Seni Mendengarkan di Era Digital

Seni Mendengarkan di Era Digital
(Dokpri)

DI tengah dunia yang semakin sibuk dan bising, kemampuan Buat mendengarkan menjadi keterampilan yang makin langka dan sering kali diabaikan. Kita hidup di era yang dipenuhi oleh Bunyi, Tetapi minim dengan kehadiran yang utuh. Banyak orang berbicara setiap hari, tetapi hanya sedikit yang Betul-Betul mendengarkan dengan empati. 

Ironisnya, kemajuan teknologi yang Sebaiknya mempermudah komunikasi Malah memperburuk kualitasnya. Insan kini semakin sering terhubung secara virtual, Tetapi Malah semakin terputus secara emosional dan batiniah.

Fenomena ini terlihat Jernih dalam kehidupan sehari-hari. Di meja makan, Member keluarga berkumpul tetapi masing-masing sibuk dengan gawai. Dalam ruang Obrolan publik, seperti media sosial, orang saling berdebat tanpa menunjukkan niat Buat saling memahami. Komunikasi hanya menjadi ajang unjuk argumen, bukan upaya membangun pemahaman. 

Data dari Kominfo (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 80% interaksi di media sosial Indonesia mengandung komentar negatif atau provokatif, bukan dialog yang sehat. Ini mencerminkan bagaimana kita semakin gagal menciptakan ruang komunikasi yang damai dan konstruktif.

Masalah yang sama juga muncul dalam dinamika pemerintahan, terutama ketika menyangkut isu ijazah presiden yang tak kunjung usai dibahas publik. Alih-alih meredam polemik dengan komunikasi yang jernih dan terbuka, respons yang muncul cenderung defensif, bahkan menutup ruang dialog. Bukan sedikit pejabat atau pendukung yang Malah memperkeruh suasana dengan pernyataan yang meremehkan pertanyaan publik. Dalam ruang demokrasi yang sehat, pertanyaan Anggota semestinya dijawab dengan data dan kesabaran, bukan dengan kemarahan atau pelintiran opini.

Sayangnya, yang terjadi Malah sebaliknya. Isu ini semakin menggila di media sosial dan menimbulkan polarisasi. Ketimbang memperlihatkan itikad Buat mendengarkan keresahan Anggota, para elite Malah terjebak dalam pertarungan narasi yang melelahkan. Situasi ini memperlihatkan bahwa di tengah krisis kepercayaan, yang dibutuhkan bukanlah pertunjukan Penjelasan, tetapi kerendahan hati Buat menyimak aspirasi rakyat.

Cek Artikel:  Belajar dari Kesalahan

Kegaduhan media sosial dan krisis kepekaan

Kegaduhan di media sosial kini telah menjadi gejala sosial yang nyaris rutin terjadi. Setiap hari, kita disuguhkan perdebatan yang kerap kali Bukan mengarah pada dialog, melainkan hanya memperuncing polarisasi. Kasus terbaru seperti selebritas yang saling sindir, politisi yang melempar narasi sensasional, atau pemutarbalikan konteks video yang viral, adalah Teladan bagaimana media sosial lebih mendorong amarah ketimbang empati. 

Dalam ruang digital yang Sebaiknya Dapat menjadi tempat saling mendengar, Malah tercipta atmosfer saling serang. Fitur komentar dan retweet yang Segera telah mengubah banyak orang menjadi hakim instan atas potongan informasi yang belum utuh. Ketika satu isu mencuat, warganet sering kali langsung bereaksi, tanpa mengendapkan informasi secara jernih. Yang terjadi bukan Obrolan sehat, melainkan keributan massal. 

Bahkan Bukan jarang, akibat dari kegaduhan ini, seseorang kehilangan pekerjaan, nama Bagus, atau bahkan mengalami tekanan mental. Kekuatan Bunyi publik yang tak terkendali, Kalau Bukan diimbangi dengan budaya menyimak dan menahan diri, hanya akan menciptakan kekacauan kolektif yang melelahkan dan merusak tatanan sosial.

Di sisi lain, banyak tokoh publik atau pemimpin tampil seolah-olah mendengarkan rakyat, padahal hanya sedang Membikin konten. Pertemuan dengan Anggota direkam dan disebarluaskan dengan narasi yang dibentuk secara sepihak. Inilah yang saya sebut sebagai “mendengarkan Buat Gambaran,” bukan “mendengarkan Buat memahami.” Kepura-puraan ini makin sulit dibedakan dari ketulusan, apalagi Kalau publik mulai kehilangan daya kritis dalam membedakan antara empati dan strategi.

Cek Artikel:  Mencari Representasi yang Hilang

Menyimak sebagai tindakan sosial dan spiritual

Mendengarkan bukan hanya keterampilan teknis, melainkan juga tindakan sosial yang sangat Krusial. Dalam Rekanan antarmanusia, mendengarkan menghadirkan rasa dihargai dan diakui. Ketika seseorang merasa didengar, ia merasa dilibatkan. Sebaliknya, ketika seseorang Lalu-menerus diabaikan, ia merasa tak dianggap. Saya percaya, banyak persoalan sosial, konflik keluarga, bahkan krisis kepercayaan politik, bersumber dari kegagalan Buat mendengarkan.

Filsuf eksistensialis Martin Buber menyatakan bahwa Rekanan sejati hanya terbangun ketika seseorang hadir sebagai “Saya” yang menyapa “Engkau.” Rekanan seperti ini menuntut keterbukaan, penghormatan, dan kehadiran yang utuh. Saya sangat setuju dengan pandangan ini, karena saya percaya bahwa komunikasi yang paling bermakna lahir dari pertemuan yang setara dan Rela, bukan dari argumen yang dipaksakan, apalagi sekadar formalitas.

Dalam khazanah Islam, Imam Al-Ghazali menjadikan mendengarkan sebagai bagian Krusial dari pensucian jiwa. Dalam Ihya’ Ulum al-Din, ia menyampaikan bahwa orang yang Bagus adalah mereka yang Bisa mendengarkan dengan penuh hormat dan Bukan memotong pembicaraan. Mendengarkan menjadi sarana Buat merendahkan ego dan membebaskan diri dari kesombongan intelektual.

Saya memaknai ajaran ini bukan hanya dalam konteks spiritual, tetapi juga dalam kehidupan sosial. Mendengarkan menuntut kita Buat menyingkirkan hasrat Buat menang, dan membuka ruang bagi keberagaman pikiran. Dalam praktiknya, mendengarkan yang Rela hanya Dapat dilakukan Kalau seseorang hadir secara penuh, Bagus secara fisik, mental, maupun emosional. Kita hidup dalam dunia yang serba Segera, sibuk, dan penuh distraksi. Pikiran kita sering kali terbagi antara percakapan dan notifikasi. Kita hadir secara tubuh, tetapi Bukan hadir secara batin.

Cek Artikel:  Urgensi Koalisi Gagasan

Tetapi, saya percaya bahwa kemampuan Buat mendengarkan Tetap Dapat dilatih dan dibudayakan. Kita Dapat memulainya dari lingkungan terkecil: mendengarkan anak yang sedang bercerita, Kekasih yang butuh perhatian, atau rekan kerja yang sedang frustrasi. Dalam skala yang lebih besar, kita membutuhkan pemimpin yang bukan hanya pandai berbicara, tetapi juga bersedia menyimak dengan Rela.

Ruang sunyi yang menyembuhkan

Saya percaya bahwa dunia yang lebih Bagus Bukan selalu dimulai dari kebijakan besar atau pidato megah. Dunia yang lebih Bagus Dapat dimulai dari satu tindakan kecil yang sering kita lupakan: mendengarkan. Mendengarkan tanpa menghakimi. Mendengarkan tanpa tergesa-gesa memberi saran. Mendengarkan Buat memahami, bukan Buat membalas.

Di dunia yang terlalu bising oleh Bunyi dan pendapat, mungkin bentuk Kasih paling Rela dan manusiawi yang Tetap Dapat kita berikan adalah: menyimak. Karena dengan menyimak, kita hadir sepenuhnya bagi orang lain, bukan sekadar tubuhnya, tapi juga pikirannya, perasaannya, dan luka-lukanya. Menyimak adalah Figur kehadiran yang paling sunyi, tapi juga paling dalam. Di sanalah empati tumbuh, kepercayaan dibangun, dan kemanusiaan dipulihkan.

Kalau setiap orang bersedia menyimak lebih banyak daripada berbicara, mungkin kita akan menemukan kembali keheningan yang menyembuhkan, dan Bunyi-Bunyi yang selama ini diabaikan Dapat akhirnya terdengar. Dan siapa Mengerti, dari situ kita Dapat memulai dunia yang Betul-Betul saling mendengar, bukan hanya saling bersuara.

Mungkin Anda Menyukai