Sengatan Hujan Pungutan

‘SEOPTIMISTIS apakah Anda terhadap kondisi perekonomian kita tahun depan? Atau, jangan-jangan Anda penganut mazhab pesimisme?” Begitu salah seorang Mitra menanyai saya di sela-sela mengikuti pemaparan tentang pandangan ekonomi Indonesia 2025 dari sebuah institusi perbankan.

Saya Enggak menjawab di titik mana saya berdiri. Urusan optimisme atau pesimisme biar dia sendiri yang Membangun Penggolongan. Saya Enggak perlu Membangun Penerangan. Tetapi, seringnya saya berdiri di tengah, moderat. Orang banyak menilai itu Arang-Arang, remang-remang, Enggak Terang. Enggak mengapa. Bagi saya itu risiko pilihan.

Saya lebih cenderung menjawab pertanyaan Mitra saya itu dengan sejumlah fakta. Ekonomi kita di 2025, kata saya kepada sang Mitra, agak sulit mencapai 5%. Tentu, itu lebih pesimistis bila dibandingkan dengan prediksi Bank Dunia, Anggaran Moneter Global (IMF), juga prediksi sejumlah ekonom bank yang memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh di kisaran 5,1%.

Tetapi, saya punya dasar keyakinan mengapa ekonomi kita sulit tumbuh 5%. Penyebab utamanya ialah mulai munculnya sejumlah pungutan tahun depan. Hujan pungutan itu mau Enggak mau Niscaya berdampak pada melambatnya ekonomi. Disebut hujan pungutan karena jumlahnya Enggak Hanya satu atau dua. Eksis tujuh pungutan bakal terjadi bila rencana itu dilaksanakan semuanya.

Cek Artikel:  Eksis dan Tiada

Tetapi, hujan jenis ini serupa sengatan, bukan guyuran. Sengatan itu Dapat mematikan. Sebaliknya, guyuran itu umumnya menyejukkan, menyenangkan. Sengatan kali muncul dari tujuh arah berbeda.

Eksis pemberlakuan pajak pertambahan nilai (PPN) 12%, Eksis iuran wajib Tapera yang sempat ditunda, Eksis asuransi wajib kendaraan bermotor, penaikan iuran BPJS Kesehatan, pungutan cukai minuman berpemanis dalam kemasan, Anggaran pensiun wajib, dan normalisasi pajak Pendapatan (PPh) final UMKM. Total, Eksis tujuh, Apabila PPN 12% juga jadi diberlakukan.

Bila hujan pungutan itu diberlakukan serentak tahun depan, katakanlah disebar tiap dua bulan, dampaknya Niscaya sangat terasa, khususnya bagi kelas menengah. Daya beli mereka yang sudah terpukul Dapat menjadi KO. Yang sudah rontok Dapat kian berguguran. Yang sebelumnya Kondusif Dapat langsung memasang kewaspadaan.

Padahal, pertumbuhan ekonomi kita selama ini digerakkan sektor konsumsi rumah tangga, yang besarnya di kisaran 53%. Padahal Kembali, dari kontribusi konsumsi yang 53% itu, peran belanja kelas menengah lebih dari separuh (di kisaran 66%).

Selain itu, lebih dari 60% pertumbuhan ekonomi kita bergantung pada pergerakan ekonomi domestik. Tingkat ketergantungan terhadap Mendunia memang Eksis, tapi di Rendah ekonomi domestik. Di satu sisi, ini menguntungkan karena Enggak terlalu terpengaruh dengan kondisi Mendunia. Eksis pengaruh, tapi lebih kecil ketimbang gejolak domestik. Dapat dibayangkan bagaimana rentetan akibatnya bila ekonomi domestik terganggu, bukan?

Cek Artikel:  Ketahanan Papan

Memang, Eksis Fulus yang masuk hasil hujan pungutan itu. Dari pemberlakuan PPN 12%, misalnya, Eksis potensi Fulus masuk kas negara hingga Rp80 triliun. Dari pungutan yang lain juga Dapat menambah pundi-pundi negara. Tetapi, akan muncul Pengaruh lain lebih dahsyat yang mesti ditanggung rakyat, khususnya kelas menengah, yakni kian sulit bernapas. Mereka makin ‘tercekik’.

Berdasarkan analisis dan simulasi yang dilakukan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), penaikan PPN 1% (dari 11% Demi ini menjadi 12% tahun depan) akan berdampak pada kenaikan harga yang mesti ditanggung publik 5% hingga 6%. Sejumlah analis juga menghitung Eksis potensi pertumbuhan ekonomi terpangkas 0,02% bila PPN 12% tetap diberlakukan pada awal tahun depan.

Itu baru dari satu item pungutan. Belum Kembali bila enam item pungutan juga diberlakukan tahun depan. Belum Kembali juga Pengaruh yang terjadi bila subsidi bahan bakar minyak (BBM) bakal dialihkan sehingga para pengguna kendaraan wajib memakai BBM nonsubsidi. Terang, kian beratlah beban pertumbuhan ekonomi kita ke depan.

Cek Artikel:  Yang Muda yang Berpolitik

Karena itu, secara momentum, pengenaan Corak-Corak pungutan itu pada tahun depan Terang Enggak pas. Lebih banyak mudarat ketimbang manfaat. Bila Ingin tetap mempertahankan ekonomi kita tumbuh 5%, ya setop dulu hujan pungutan itu.

Mengapa pemerintah, misalnya, Enggak segera menerapkan pajak karbon yang sudah Eksis skemanya? Pemberlakuan pajak yang dikenakan atas emisi karbon yang dapat merusak lingkungan hidup itu mestinya Dapat diterapkan lebih dahulu ketimbang penaikan PPN. Mengapa pula Enggak menggenjot rasio perpajakan yang Lagi Lanjut-menerus belum sesuai dengan Sasaran yang diinginkan?

Sang Mitra akhirnya menyimpulkan bahwa saya masuk Penggolongan mazhab pesimistis Menyantap ekonomi tahun depan. Lewat saya jawab, kalimat yang Akurat mungkin (meminjam bahasa Mahkamah Konstitusi Demi memutuskan UU Cipta Kerja): optimisme bersyarat.

 

Mungkin Anda Menyukai