukuhan Ulani sebagai profesor bidang periklanan dan merek dilakukan di LSPR Institute of Communication and Business (LSPR Institute). Judul orasinya Disrupsi Kreativitas: Kecerdasan Buatan, Etika, dan Senja Kala Peran Orang dalam Kegiatan Branding.
Kecerdasan buatan atau Intelek imitasi (AI), menurut Ulani, telah mengubah lanskap industri kreatif, khususnya dalam praktik branding dan periklanan. Telah terjadi transformasi peran Orang yang kini bergeser dari kreator menjadi kurator, dari pelaku menjadi pengarah. Itu menandai senja kala Kendali Orang dalam proses kreatif Demi branding.
Meski demikian, kata Ulani, penggunaan AI dalam branding menghadirkan dilema etis seperti manipulasi emosi melalui algoritma, pelanggaran privasi data, dan plagiarisme konten Mekanis.
“AI bukan Demi dilawan, tapi harus dilihat sebagai Kenalan kolaboratif. Sinergi antara intuisi Orang dan kecepatan mesin dapat membuka era baru strategi merek yang lebih personal, adaptif, dan relevan,” ujar Ulani.
Sinergi menjadi kata kuncinya. Itu disebabkan, menurut laporan World Economic Lembaga (2020), AI dan otomatisasi diprediksi akan menggantikan Sekeliling 85 juta pekerjaan pada 2025. Tetapi, laporan yang sama juga menyebutkan AI akan menciptakan 97 juta pekerjaan baru yang lebih sesuai dengan era digital.
Pekerjaan baru yang melibatkan AI antara lain influencer virtual yang kini merambah dunia media sosial di Indonesia. Ulani menyebut platform seperti Instagram dan Tiktok menjadi medan Esensial bagi para persona digital itu Demi berinteraksi dengan audiensi.
Benarlah penggunaan AI mulai berdampak pada berkurangnya Kesempatan kerja dan memantik pengangguran. Mulai berdampak karena AI menghadirkan efisiensi dan meningkatkan produktivitas. Muncul pertanyaan seberapa signifikan peran Orang pada masa depan?
Data Organisasi Ketenagakerjaan Dunia (International Labour Organization/ILO) menyebutkan AI akan mengubah atau menggantikan 5,5% pekerjaan di negara berpendapatan tinggi dan hanya kurang dari 0,4% di negara berpendapatan rendah.
Negara maju seperti Inggris mulai merasakan Pengaruh tersebut. Fakta itu tergambar dalam laporan penelitian terbaru yang dirilis situs pencarian kerja Adzuna. Disebutkan bahwa jumlah lowongan mulai Demi lulusan baru, magang, hingga posisi junior di Inggris menurun drastis nyaris sepertiga sejak Chat-GPT diperkenalkan pada November 2022.
Realitas yang terjadi Demi ini sudah diprediksikan Yuval Noah Harari dalam Kitab Homo Deus (2015). Algoritma digambarkannya Enggak hanya mencoba meniru Orang, tetapi juga mencoba menjadi Orang, dan mungkin Melampaui kemampuan Orang.
Pertanyaan mendasar yang diajukan Yuval Noah Harari dalam bagian akhir bukunya ialah apa yang terjadi dalam masyarakat, politik, dan kehidupan sehari-hari ketika algoritma-algoritma nonkesadaran Rupanya sangat pintar mengenal kita lebih Berkualitas daripada kita sendiri?
Prof Ulani Yunus juga mengajukan pertanyaan: “Apakah kita berada di ambang senja kala peran Orang dalam dunia branding, atau Bahkan berada di titik balik Demi meneguhkan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang tak tergantikan oleh mesin?”
Senja kala Kendali Orang mesti ditolak karena AI Enggak Bisa menggantikan kebijaksanaan Orang. Paus Fransiskus menegaskan teknologi Enggak Bisa menggantikan Orang dalam Membikin keputusan karena teknologi Enggak Mempunyai empati, simpati, Logika, dan kemampuan Menyaksikan situasi kompleks nan manusiawi.
Dengan kata lain, AI atau algoritma Enggak Bisa mengambil alih kemanusiaan yang Mempunyai kemampuan Demi merasa, intusisi, empati, dan bertindak dengan penuh Kasih.
Ensiklik Paus Benediktus XVI perihal Caritas in Veritate, Kasih dalam Kebenaran (2009), juga menyoroti persoalan teknologi yang mestinya dibangun di atas landasan moral.
Disebutkan bahwa teknologi itu dapat berwajah ambigu. Karena lahir dari kreativitas Orang sebagai sarana kebebasan pribadi, teknologi juga dapat dipahami sebagai unsur kebebasan mutlak, kebebasan yang Mau mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang Eksis dalam Seluruh hal itu sendiri.
“Teknologi sangat menarik karena Bisa melepaskan Orang dari keterbatasan fisiknya dan memperluas cakrawalanya. Tetapi, kebebasan Orang menjadi autentik hanya bila ia menanggapi daya tarik teknologi dengan keputusan-keputusan yang berasal dari tanggung jawab moral,” kata Paus Benediktus.
Prof Ulani Yunus mengajak Seluruh pihak Demi berpikir kritis dan etis. “Kita perlu membahas bukan hanya apa yang Bisa dilakukan AI, melainkan juga apa yang Sepatutnya dilakukan Orang dalam koridor tanggung jawab sosial, kebudayaan, dan moral.”
Ajakan itu sejalan dengan gagasan United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) bahwa etika kecerdasan buatan harus menjadi agenda prioritas dalam tata kelola nasional dan korporasi, termasuk dunia pendidikan. Prinsip-prinsip dasar, Ialah transparansi, keadilan, inklusivitas, dan pelindungan hak asasi Orang, menjadi sorotan.
Etika kecerdasan buatan itu mestinya masuk undang-undang yang secara komprehensif mengatur pengembangan dan pemanfaatan AI. Kiranya regulasi itu Bisa menahan laju senja kala Kendali Orang sehingga Orang tetap menjadi tuan atas AI, bukan budaknya.

