PERUBAHAN zaman mengharuskan sekolah untuk tidak hanya menjadi tempat bagi siswa untuk mengembangkan potensi dan mencapai prestasi akademik, tetapi juga sebagai lingkungan yang menjamin kesejahteraan. Kesejahteraan diartikan sebagai terjaminnya aspek kesehatan, kebahagiaan, kepuasan, dan fungsi optimal entitas sekolah sesuai dengan potensinya.
Sebelumnya, isu kesehatan dan kebahagiaan tidak selalu dianggap sebagai bagian integral dari kehidupan sekolah. Krusialnya isu kesehatan, terutama bagi anak-anak, diakui Pasal 24 Konvensi Hak Anak PBB, dikeluarkan pada 1989, menyatakan bahwa setiap anak memiliki hak mendapat jaminan standar kesehatan terbaik yang dapat diupayakan.
Komitmen itu sejalan dengan Piagam Ottawa (WHO: 1986) dan Deklarasi Jakarta (WHO: 1997), yang menekankan peran sekolah sebagai ekosistem yang mempromosikan dan mendukung aspek kesehatan seluruh warga sekolah. Respons terhadap komitmen itu tecermin dalam maraknya berbagai program promosi kesehatan di sekolah, terutama antara 1980 dan 2000.
Meskipun demikian, interpretasi terhadap terminologi kesehatan dalam rentang waktu tersebut, lebih didominasi pendekatan teori kesehatan dan promosi kesehatan, daripada kerangka konsep well-being, yang dianggap lebih mampu mengatasi tantangan dan kebutuhan zaman yang semakin kompleks (Konu & Rimpela: 2002).
Tetapi, sekalipun berbagai penelitian telah mengembangkan model-model teoretis, konseptual, dan operasional, istilah well-being tetap dianggap sebagai konsep multidimensi (Hone, Schofied, dan Jarden: 2016) yang sulit dipahami dengan jelas, menimbang sejarah, konteks, dan disiplin ilmu (Jarden & Roache: 2023).
Menurut American Psychological Association Dictionary, well-being juga dimaknai sebagai ‘keadaan adanya rasa bahagia, kepuasan, tingkat stres rendah, sehat secara fisik dan mental, serta kualitas hidup yang baik’. Sementara itu, salah satu definisi paling sering dipakai untuk memaknai well-being ialah ‘terkait dengan bagaimana seseorang merasa dan memiliki fungsi, baik secara personal maupun sosial, dan bagaimana mereka menilai hidup mereka secara keseluruhan’ (Michaelson, Mahony, dan Schifferes: 2012).
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, well-being sering diterjemahkan sebagai ‘kesejahteraan’, yang dimaknai sebagai pemenuhan aktualisasi potensi yang memengaruhi optimalisasi fungsi seseorang dalam proses pendidikan. Sekolah dituntut mampu menjalankan fungsi untuk memastikan semua entitas sekolah merasa puas dengan fungsi personal dan sosial yang mereka miliki, terpenuhi kebutuhan dasarnya (material dan nonmaterial), dan memiliki kualitas kehidupan yang baik di sekolah.
Ukuran kesejahteraan
Menggunakan pendekatan dalam tradisi ilmu sosiologi tentang ‘kesejahteraan/welfare’, yang diperkenalkan Erik Allardt, sosiolog Finlandia (1976; 1989), Anne Konu dan Matti Rimpela (2002) mengembangkan model well-being school, model sekolah yang menimbang aspek kesehatan lebih dari sekadar aspek kesehatan fisik yang dipercaya akan memberi pengaruh besar pada capaian akademik.
Model well-being school menimbang parameter kebutuhan dasar; having, loving, being, dan health yang dianggap mewakili kebutuhan material dan nonmaterial manusia. Pemenuhan atas keempat kebutuhan ini wajib dipenuhi untuk mewujudkan sekolah yang sejahtera. Persepsi entitas sekolah—terutama persepsi murid—atas kondisi sekolah (having), hubungan sosial (loving), kebutuhan aktualisasi diri/self-fulfillment (being), dan kondisi kesehatan (health), akan menentukan apakah sekolah memenuhi syarat untuk disebut sekolah yang sejahtera.
Having, merujuk pada kondisi-kondisi material dan kebutuhan-kebutuhan impersonal dalam cara pandang yang luas. Dalam konteks sekolah, having berkaitan dengan keadaan fisik sekolah yang meliputi aspek keamanan, kenyamanan, kurikulum pembelajaran, jumlah murid dalam kelas, dan berbagai pelayanan sekolah.
Loving, mewakili kebutuhan untuk terhubung dengan orang lain dalam rangka membangun identitas sosial. Rekanan sosial merujuk pada keadaan lingkungan sosial sekolah, seperti hubungan guru dengan murid, murid dengan sejawat mereka, dinamika kelompok, praktik kekerasan/perundungan, kerja sama sekolah dengan orangtua, keterlibatan dalam pembuatan keputusan sekolah dan atmosfer organisasi sekolah secara umum.
Rekanan sosial murid dengan guru berperan penting dalam mewujudkan rasa sejahtera di sekolah. Guru yang merasa nyaman dengan pekerjaan dan tanggung jawab mereka akan memiliki komitmen terhadap kesejahteraan murid mereka. Sementara itu, jika siswa diminta untuk menggambarkan apa yang mereka sukai dari sekolah mereka, biasanya mereka mengekspresikan jawaban dengan menggambarkan apa yang mereka sukai dari guru-gurunya (Sabo: 1995).
Being, mewakili kebutuhan personal untuk tumbuh (personal growth), dalam konteks integrasi dengan masyarakat dan kehidupan yang selaras dengan alam. Being terkait dengan kebutuhan untuk dihargai sebagai bagian dari komunitas/kelompok. Sisi positif dari being diwakili personal growth, sedangkan sisi negatifnya diwakili keterasingan/alienasi.
Dalam konteks sekolah, being dapat dilihat dari seberapa jauh sekolah mampu menawarkan dan memberi peluang bagi aktualisasi diri. Krusial untuk menganggap semua siswa sama pentingnya di sekolah, melibatkan mereka dalam kebijakan sekolah, dan memberi pengalaman belajar positif dengan menghargai minat dan bakat mereka. Kemudian, mempersiapkan guru untuk memiliki metode mengajar yang beragam sesuai dengan aneka potensi murid, memberi penghargaan atas capaian dan dorongan atas setiap usaha dalam proses belajar di sekolah bagi guru dan murid. Beberapa hal tersebut akan memperkuat keberhasilan proses aktualisasi diri entitas sekolah.
Terakhir ialah health status/status kesehatan yang merujuk pada ketiadaan penyakit (disease) dan rasa sakit (illness) (Seedhouse: 1986). Apabila penyakit adalah situasi tak normal dalam tubuh yang dapat diketahui melalui pemeriksaan medis, rasa sakit berkaitan dengan perasaan dan pengalaman atas penyakit.
Seseorang dapat mengidap penyakit tanpa merasa (kecuali melalui pemeriksaan medis), sementara rasa sakit benar dirasakan. Meskipun dalam versi Allardt kesehatan dimasukkan ke kategori having, Konu dan Rimpela menempatkan status kesehatan sebagai bagian dari aspek pengalaman pribadi, yang dapat dipengaruhi berbagai faktor dari luar. Kesehatan fisik dianggap sebagai aspek penting bagi pemenuhan kesejahteraan.
Ekosistem positif
Model sekolah well-being percaya bahwa kesejahteraan (well-being), pendidikan-pengajaran, dan pembelajaran (atau pencapaian/prestasi) saling terhubung dan saling memengaruhi antara satu dan yang lainnya. Itu sehingga praktik baik dalam proses belajar mengajar yang didasari semangat bagi pemenuhan kesejahteraan/well-being siswa dan guru, dapat memberi jalan bagi pencapaian hasil belajar yang lebih baik.
Sekolah yang terus belajar dan beradaptasi dengan perubahan dan tantangan zaman memiliki kesempatan lebih baik untuk menyediakan ekosistem belajar yang positif, yang memungkinkan tumbuhnya peluang bagi pemenuhan kebutuhan dasar entitas sekolah menuju sekolah yang sejahtera.