KEKISRUHAN Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul
(KJMU) bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan juga kelalaian pemerintah dalam menerapkan kebijakan. Ketidaktransparanan dan simpang siurnya informasi perubahan kebijakan menjadi pangkal sengkarut data penerima beasiswa dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu.
Karut-marut ini bermula dari perubahan sistem Pusat Pelayanan Pendanaan Personal dan Operasional Pendidikan (P4OP) Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Pendaftaran KJMU melalui laman menjadi titik awal dari sistematika baru untuk para pendaftar program bantuan itu, baik yang baru mendaftar maupun yang lanjutan.
Dalam proses perkembangannya, website tersebut sering kali down dan mengalami error
karena ada pembatasan jumlah pengguna yang mengakses. Selain itu, pihak Dinas Pendidikan DKI juga melakukan finalisasi data dan pemeliharaan website. Akan tetapi, sangat amat disayangkan, saat data-data tersebut rampung, sebagian besar penerima bantuan sosial KJMU dinyatakan tidak layak untuk bisa melanjutkan pendaftaran.
Dengan alasan mereka masuk ke dalam kategori kesejahteraan di atas miskin. Desil adalah kelompok persepuluhan yang menunjukkan tingkat kesejahteraan rumah tangga.
Banyak di antara penerima yang menyampaikan keberatan karena ditetapkan di desil kalangan mampu, padahal keadaan ekonomi mereka tengah sulit. Mereka pun menyampaikan bahwa dana pendidikan KJMU adalah satu-satunya penghidupan mereka agar bisa berkuliah di perguruan tinggi.
Eksis juga beberapa mahasiswa yang menyampaikan bahwa mereka yang sudah tidak memiliki orangtua alias yatim piatu ikut terdampak permasalahan ini. Mereka dianggap mampu dan masuk ke desil tinggi.
Memang sebelumnya muncul isu bahwa akan ada pemangkasan jumlah penerima kartu mahasiswa unggul itu. Bahkan Komisi E DPRD DKI Jakarta sempat melontarkan pernyataan bahwa ada pemangkasan anggaran KJMU dan KJP Plus sebesar 45% dari tahun 2023. Kepada KJMU tahun ini Rp180 miliar, sedangkan tahun lalu Rp360 miliar.
Tak ada penjelasan yang rinci dari pihak pemprov perihal penyebab ketidakberesan hal itu. Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono tiba-tiba memulihkan seluruh akun penerima KJMU setelah menjadi perbincangan di publik.
Pemulihan itu tanpa didahului evaluasi, tanpa penjelasan yang memadai. Bukannya sebuah kebijakan itu mestinya sistematis, ketika alasan pencabutan KJMU terhadap mahasiswa katanya didasarkan pada evaluasi, kenapa saat pemulihannya tanpa evaluasi?
Tetapi, kenyataannya, Pj Gubernur DKI dengan mudahnya memulihkan data-data mahasiswa yang sebelumnya dicoret dari penerima KJMU. Bagi para mahasiswa penerima beasiwa, hal ini merupakan kabar gembira. Akan tetapi, bagi praktik birokrasi, ini justru sebaliknya.
Kepada itulah, sebagai pengguna anggaran yang sumbernya dari pajak rakyat, Pemprov DKI diminta transparan terkait dengan dana pendidikan KJMU dan menuntut pihak-pihak yang bertanggung jawab agar segera mengklarifikasi setiap hal-hal yang memang keliru.
Kenapa banyak data yang salah sasaran serta website yang terus error saat masa perpanjangan? Transparansi dan penjelasan menyeluruh kini ditunggu warga Jakarta. Kiranya sebagai penjabat gubernur yang tidak menerima mandat dari kontestasi demokrasi, Heru bisa tanpa beban politik untuk menjelaskannya. Kalau memang tidak terjadi apa-apa dan bersih, kenapa risih dan terus berdalih?