Sendirian Melawan Kekeringan

MARI kita tunggu datangnya hujan

Duduk bersanding di pelataran

sambil menjaga mendung di langit

agar tak ingkar, agar tak pergi lagi

Kau dengar ada jeritan

ilalang yang terbakar dan musnah

Usah menangis

simpan di langit

Jadikan mendung

segera luruh jatuh ke bumi

Basahi ladang kita yang butuh minum

basahi sawah kita yang kekeringan

basahi jiwa kita yang putus asa

Kemarau ini begitu mencekam

Saya tulis lagi petikan lirik lagu Doa Sepasang Petani Muda karya Ebiet G Ade tersebut untuk kali kedua di forum ini. Bukan untuk mengajak Anda melow, tapi siapa tahu dengan mengingat pesan dalam lagu itu, Anda tergerak untuk menengok kanan-kiri Anda, lalu beraksi meringankan mereka yang tengah merana. Hingga kini sudah lebih dari sejuta petani dan penduduk desa di berbagai Tanah Air, amat merindukan kucuran air dari langit.

Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah mewanti-wanti bahwa puncak musim kering tahun ini akan terjadi pada Agustus dan September. Tetapi, pekan ini, saat bulan Oktober sudah tiba, kekeringan masih terjadi di banyak tempat.

Peringatan itu ternyata masih saja jauh kalah riuh bila dibandingkan dengan saling intip bakal calon wakil presiden di koalisi capres Prabowo ataupun koalisi Ganjar Pranowo pada Pemilu 2024. Padahal, peringatan dini itu amat serius. Bahkan, faktanya, di alam nyata, dampak kekeringan itu terbukti amat sangat serius.

Cek Artikel:  Makan Bergizi tanpa Korupsi

Bencana yang bertambah parah karena menguatnya intensitas El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) itu sedikitnya telah membuat merana lebih dari 166 ribu jiwa akibat krisis air bersih hingga akhir September 2023 lalu. Itu baru yang terdata. Di lapangan, angkanya bisa 5, bahkan 10 kali lipat.

Dalam dua bulan terakhir, warga yang terdampak kekeringan di Tanah Air semakin banyak. Data informasi bencana mingguan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana menunjukkan dampak meluasnya kekeringan di Tanah Air. Laporan sejak Senin, 25 September hingga awal pekan ini menyebutkan, kekeringan melanda beberapa wilayah di Provinsi Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Bahkan, di beberapa tempat di Sumatra Selatan, Riau, Kepri, dan Kalimantan, kekeringan mulai membuat warga terpaksa menutupi dengan masker karena polusi meningkat.

Kementerian Pertanian juga memprediksi El Nino berpotensi menyebabkan 870 ribu hektare lahan pertanian kekeringan. Terdapatpun pada tahun normal, hanya 200 ribu hektare lahan kekeringan. Itu berarti meningkat empat kali lipat. Selain kekeringan, El Nino juga berpotensi menyebabkan kebakaran lahan pertanian, gagal panen, hingga peningkatan intensitas serangan hama dan penyakit tanaman.

Cek Artikel:  Menteri Pembela Anak Presiden

Tetapi, saya belum melihat upaya ekstra dari pemangku kepentingan di sejumlah tempat untuk mengatasi bencana ini. Terdapat sejumlah langkah sudah dilakukan, tetapi selalu saja menggunakan pola serupa dari waktu ke waktu: sporadis, instan, tidak terstruktur, dan tidak sistematis.

Kita mengapresiasi langkah sejumlah partai politik di sejumlah tempat yang giat mengirim air bersih ke beberapa titik warga yang terdampak. Tetapi, bila melihat luasnya skala kekeringan, jelas mengandalkan langkah seperti itu tidak cukup.

Berulang kali di berbagai forum diteriakkan agar negara menyiapkan langkah mitigasi yang lebih matang dan tersistematisasi. Konkretnya, teriakan itu masih membentur dinding-dinding tebal kedap suara. Negara, baik itu di level pusat maupun daerah, misalnya, belum banyak tergerak untuk menyiapkan politik anggaran bencana kekeringan.

Anggaran mitigasi dan penanggulangan bencana saja hingga kini belum menunjukkan tingkat kesepadanan dengan posisi negeri ini sebagai wilayah berisiko tinggi terhadap bencana. Pendanaan mitigasi bencana, dari waktu ke waktu, tidak sampai 1% dari APBN atau APBD. Usulan wakil rakyat agar anggaran mitigasi bencana dialokasikan 2% dari APBN dan APBD, kini hanya sayup-sayup terdengar, begitu bencana covid-19 berakhir.

Cek Artikel:  Tragedi Jagakarsa

Kita patut iri pada Jepang, negara dengan risiko bencana serupa dengan Indonesia. Di Negeri Sakura itu, politik anggaran lebih kentara keberpihakannya. Didedikasikan setidaknya 5% dari total APBN atau APBD Jepang untuk dana mitigasi bencana tiap tahun. Bahkan, nilainya bisa naik ketika ada kejadian bencana.

Padahal, di forum-forum dunia, Indonesia termasuk yang lantang mengingatkan bahaya perubahan iklim, termasuk bencana kekeringan. Dunia diingatkan bakal membutuhkan investasi setidaknya US$6 miliar per tahun untuk biaya pengelolaan risiko bencana. Teriakan lantang di forum global tersebut mestinya juga tecermin dalam tindakan di dalam negeri.

Jangan sampai rakyat dari waktu ke waktu terus menghadapi perkara yang sama dengan intensitas yang lebih tinggi, dibiarkan ‘bertarung’ sendirian melawan bencana. Di sejumlah tempat memang mulai muncul mendung. Tetapi, mendung tidak berarti hujan, bukan?

Mungkin Anda Menyukai